Tak Perlu Utang, Pakar Keuangan UGM dan Anggota MPR RI Kupas Potensi Pajak Rp 3 Ribu Triliun

Tak Perlu Utang, Pakar Keuangan UGM dan Anggota MPR RI Kupas Potensi Pajak Rp 3 Ribu Triliun
Prof Indra Bastian (kiri) bersama Cholid Mahmud menyampaikan keterangan di sela-sela sosialisasi bertema Pajak sebagai Instrumen Keuangan Negara Membangun Kesejahteraan, Rabu (19/4/2023). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Hingga saat ini pajak disebut sebagai sumber utama atau nyawa bagi keuangan pemerintah Indonesia. Faktanya, potensi pajak di Indonesia sangat besar namun banyak terdapat titik-titik rawan penyimpangan.

Realita tersebut dikupas oleh pakar keuangan dan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Indra Bastian Ph D MBA CA CMA bersama anggota MPR RI, Cholid Mahmud, Rabu (19/4/2023) di RM Pringsewu Jalan Magelang Sleman, saat berlangsung Sosialisasi Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

“Ada hal-hal yang menarik. Negara kita ini besar, dengan sumber pendapatan terbesar dari pajak. Kalau APBN 2023 sebesar Rp 3 ribu sekian triliun, sejumlah Rp 2 ribu triliun berasal dari pajak. Sedangkan dari non-pajak sekitar Rp 400 triliun, ditambah utang Rp 519 triliun,” kata Cholid Mahmud.

Kepada wartawan di sela-sela sosialisasi, Cholid menyampaikan sebenarnya yang perlu memperoleh perhatian adalah titik-titik rawan sektor pengelolaan keuangan. “Bukan sektor belanja tetapi pada sektor pendapatan. Sektor pendapatan inilah yang rentan terhadap berbagai penyimpangan,” ujar Cholid.

Sebagai perbandingan, lanjut dia, di antara negara-negara Asia Tenggara, tax ratio Indonesia paling rendah. Artinya,  persentase pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional paling rendah.

Tax ratio kita baru pada angka 10 koma sekian persen. Sedangkan negara lain seperti Filipina sudah sampai 14 persen, Thailand 17 persen. Artinya, PDB kita sekarang Rp 21 triliun, pajaknya Rp 2.100 triliun, artinya baru 10 persen tax ratio-nya, padahal kalau kita bias meningkatkan tax ratio menjadi 15 persen saja, tidak perlu seperti Jepang 32 persen, maka kita sudah memperoleh pendapatan dari pajak Rp 3.000 triliun, sudah melebihi APBN 2023. sudah tidak perlu utang lagi,” jelasnya.

Sepakat dengan Prof Indra Bastian, lebih jauh Cholid Mahmud menyatakan sektor pendapatan memang rentan. “Saya kira kasus Rafael Alun Trisambodo itu hanya salah satu contoh, sedikit sekali dari sekian banyak peluang,” tambahnya.

Persoalannya adalah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa mengaudit penerimaan pajak bahkan secara regulasi sepertinya tidak punya hak melakukan audit pendapatan. “Jadi, BPK hanya bisa mengaudit setelah uang itu masuk diterima menjadi kas negara. Berapa yang seharusnya masuk? Itu tidak bisa diaudit. Kita sudah mengajukan usulan perubahan UU BPK namun tidak berhasil,” kata Cholid.

Menurut dia, inilah perlunya membangun sistem keuangan negara yang lebih baik lagi, terutama pada sektor-sektor penerimaan. Aturan tentang sektor belanja sudah sangat rinci dan bagus. Auditnya pun sudah luar biasa.

“Kita bilang, penyimpangan sektor belanja itu kecil. Justru risiko besar ada pada sektor pendapatan. Sebenarnya, kita punya potensi pendapatan yang jauh lebih besar, perlu kita tata lebih baik lagi sistem penerimaan negara ini,” tandasnya.

Sosialisasi Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI oleh Anggota MPR RI Cholid Mahmud, dengan tema Pajak sebagai Instrumen Keuangan Negara Membangun Kesejahteraan. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Di tempat yang sama, Prof Indra selaku narasumber sosialisasi bertema Pajak sebagai Instrumen Keuangan Negara Membangun Kesejahteraan menjelaskan, banyaknya kasus di sektor keuangan dan pendapatan negara menjadi pertanda perlu ada reformasi regulasi.

“Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sudah saatnya diubah,” tegasnya.

Menurut Prof Indra, sebenarnya keuangan negara bukan semata-mata kas negara melainkan juga potensi-potensi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dikuasai oleh negara sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. “Semua itu menjadi potensi pendapatan yang harus dicatat di dalam keuangan negara kita,” tambahnya.

Soal keberadaan BPK yang seolah-seolah tidak bisa difungsikan secara pasti, menurut dia, karena fungsi BPK sangat terbatas. “Tugas BPK sebetulnya tidak hanya masalah keuangan semata-mata tetapi juga data. Regulasi kita belum menjangkau ke sana,” ungkapnya.

Prof Indra menegaskan, BPK seharusnya berubah bukan hanya seputar keuangan negara tapi juga mengaudit kinerja serta audit dengan tujuan tertentu atau audit investigasi. Dengan kewenangan yang lebih luas harapannya kasus-kasus yang ada sekarang ini bisa terbuka semua kenapa bisa terjadi.

“Data keuangan kita bobol terus padahal data non-keuangan berikutnya akan menjadi data keuangan. Bobol terus. Pusat-pusat pendapatan kita bocor, sementara kita terlalu sibuk dengan pengadaan,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, baik Prof Indra maupun Cholid Mahmud sepakat ke depan manajemen pemerintahan perlu diperbaiki, salah satunya melalui sosialisasi Empat Pilar MPR RI.

Contoh, Qatar yang pada tahun 1980-an merupakan negara miskin, saat ini menjadi negara kaya raya dan makmur, berkat manajemen pemerintahan dan sistem pengelolaan keuangan negara yang sangat baik. “Kita harus bekerja lebih keras lagi menata manajemen keuangan pemerintahan secara lebih baik lagi,” kata Prof Indra. (*)