Tidak Mudah Menghapus Pernikahan Anak

Tidak Mudah Menghapus Pernikahan Anak

KORANBERNAS.ID -- Program pencegahan perkawinan anak menjadi salah satu prioritas daerah, mengingat saat ini usia perkawinan anak masih terbilang tinggi. Demikian antara lain benang merah hasil diskusi yang diselenggarakan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bertema Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Usia Anak, Kamis (5/12/2019) di Semarang.

Asisten Deputi Partisipasi Media Kementrian PPPA, Drs Fatahillah Msi, menjelaskan saat ini usia perkawinan anak masih terbilang tinggi. Bahkan Indonesia menempati peringkat 7 di dunia dan peringkat 2 di Asia terkait jumlah anak yang terikat perkawinan dini.

“Berdasarkan data BPS tahun 2018, proporsi perempuan menikah di rentang usia 20-25 tahun. Sementara yang menikah sebelum usia 18 tahun sebesar 11,24 persen," ujarnya.

Meski jumlahnya turun dibandingkan tahun 2017, namun turunnya hanya 0,3 persen. Karena itu, lanjut Fatahillah, Kementrian PPPA sangat konsen untuk melakukan pencegahan perkawinan anak.

Namun, Fatahillah mengakui, memang tidak mudah untuk menghapus pernikahan anak. Pasalnya banyak faktor yang justru menyuburkannya. Yang paling berat adalah faktor adat budaya masyarakat Indonesia yang justru mendukung perkawinan anak.

“Mulai dari paham patriarki yang menimbulkan ketidaksetaraan gender, kemiskinan, kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi wanita hingga rendahnya literasi,” katanya.

Padahal, lanjut Fatah, dampak perkawinan dini sangat besar dan fatal. Mulai dari faktor kesehatan, tumbuh kembang anak, kualitas keluarga, bonus demografi yang berkurang dan kemiskinan perempuan secara terstruktur.

Diskusi ini diikuti berbagai kalangan yang peduli perempuan dan anak, mulai dari aktivis, akademisi hingga vlogger dan media.

Wakil Walikota (Wawali) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang membuka acara merespon positif prioritas tersebut dan menegaskan, perkawinan anak perlu dicegah. Karena jika dibiarkan semakin lama akan semakin banyak, mengingat masa puber anak-anak saat ini semakin cepat. Belum lagi stimulan dari luar, seperti perkembangan teknologi informasi yang memudahkan anak mengakses informasi termasuk konten negatif.

“Yang memprihatinkan adalah perkawinan anak saat ini lebih banyak dikarenakan anak hamil di luar nikah karena kemudahan mengakses konten-konten yang tidak diperuntukkan kepada anak. Disinilah perlu adanya kolaborasi antara generasi muda dengan orang tua untuk pencegahan perkawinan anak,” terangnya.

Menurut Hevearita, banyak dampak negatif dari perkawinan anak. Mulai dari masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga perceraian dini. Pasalnya, usia anak baik secara mental maupun kesehatan belum siap untuk berperan sebagai orang tua.

“Mereka yang belum terdidik secara cukup tiba-tiba harus menikah karena hamil duluan. Anak-anak yang harusnya masih menikmati waktu bermain tiba-tiba harus mengasuh anak," ujar Hevearita

Belum lagi dari pihak lelaki, yang juga masih anak-anak. "Ya kalau orang tuanya mampu, kalau tidak, ini akan menjadi masalah baru lagi. Bukannya menjadi keluarga bahagia, namun justru berantakan,” tuturnya.

Diharapkan melalui diskusi ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat, dan para peserta diskusi bisa menjadi garda terdepan dalam pencegahan perkawinan anak di Kota Semarang. “Pemkot Semarang sendiri memiliki konsern mengenai hal ini. Salah satunya dengan pendirian Rumah Duta Revolusi Mental di Dinas Pendidikan," tambahnya.

Di tempat tersebut juga digencarkan bagaimana mencegah pernikahan usia anak dengan melibatkan siswa, kepala sekolah, guru BK maupun komite sekolah. Namun tetap saja peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk menekan angka perkawinan anak. (eru)