Peringatan Hari Jadi ke-269 DIY, Sultan HB X: Simbol Perubahan

Hari lahir DIY ditetapkan 13 Maret 1755 atau dalam kalender Jawa Kemis Pon tanggal 29 Jumadil'awal tahun Be 1680.

Peringatan Hari Jadi ke-269 DIY, Sultan HB X: Simbol Perubahan
Rapat Paripurna Istimewa DPRD DIY dalam rangka Peringatan Hari Jadi ke-269 DIY, Rabu (13/3/2024). (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan momentum peringatan Hari Jadi ke-269 Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (13/3/2024), bukan hanya sekadar penanda waktu namun sebuah simbol perubahan. Yaitu, berdampak mendalam terhadap perjalanan Daerah Istimewa Yogyakarta serta mengukir jejak keistimewaan dalam kanvas sejarah.

“Hari lahir Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan pada tanggal 13 Maret 1755 atau dalam kalender Jawa Kemis Pon tanggal 29 Jumadil'awal tahun Be 1680,” ujar Sultan HB X saat menyampaikan pidatonya pada Rapat Paripurna Istimewa DPRD DIY, Rabu (13/3/2024).

Rapat Paripurna dalam rangka Peringatan Hari Jadi ke-269 DIY kali ini dipimpin Ketua DPRD DIY Nuryadi didampingi wakilnya Huda Tri Yudiana, Anton Prabu Semendawai dan Atmaji.

Selain itu, juga dimeriahkan pementasan seni budaya tari Sekar Pudyastuti persembahan dari Dinas Kebudayaan DIY. Tarian tersebut merupakan salah satu tari Klasik gaya Yogyakarta karya KRT Sasminta Dipura.

Tampak hadir Wakil Gubernur DIY, Anggota Forkopimda DIY, Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY, Kepala BPK DIY, Kepala OJK DIY dan seluruh Instansi Vertikal di DIY, Bupati  dan Walikota se-DIY, Sekretaris Daerah DIY serta seluruh Kepala OPD di DIY.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama Wakil Gubernur Paku Alam IX menghadiri Rapat Paripurna Istimewa DPRD DIY. (istimewa)

Menurut Gubernur, hari jadi DIY sudah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2024. “Atas pengesahan peraturan daerah itulah, kami memberikan apresiasi dan terima kasih kepada pimpinan dan anggota Panitia Khusus, yang telah membahas Perda tersebut, dan kepada Pimpinan beserta seluruh anggota DPRD, yang berkenan memberikan berbagai dukungannya,” kata Sultan.

Dengan harapan dan visi yang jauh ke depan, menurut Gubernur, pengesahan Perda tentang Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta membuka lembaran baru sejarah.

“Ditinjau dari perspektif identitas, Perda Hari Jadi bukan sekumpulan lembar kertas semata, melainkan menjadi pijakan untuk memperkuat karakter dan jati diri Yogyakarta, sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata dia.

Perda ini juga menjadi fondasi bagi pemerintah dan masyarakat DIY untuk membangun masa depan, mengambil inspirasi dari nilai-nilai budaya yang agung dan spirit perjuangan, yang telah melekat dalam jiwa ke-Yogya-an masyarakat sejak dahulu kala.

Gubernur menamahkan, ditinjau dari dimensi historikal, aspek sejarah tidaklah dipandang sebagai kenangan semata, tapi juga dijadikan landasan dalam penyusunan Perda Hari Jadi DIY, mencerminkan falsafah Historia est Magistra Vitae, Sejarah adalah Guru yang terbaik.

Pementasan tari Sekar Pudyastuti persembahan dari Dinas Kebudayaan DIY. (istimewa)

Lembaran naskah akademik yang lahir dari riset mendalam, telah mengungkap setiap momen penting berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta dan seluruh perjalanannya hingga saat ini. “Aspek historis jua-lah, yang menjadi kunci dalam menetapkan identitas dan keberadaan Yogyakarta dalam konteks yang lebih luas,” tambahnya.

Dari sisi politis, menurut Sultan HB X, penetapan Hari Jadi DIY adalah manifestasi dari kesatuan pemikiran dan dukungan masyarakat, mengukuhkan fakta sejarah, dan memperkuat kesepakatan kolektif tentang pentingnya momen ini.

Dukungan dari DPRD sebagai representasi lapisan masyarakat DIY, tidak hanya menguatkan fondasi keistimewaan Yogyakarta tetapi juga memperkaya keberagaman dalam bingkai NKRI.

