Sengketa Jual Beli Tanah dan Bangunan, Tim Kuasa Hukum Sebut Replik JPU Mirip Odading

Sengketa Jual Beli Tanah dan Bangunan, Tim Kuasa Hukum Sebut Replik JPU Mirip Odading

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sidang sengketa jual beli tanah dan bangunan antara pasutri Agus Artadi dan Yenni Indarto dengan pembeli Gemawan Wahyadhiamika memasuki tahap-tahap akhir. Sidang yang dilaksanakan Kamis (3/12/2020) beragendakan pembacaan tanggapan (duplik) dari tim kuasa hukum pasutri Agus Artadi dan Yenni Indarto yang dipimpin oleh Oncan Poerba.

Dalam tanggapan tersebut Oncan dan tim menyoroti ketidakbenaran dan kekeliruan atas fondasi konsep pemikiran yang coba dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di dalam perkara ini.

Disebut Oncan, sebagaimana yang disampaikan pada bagian pembukaan replik 26 November 2020: Sudah tidak asing lagi antara Jaksa Penuntut Umum dengan Penasihat Hukum dan terdakwa selalu tidak pernah sejalan atau tidak pernah sependapat.

Kedua belah pihak selalu memiliki sudut pandang yang berbeda di dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan terhadap diri terdakwa.

Jaksa Penuntut Umum memiliki tugas untuk membuktikan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan atas diri terdakwa, sedangkan Penasihat Hukum dan terdakwa selalu mencari cara bagaimana agar terdakwa dapat terbebas atau terlepas dari dakwaan yang dibuktikan. Oleh Jaksa Penuntut Umum atau setidak-tidaknya mendapat hukuman yang seringan-ringannya.

“Alasan kami menolak dan membantah terhadap konsep pemikiran Jaksa Penuntut Umum tersebut, karena pemikiran yang sedemikian itu, jelas-jelas sebagai suatu pemikiran yang tidak memiliki pengetahuan hukum,” tegas Oncan saat memberikan keterangan kepada wartawan usai persidangan.

Sebab, lanjut Oncan, tugas dari Pembela atau Penasihat Hukum Terdakwa bukanlah mencari agar seseorang itu dapat dibebaskan atau dilepaskan ataupun agar seseorang itu dapat memperoleh hukuman yang seringan-ringannya.

“Bahkan bila didudukkan pada hakikatnya, sudah menjadi tujuannya masing-masing penegak hukum mencari kebenaran, dan kebenaran itu adalah kebenaran materiil sebagaimana fakta di persidangan,” lanjutnya.

Dengan kebenaran itulah yang menjadi pokok untuk membuktikan seseorang itu bersalah dan dengan kebenaran itu pula seseorang dinyatakan tidak bersalah.

Menurut Oncan, jika Jaksa Penuntut Umum sungguh-sungguh menyadari akan penegakan hukum, itu bukanlah berbeda melainkan sama. Hal itu sudah pasti karena penegak hukum menggunakan hati nurani untuk sama-sama mencari kebenaran, bukan karena tugas mencari perbedaan yang disebut dalam repliknya.

Bila kebenaran itu didudukkan pada hakikatnya secara benar, yang diperjuangkan dengan keluhuran dan ketulusan hati yang baik, yang jauh dari iming-iming ataupun kepentingan apapun bentuknya, menurut Oncan, semestinya tidak akan ada yang namanya perbedaan sudut pandang, interpretasi ataupun perbedaan kepentingan, di dalam menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan.

“Kebenaran itu sudah ada sebelum putusan pengadilan. Hanya tinggal meletakkan apa yang sudah benar ke tempat semestinya, karena yang benar itu hanyalah satu, sementara yang salah itu banyak dan sering diperdebatkan,” kata Oncan.

Willyam H Saragih selaku anggota tim kuasa hukum pasangan Agus Artadi dan Yenni Indarto menambahkan, untuk menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, dia mengutip kembali apa yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dalam Repliknya.

Yaitu, berdasarkan Pasal 3 PERMA No 1 Tahun 1956 Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata.

Dari ketentuan tersebut, lanjut Willyam, ada atau tidaknya gugatan yang diajukan para terdakwa secara keperdataan ke pengadilan, tentu tidak akan menjamin Jaksa Penuntut Umum tidak akan menuntut para terdakwa ke sidang pengadilan pidana ini.

“Kalaupun dibalik keadaannya yaitu bila para terdakwa mengajukan gugatan perdata pun, maka Jaksa Penuntut Umum akan tetap bisa menuntut secara pidana, bila mendasarkan pada ketentuan PERMA tersebut, jadi tidak ada bedanya to?" ujar Willyam.

Menurut dia, ini hanya masalah klise sederhana dari permainan kata-kata yang dibolak-balik saja. “Layaknya seperti menggoreng odading mang oleng,” ujarnya mengutip dari sosial media yang viral akhir-akhir ini.

Dia menganggap pertanyaan Jaksa Pnuntut Umum ini aneh tapi nyata. Di satu sisi mempertanyakan namun di sisi lain malah menjawabnya sendiri. Padahal kalau dimaknai secara mendalam atas pertanyaan tersebut, bisa menjadi sangat berbahaya bagi penegakan hukum. “Hukum menjadi bisa dibolak-balik tanpa kepastian,” tandasnya.

Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Bandung Suharmoyo SH Mhum dengan anggota Ida Ratnawati SH MH, Sundari SH MH dan Suparman SH MH ini akan dilanjutkan dalam waktu dua minggu ke depan. (*)