Calon Dubes Uzbekistan Bicara Toleransi Beragama

Masyarakat kita sebenarnya rindu kebersamaan. Keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Calon Dubes Uzbekistan Bicara Toleransi Beragama
Direktur KIJ UIN Sunan Kalijaga, Siti Ruhaini Dzuhayatin menyampaikan pemaparan dalam Lokakarya Penguatan Kompetensi Kolaborasi Antarumat Beragama di Grand Rohan Yogyakarta, Minggu (1/12/2024). (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Banyak kasus kekerasan agama yang terjadi di Indonesia karena minimnya informasi dan komunikasi antarumat beragama. Persepsi yang salah akan agama lain mengakibatkan munculnya kesalahpahaman.

Di tengah tantangan keberagaman yang dihadapi Indonesia tersebut, muncul sebuah pendekatan baru yang menawarkan harapan, yakni melalui ketahanan komunitas yang menjadi fondasi untuk meningkatkan toleransi beragama. Pendekatan ini sedang diuji coba di berbagai daerah, salah satunya di Yogyakarta.

“Program ini bertujuan menciptakan ruang di mana masyarakat yang berbeda agama bisa saling mengenal lebih dalam,” ujar Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur Kalijaga Institute for Justice UIN Sunan Kalijaga, di sela Lokakarya Penguatan Kompetensi Kolaborasi Antarumat Beragama di Grand Rohan Yogyakarta, Minggu (1/12/2024).

Berbicara mengenai umat antaragama saling kenal di dalam komunitas, Calon Dubes Uzbekistan ini mengungkapkan prasangka bisa terkikis dan kepercayaan mulai tumbuh. Ini langkah kecil yang berdampak besar untuk saling memahami dan menghormati keyakinan orang lain.

Membangun dialog

Menurut dia, program ketahanan komunitas digagas dalam rangka membangun dialog lintas agama yang mengikutsertakan berbagai komunitas lokal. Dari dialog tersebut, terungkap bahwa kesalahpahaman sering kali muncul akibat minimnya interaksi dan informasi yang benar.

Selain dialog komunitas antarumat beragama, program ini juga mendorong aksi nyata sesuai kebutuhan komunitas. Di Kalimantan, misalnya, kegiatan kolaboratif terkait pengelolaan sampah dilakukan bersama-sama oleh berbagai kelompok agama. Di Yogyakarta, komunitas dari berbagai keyakinan berkolaborasi dalam program pendidikan anak-anak.

“Ini bukan sekadar bicara soal agama, tapi juga bekerja bersama untuk lingkungan dan masa depan yang lebih baik,” ungkapnya.

Meskipun masih dalam tahap awal, pendekatan ini sudah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Peserta dari berbagai agama merasa lebih diterima dan dihargai. Bahkan, banyak dari mereka mulai menginisiasi program serupa di lingkungan masing-masing.

Berbasis komunitas

Pendekatan berbasis komunitas mengingatkan bahwa toleransi beragama tidak hanya dibangun dari kebijakan, tetapi juga dari hubungan antarindividu. Dengan semangat gotong royong, Indonesia terus membuktikan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Keberhasilan pendekatan ini membuka peluang untuk direplikasi di daerah lain. Siti berencana mendokumentasikan metode ini sebagai model yang dapat diterapkan secara luas, bahkan di negara lain.

“Masyarakat kita sebenarnya rindu kebersamaan. Melalui program ini, mereka merasa bahwa toleransi itu nyata, bukan hanya konsep. Ketahanan komunitas adalah kunci untuk menjaga Indonesia tetap harmonis. Saat kita merawat kebersamaan, kita sebenarnya sedang merawat bangsa ini,” jelasnya. (*)