Ramalan Ranggawarsita tentang Kemerdekaan Indonesia

Ramalan Ranggawarsita tentang Kemerdekaan Indonesia

RAMALAN atau prediksi adalah dugaan terhadap peristiwa penting yang akan terjadi atau kejadian yang bakal datang yang terjadi (KBBI, 1989). Secara garis besar, ramalan (prediksi) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ramalan yang transparan (terang-terangan) dan ramalan yang berselubung.

Dalam ranah kesusastraan Jawa, ramalan yang dibuat oleh para raja dan pujangga biasanya secara tersirat (tersembunyi). Tokoh yang terkenal dalam memuat Serat Jangka atau Ramalan salah satunya adalah pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873).

R. Ng. Ranggawarsita adalah pujangga besar Jawa yang hidup di kalangan Keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwono IV hingga V. Nama aslinya adalah Bagus Burham. Dari garis ayahnya, ia adalah keturunan ke 10 dari Sultan Hadiwijaya, pendiri kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya yaitu keturunan dari Kesultanan Demak.

Pemikiran Ranggawarsita adalah pemikiran filsafat yang hebat, yang dapat menjelaskan kecenderungan perilaku masyarakat, bukan hanya pada zamannya tapi juga berlaku pada zaman sekarang.

Berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia, Ranggawarsita juga memberikan saat datangnya jembatan emas kemerdekaan tersebut. Karena ia hidup pada masa penjajahan Belanda, ia tentu menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesti Janma. Dia sangat yakin, bahwa ada perubahan zaman, yaitu Belanda akan angkat kaki dari Pulau Jawa. Perubahan zaman ini disebutkan dalam Serat Jaka Lodang dan Serat Sabda Jati.

Wiku Sapta Ngesthi Ratu dalam Serat Jaka Lodang

Serat Jaka Lodang adalah syair berbentuk tembang macapat dalam bahasa Jawa yang kaya akan rahasia dan makna kehidupan. Serat ini mengandung petuah akan adanya suatu zaman yang penuh dengan pancaroba dan kekacauan.

Serat Jaka Lodang merupakan suatu peringatan kepada masyarakat yang pada saat itu sedang dilanda krisis karakter (Griffiths, 2012: 478). Banyak masyarakat yang lupa akan jati dirinya sebagai manusia dan lupa terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia pada saat itu sudah terbujuk dengan gemerlap dunia dan harta, serta hanya memikirkan dirinya saja tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya. Golongan intelektual (wong alim) dan golongan pemimpin agama (ngulama) pun berperilaku buruk penuh kepalsuan jauh dari harapan masyarakatnya.

Selain berisi ratapan zaman Kalabendu (kesusahan), Serat Jaka Lodang juga berisi ramalan akan masa keemasan. Pada bagian tembang megatruh bait kedua terdapat sengkala yang ditafsirkan sebagai ramalan akan masa keemasan atau kemerdekaan Indonesia.

“Sangkalane maksih nunggal jamanipun / Neng sajroning madya akir /Wiku Sapta Ngesthi Ratu / Adil parimarmeng dasih / Ing kono kersaning Manon”

Artinya, waktunya masih pada zaman yang sama; pada pertengahan dari akhir zaman tersebut; ditandai candrasengkala Wiku (7) Sapta (7) Ngesthi (8) Ratu (1), menyatukan tahun Jawa 1877, bertepatan dengan tahun Masehi 1946; akan ada keadilan antara sesama manusia; hal tersebut sudah menjadi kehendak Tuhan.

Dengan demikian Serat Jaka Lodang menggambarkan zaman keemasan dengan ciri tahun: wiku sapta ngesthi ratu. Bangsa nusantara yang memperoleh anugerah Tuhan yang berupa kemerdekaan tersebut dilambangkan dengan “ngantuk nemu kethuk”, seperti dalam bait berikut

Tinêmune wong ngantuk anêmu kêthuk / Malênuk samargi-margi / Marmane bungah kang nêmu / Marga jroning kêthuk isi / Kêncana sêsotya abyor

Artinya, waktu itu orang yang sedang mengantuk, sambal duduk saja mendapat kethuk (menemukan benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang yang mendapat riang-gembira, lantaran di dalamnya berisi emas permata yang bergemerlapan,

Jika dilihat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 8 Pasa 1876 Jawa. Sengkala hanyalah menyatakan tahun terjadinya peristiwa, tanpa tanggal dan bulan. Sengkala Wiku (7) Sapta (7) Ngesthi (8) Ratu (1), menyatakan tahun Jawa 1877 atau 1946 M. Tetapi, kalender memperlihatkan bahwa bulan Desember 1945 sudah masuk tahun Jawa 1877 (6 Desember 1945 = 1 Sura 1877). Jadi, kekeliruan Ranggawarsita hanyalah 3 bulan. Hal ini juga dapat diartikan sengkala yang diajukan oleh Ranggawarsita tetap dapat diberi arti tahun 1945 Masehi, sebab 1 Sura 1877 masih berada di tahun 1945.