“Dengan berdasar pada perspektif itulah, saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada Pimpinan dan seluruh Anggota Dewan, seiring dukungan pemikiran dan kerja kerasnya, dalam setiap proses pembahasan, hingga disahkannya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata Sultan HB X.

Dia berharap peringatan Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta ke-269 menjadi cahaya pemandu dalam pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam semangat maju, sejahtera dan berkelanjutan, dijiwai nilai budaya dan spirit keistimewaan.

Sesi foto bersama usai Rapat Paripurna Istimewa DPRD DIY dalam rangka Peringatan Hari Jadi ke-269 DIY, Rabu (13/3/2024). (istimewa)

“Mari jadikan momentum ini sebagai tonggak untuk mewujudkan amanat rakyat, memperkaya dedikasi, memajukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menyejahterakan masyarakatnya,” pintanya.

Ketua DPRD DIY Nuryadi berharap penetapan tanggal 13 Maret 1755 sebagai Hari Jadi DIY merupakan wujud penyempurnaan dari identitas provinsi ini.

“Kami berharap, penetapan itu memiliki makna yang dalam bagi seluruh pemangku kepentingan di DIY, tidak saja sebagai identitas tetapi juga kebanggaan dan penyemangat untuk terus membangun dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama menjadikan DIY sebagai daerah tujuan wisata, kota budaya, pusat pendidikan terkemuka di Asia Tenggara,” ujarnya.

Jauh lebih penting lagi, lanjut Nuryadi, adalah adanya semangat menjadikan momentum tersebut untuk lebih bekerja lebih keras demi kemakmuran dan ketenteraman warga DIY.

Beberapa fakta sejarah dan nilai budaya yang menjadi dasar-dasar, yang pada akhirnya menetapkan tanggal 13 Maret 1755, sebagai hari lahir DIY:

● Pada hari tersebut, di Hutan Beringan, Sultan Hamengku Buwono secara resmi mendeklarasikan berdirinya "Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat" yang juga menandakan pembentukan negara dan pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan elemen pemerintahan, wilayah, dan rakyatnya, meskipun istana belum terbangun.

● Dalam momen tersebut, Sultan Hamengku Buwono resmi menyatakan wilayah kekuasaannya sebagai “Ngayogyakarta Hadiningrat”, terletak di Hutan Beringan, yang juga dikenal sebagai Beringin atau Pabringan, di mana terdapat sumber air Pachetokan dan pesanggrahan Garjitawati.

Awalnya, pembangunan pesanggrahan ini digagas oleh Sunan Amangkurat IV yang meninggal sebelum selesainya. Proyek tersebut kemudian diteruskan oleh Sunan Pakubuwana II, yang menghasilkan pesanggrahan yang berganti nama menjadi Ayodhya. Lokasi ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat sementara untuk jenazah bangsawan Mataram dari Surakarta sebelum dikebumikan di Imogiri.

● Tanggal 13 Maret 1755 sekaligus menjadi momentum, di mana untuk pertama kalinya digunakan nama “Ayodhya”, yang kemudian dilafalkan menjadi “Ngayodhya” dan “Ngayogya”. Dari kata inilah kemudian dijadikan nama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti tempat yang baik dan sejahtera yang menjadi suri tauladan keindahan alam semesta.

● Dalam tradisi Jawa, Ngayogyakarta merupakan nama negara baru yang terdiri atas separo bumi Mataram, yang sekaligus juga nama ibukota negara. Kesamaan ini mengandung makna, bahwa ibu kota bukan hanya pusat administratif pemerintahan atau perniagaan, tetapi juga merupakan cerminan dari keseluruhan nagari. Sementara ungkapan Hadiningrat, mengisyaratkan bahwa secara konseptual dicita-citakan agar nagari ini dapat menginspirasi dunia dengan keindahan, kesempurnaan dan keunggulannya.

● Tanggal 13 Maret 1755, sekaligus menandai puncak jiwa kemerdekaan yang digelorakan oleh Pangeran Mangkubumi, untuk melepaskan diri dari hegemoni kolonialisme Belanda untuk membangun sebuah peradaban baru yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. 

● Waktu ini juga menyimbolkan persatuan kewilayahan Yogyakarta, karena pada masa ini (Sultan Hamengku Buwono I), wilayah Yogyakarta belum terpecah akibat intervensi kolonialisme.

● Peristiwa Hadeging Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, secara “de jure” sudah memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan untuk menjadi sebuah negara yang berbentuk Kasultanan, yaitu pemimpin, rakyat, wilayah dan pemerintahan. (*)