Prahara Watusungsang pada Bulan Purnama
Kisah Prahara Watusungsang, seolah seperti situasi politik negeri kita yang muram, yang membuat sesak dada banyak orang. Seorang raja, yang menikahi seorang perempuan anak pekathik, yang pada akhirnya kemudian hari, istri raja tersebut, yang berasal dari rakyat, lebih berkuasa ketimbang rajanya, sehingga membuat rakyatnya menderita.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Seperti halnya sastra Indonesia, sastra Jawa tak berhenti ditulis. Selalu ada penulis sastra Jawa dari usia berbeda-beda menulis sastra Jawa, baik berupa geguritan, cerita cekak dan novel. Ini ada naskah lakon, yang berjudul ‘Prahara Watusungsang’ ditulis Cicit Kaswami Rahayu, yang pada tahun 2024 ini kumpulan cerkaknya mendapat hadiah Rancage.
Kisah Prahara Watusungsang, seolah seperti situasi politik negeri kita yang muram, yang membuat sesak dada banyak orang. Seorang raja, yang menikahi seorang perempuan anak pekathik, yang pada akhirnya kemudian hari, istri raja tersebut, yang berasal dari rakyat, lebih berkuasa ketimbang rajanya, sehingga membuat rakyatnya menderita.
Begitulah rakyat yang mendapat kekuasaan, mentalnya tidak kuat, dan mempunyai keinginan kekuasaan terus dipegangnya, dan dengan berbagai cara, termasuk merusak pranata hukum, merobek moral, meluruhkan etika, agar kekuasan tidak lepas darinya.
Pertunjukan yang diberi nama pentas baca ini, akan dimainkan oleh Komunitas Kembang Adas, pimpinan Cicit Kaswami Rahayu pada acara Sastra Bulan Purnama edisi 149, Sabtu, 24 Februari 2024, pkl. 15.30 dengan mengambil tempat di Museum Sandi Jl. Faridan M Noto No.21, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224. Atau di utara Raminten dan Balai Bahasa Yogyakarta, atau sebelah barat SMA Stella Duce 1, Kotabaru, atau juga sebelah selatan ban-ban Gondolayu.
Anggota Komunitas Kembang Adas terdiri dari berbagai usia, dan sudah seringkali mengadakan pentas di berbagai kesempatan, termasuk pada acara Sastra Bulan Purnama. Para pemain pentas baca Prahara Watusungsang ialah, Ami Simatupang, Cicit Kaswami, Choen Supriatmi, Martini, Purwanti, Plenok, Lisa, Titik Y, Tutik W, Wening, Yohana, Imam Widyoko, Patah Ansori, Gati, Eko, Dito, Tri R., Wahyu, Guri, Latih.
“Disebut pentas baca, karena para pemainnya pentas sambil membaca naskah, sehingga masing2 tidak perlu menghapal naskah sebagaimana pentas drama,” ujar Cicit Kaswami.
Bu Cicit (82 th), demikian ia biasa dipanggil, dalam usianya yang sudah lanjut masih terus produktif berkarya, baik berupa cerkak, cerpen maupun naskah lakon.
Sastra Bulan Purnama (SBP), demikikan Ons Untoro, koordinator SBP, sudah lebih dari 2 kali memberi ruang karya Cicit Kaswami dipentaskan dalam bentuk pentas baca.
“Sastra Bulan Purnama memang bukan hanya untuk sastra Indonesia, tetapi terbuka terhadap sastra Jawa dan sastra etnik lainnya,” ujar Ons Untoro.
Sementara Setyo Budi Prabawa, Kepala Museum Sandi, menyambut baik sinergi Sastra Bulan Purnama dan Muesum, karena keduanya sama-sama mengembangkan produk kebudayaan dalam rupa dan bentuk yang berbeda.
“Rasanya, sudah satu tahun lebih Sastra Bulan Purnama bersama Museum Sandi memberi ruang terhadap sastra, dan bukan hanya pertunjukan, tetapi juga diskusi buku sastra dan kebudayaan,” ujar Setyo Prabawa. (*)