Politik Uang Masih Akan Menghantui Kampanye Terbuka Pemilu 2024, Ini Penyebabnya

Politik Uang Masih Akan Menghantui Kampanye Terbuka Pemilu 2024, Ini Penyebabnya
Diskusi Pemilu 2024 dan Politik Uang di Sintetis Coffee Jalan Kaliurang Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Kampanye terbuka Pemilu 2024 yang dimulai pada 21 Januari mendatang, diprediksi akan menjadi ajang praktik politik uang yang masif. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan yang mengizinkan bahan kampanye dalam bentuk barang dengan nilai maksimal Rp 100 ribu.

Aturan ini dinilai telah melegalkan politik uang secara tidak langsung. Sebab, bahan kampanye dalam bentuk barang dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi pilihan pemilih.

Aturan maksimal seratus ribu (bahan kampanye) ini kan sudah bisa disebut politik uang yang dilegalkan. By definition ini bagian dari politik uang, meski bisa jadi alasan karena penyelenggara pemilu untuk membedakan politik uang dan biaya politik, ujar Mada Sukmajati, ahli politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam diskusi bulanan pada Sabtu (20/1/2024) di Sintetis Coffee Jalan Kaliurang Yogyakarta.

Mada menambahkan, aturan ini dapat membuat peserta pemilu berlomba-lomba untuk membagikan barang kepada pemilih. Hal ini karena dengan membagikan barang, peserta pemilu dapat dengan mudah menarik simpati pemilih.

Politik transaksional akan dianggap wajar, tidak ada ideologi politik yang baik sehingga banyak orang pesimis politik uang bisa dikendalikan pada pemilu ini, tambah Mada.

Persoalan politik uang dalam kampanye terbuka Pemilu 2024 ini telah menjadi perhatian berbagai pihak. Bawaslu dan KPU telah menyatakan akan melakukan pengawasan secara ketat untuk mencegah praktik politik uang.

Namun, pengawasan dari Bawaslu dan KPU saja dinilai tidak cukup. Masyarakat juga perlu berperan aktif untuk melaporkan setiap praktik politik uang yang ditemukan.

Masyarakat harus waspada dan berani melaporkan setiap praktik politik uang yang ditemukan. Politik uang dapat merusak demokrasi, ujar Mada.

Mada juga mengapresiasi adanya kampung anti politik uang (APU) di wilayah Sleman Yogyakarta. Kampung apu adalah inisiatif dari warga desa yang berkomitmen untuk menolak segala bentuk pemberian uang atau barang dari peserta pemilu.

Namun baru ada lima desa di Sleman yang telah mendeklarasikan diri sebagai kampung APU, yaitu Desa Sardonoharjo, Candibinangun, Trimulyo, Ambarketawang, dan Sendangsari. Desa Sardonoharjo bahkan sudah menerbitkan Peraturan Kepala Desa tentang Desa Anti Politik Uang sejak 2019.

Kampung APU bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik dan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan suara mereka, imbuhnya.

Mada mengatakan bahwa kampung apu adalah salah satu cara untuk mencegah politik uang yang sudah mengakar di masyarakat.

Ia mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh warga desa, seperti memasang spanduk, stiker, poster, dan baliho anti politik uang, serta melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Ia berharap kampung apu bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia. (*)