Wiku Memuji Ngesthi Sawiji dalam Serat Sabda Jati

Serat Sabda Jati merupakan karya terakhir Ranggawarsita. Dalam Serat Sabda Jati zaman yang serba sulit atau edan, disebut zaman pakewuh atau kalabendu. Hal ini diterangkan sebagai berikut,

“Para janma sajroning jaman pakewuh / Kasudra nira andadi / Dahurune saya ndarung / Keh tyas mirong murang margi / Kasetyan wus nora katon

Yeng kang uning marang sejatining dawuh / Kewuhan sajroning ati / Yen tiniru ora urus / Uripe kaesi-esi / Yen niruwa dadi asor

Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung / Anggelar sakalir-kalir

Kalamun temen tinemu / Kabegjane anekani / Kamurahane Hyang Manon

Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun / Yen temen-temen sayekti / Dewa aparing pitulung / Nora kurang sandhang bukti / Saciptanira kelakon”

Artinya, orang-orang dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat (buruk), melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat. Bagi orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh (bingung), apabila tidak turut berbuat sesat, hidupnya akan menjadi merana, kalau ikut menjadi rendah budi pekertinya.  Tindakan seperti itu, berarti tak percaya akan kemurahan dan kekuasaan Tuhan, yang menciptakan segala-galanya. Apabila memohon dengan bersungguh hati, pasti mendapat anugerah dari kemurahan Tuhan. Tuhan mengabulkan semua permohonan, apabila disertai kesungguhan, Allah pasti memberi pertolongan, tidak akan kekurangan makan serta pakaian. Segala yang diingini akan terlaksana.

Oleh karena itu, zaman kalabendu ditandai dengan semakin merosotnya moralitas manusia disebabkan oleh pola pikir yang salah. Segolongan orang atau pemimpin mengabdi pada hawa nafsunya.

Ranggawarsita memberi pelajaran untuk menyadarkan masyarakat agar berpegang teguh pada takdir dan kemurahan Tuhan. Bahwa percaya dengan takdir dan Tuhan Maha Pemurah merupakan pegangan dalam zaman gelap untuk mengatasi godaan zaman edan. Betapapun untungnya orang yang berbuat sesat dan lupa daratan, masih lebih bahagia orang yang selalu ingat dan hati-hati.

Namun dalam setiap “chaos” secara “built in” ada potensi untuk stabil dan teratur. Jika kesulitan di zaman ini bisa diatasi, maka masyarakat memasuki Kala Suba, yaitu zaman ketika masyarakat mulai sejahtera tanpa terlalu banyak kesulitan, dan orang-orang bersenang hati. Hal ini yang dimaksud dengan kemerdekaan.

Iku lagi sirep jaman Kala Bendu / Kala Suba kang gumanti / Wong cilik bisa gumuyu / Nora kurang sandhang bukti; Sedyane kabeh kelakon”

Artinya, saat itulah baru selesai zaman Kala Bendu diganti dengan zaman Kala Suba. Rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan pangan, seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.”

Ramalan mengenai kemerdekaan Indonesia dalam Serat Sabda Jati ditemukan pada tembang Megatruh bait 14,

“Waluyane benjang lamun ana wiku / Memuji ngesthi sawiji / Sabuk tebu lir majenum / Galibedan tudang tuding / Anacahken sakehing wong”

Artinya, zaman sulit tersebut akan selesai kelak apabila ada Wiku (7) Memuji (7) Ngesthi (8) Sawiji (1) menyatakan tahun Jawa 1877, bertepatan dengan tahun Masehi 1945 atau 1946. Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menuju kian kemari, menghitung banyaknya orang.

Dengan mengacu pada kalender, ternyata 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Pendapat bahwa 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 17 Ramadhan 1364 Hijriah, tidak mengubah semua penjelasan/paparan yang telah diberikan.

Berdasarkan ulasan di atas, Serat Jaka Lodang dan Sabda Jati karya Ranggawarsita menukilkan dua buah sengkala yang berbeda tetapi keduanya menunjukkan bilangan tahun yang sama, yaitu tahun Jawa 1877. Konversi ke kalender Masehi adalah 1945 atau 1946. Jadi, ramalan yang dibuatnya adalah ramalan tentang kemerdekaan Indonesia. **

Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum

Staf Pengajar di Universitas Sumatra Utara, Medan.