Tanpa Sengaja, Tubuh Sering Jadi Tempat Sampah Sementara (Tulisan Pertama)
DALAM kehidupan sehari-hari, kita sudah biasa menggunakan istilah “bau badan”, sering disingkat BB. Bahkan, jika keringat, urin, feses, kentut, dan nafas dari mulut berbau, kita sampai mengucapkannya dengan tambahan huruf “k”, “bauk”.
“Bauk sekali” itu berarti bukan bau yang nyaman. Mengapa? Ini yang menarik dicari kaitannya dengan kualitas cairan tubuh. Sebab, ada benang merah antara kualitas cairan tubuh, juga kuantitasnya, dengan kondisi kesehatan.
Kasus cuci darah, misalnya, bukankah itu karena darahnya “kotor”? Kalau darah bisa kotor, cairan tubuh pun bisa lebih kotor. Belum ada “mesin” untuk mencuci cairan tubuh yang kotor.
Pepatah menyebutkan, “bersih pangkal sehat.” Maka, jika kita perhatikan kebersihan tubuh luar dan lingkungan, menarik juga kebersihan cairan tubuh, dan juga darah kita. Untuk urusan bau bagian luar tubuh, sudah ada solusinya, yaitu dilawan dengan pengharum. Tinggal pilih produk industri wewangian. Yang murah atau yang mahal. Sedangkan kebersihan di dalam tubuh, belum ada produk komersialnya.
Nenek moyang zaman dulu menggunakan ramuan jamu ini dan itu untuk mblonyo (melumuri) tubuh bayi. Aroma bayi adalah aroma organik, kata orang zaman sekarang. Sementara urin, feses, keringat, mulut, sampai rambut kepala bayi yang cepat sekali tumbuh, tidak menimbulkan bau yang mengganggu hidung. Malah ingin menciumnya, membelai kehalusan kulitnya.
Sementara orang dewasa hingga usia lanjut, jarang yang tubuh dan kulitnya harum tanpa pewangi. Orang yang menderita sakit, apalagi hampir mati, menimbulkan BB yang tidak nyaman. Kalau sudah mati, kita katakan “mayatnya sudah bau(k), membusuk”. Basa Jawa lebih tegas, “wis mambu, wis bosok.”
Dalam contoh bayi tadi, kemungkinan karena cairan tubuhnya masih bagus, belum kotor. Asupan paling bersih yaitu ASI, tentu memengaruhi kadar kotoran bayi. Metabolisme bayi masih sempurna. Sisa metabolisme segera keluar alamiah dari tubuh. Ngompol, sering ganti popok. BAB juga sering sekali.
Setelah besar, tambah umur, dewasa, asupan air minum dan makanan makin bermacam-macam. Asal enak, masuk perut. Aneh dan menariknya, juga makin suka menahan buang air dan BAB. Ada saja alasannya. Mulai dari hal sopan santun hingga kesibukan. Sedang belajar di kelas, bekerja di kantor, dalam perjalanan, sedang bertamu, dan sebagainya. Secara tidak sengaja, tubuh kita jadikan “tempat sampah sementara”. Padahal sampah sisa makanan dan sampah-sampah lain, seharusnya sesegera mungkin dibuang di tempat sampah.
Orang yang sudah mati tentu tidak ada aktivitas metabolisme lagi. Maka cepat membusuk. Menimbulkan bau(k) tidak nyaman. Cairan tubuhnya hanya sisa metabolisme ketika masih hidup. Maka cepat kotor, membusuk dan membuat bakteri dan kuman aktif dan berkembang cepat.
Rasanya BB jarang sekali diperhatikan kaitannya dengan kesehatan tubuh. Lebih banyak dikaitkan dengan kenyamanan dan penampilan dalam pergaulan. Di jaman kemajuan pergaulan sosial, BB telah menginspirasi luar biasa industri wewangian tubuh. Berbagai produk pewangi tubuh, sabun mandi, sabun cuci, minyak wangi, pengharum ruangan, mobil, pakaian, almari, dan sebagainya, berkembang luar biasa dengan promosi yang gencar dan sangat menggoda.
Sejauh mana solusi ampuh produk wewangian itu memberikan sumbangan signifikan pada kesehatan tubuh? Nampaknya masih “luput diliput”, masih luput jadi perbincangan. (bersambung)
Penulis adalah pemerhati air hujan