Selesaikan Kekerasan Seksual Hulu Hingga Hilir

Selesaikan Kekerasan Seksual Hulu Hingga Hilir

KORANBERNAS.ID,YOGYAKARTA -- Kekerasan seksual merupakan masalah serius dan perlu mendapat perhatian semua pihak serta perlu diselesaikan dari hulu ke hilir. Masih banyak kasus kekerasan tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar hukum karena berbagai pertimbangan.

Padahal kasus kekerasan seksual menyerupai fenomena gunung es, di mana permasalahan yang terjadi sebenarnya jauh lebih kompleks dan lebih besar daripada yang tampak di permukaan.

Hal ini disebabkan banyak hal di antaranya masyarakat hidup dalam budaya patriarki sehingga mudah memberikan stigma terhadap korban kekerasan seksual, keengganan korban melapor karena regulasi dan norma hukum belum banyak berpihak pada korban dan sebagainya.

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan tahun 2020 terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa pandemi Covid-19, Namun kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Situasi ini belum dapat dikatakan sebagai hal yang menggembirakan.

Dosen FH UI, Lidwina Inge Nurtjahyo, mengatakan kekerasan seksual tidak hanya merugikan korban. Keluarga dan masyarakat juga menderita kerugian karena timbul rasa tidak aman, turunnya produktivitas masyarakat, serta ongkos proses kasus dan biaya pemulihan yang harus dikeluarkan.

“Tidaklah tepat melihat kekerasan seksual sebagai persoalan moral dan susila. Tidak tepat juga mengatasi kekerasan seksual dengan menguatkan domestikasi atas perempuan,” ujar Inge dalam Webinar bertajuk Kekerasan Seksual: Support System, Pencegahan, Kampanye dan Hambatan digelar sebagai rangkaian dari Kampanye NO! GO! TELL!, Sabtu (24/7/2021).

Menurut Inge, perlu dilakukan penguatan perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual melalui produk peraturan perundangan yang tepat. Penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan, serta pendidikan dapat membangun kesadaran untuk respek atas tubuh dan privasi sejak dini dalam rangka mencegah dan meminimalisir kekerasan seksual.

Hal ini penting karena salah satu dampak dari pandemi Covid-19 membuat korban kekerasan dapat kehilangan akses untuk melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini disebabkan karena korban tinggal di wilayah yang sarana, prasarana komunikasi dan transportasinya tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan serta tidak optimalnya penyedia layanan untuk melakukan penjangkauan selama masa pandemi terjadi.

Dengan demikian, perlu pembenahan support system untuk membantu para korban sekaligus pencegahan dan kampanye bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Gina S Noer, Pembuat Film, Penulis Buku, dan Creativepreneur mengatakan kesetaraan gender selalu menjadi kepeduliannya sejak masuk ke usia remaja. Namun saat menjadi ibu, muncul kesadaran kalau tidak semua orang paham atau dibesarkan dengan kesadaran atas kesetaraan gender atau dengan pendidikan seks yang baik.

Hal ini disebabkan karena sistem sosial budaya dan pendidikan formal. Menjadi filmmaker membuatnya punya kesempatan untuk membantu membuka ruang diskusi seputar pendidikan seks dan peran gender.

“Film bisa menjadi pembuka ruang diskusi baik antara anak dengan orangtuanya atau murid dengan gurunya, sehingga mereka bisa mendapat informasi yang benar dan saling mencerahkan,” jelasnya.

Ratu Ommaya, Head of Values, Community & Public Relations The Body Shop Indonesia menambahkan, selama di Indonesia belum adanya payung hukum yang kuat. Maka hal yang patut dilakukan adalah menyediakan ruang aman dan nyaman untuk penyintas dengan memberikan support system.

“Seperti mendengarkan korban, memberi perlindungan, memberikan ketenangan, memenuhi kebutuhan praktisnya, menghubungkan dengan sumber sosialnya, dan memberikan informasi bantuan. Senjata terkuat adalah ketika kita mampu memberikan kekuatan kepada orang lain,” ujarnya. (*)