Ada Kampung Aksara Jawa di Bantul
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Merasa prihatin atas musnahnya aksara nusantara, sejumlah pegiat aksara Jawa menginisiasi berdiri komunitas kampung aksara Jawa di wilayah Kapanewon Piyungan Bantul.
Menariknya, inisiator gerakan membudayakan lagi aksara Jawa itu justru muncul dari seorang tokoh bukan asli orang Jawa melainkan berdarah Betawi.
Dia adalah Akhmad Fikri. Penggerak budaya dan aksara Jawa ini menginisiasi kampung tempat tinggalnya menjadi kampung aksara yaitu di Bintaran Wetan 06 Srimulyo Piyungan Bantul.
Dia tergerak karena mayoritas orang yang menggunakan bahasa Jawa tidak bisa membaca aksaranya. Para pemuda yang berbahasa Jawa tidak bisa membaca aksara Jawa.
Baginya, ini sangat berbahaya jika kaum muda tidak mampu membaca aksara Jawa. Bisa saja aksara ini hilang musnah tinggal sejarah jika tidak ada upaya melestarikannya. “Aksara Jawa harus digunakan masif pada ranah kehidupan sosial,” kata Fikri, Jumat (26/3/2021), di sela-sela penutupan Kongres Aksara Jawa (KAJ) I Yogyakarta.
Fikri bersama rekan-rekannya menggandeng para ketua RT maupun Karang Taruna di kampungnya. Tercatat sejak tahun 2020 mereka menghiasi kampung dengan tulisan-tulisan beraksara Jawa atau huruf Hanacaraka.
Nama-nama pemilik rumah, tanda-tanda nama jalan ditulis pakai huruf atau aksara Jawa. Begitu pula hiasan-hiasan dinding. Tak hanya itu, teks buletin khutbah salat Jumat ditulis dengan aksara Jawa.
“Kadang berbahasa Indonesia, kadang berbahasa Jawa. Tetapi intinya, teksnya dengan aksara Jawa. Buletin bernama Mataraman ini masih tersebar terbatas di sekitar 20 masjid,” kata Fikri.
Melalui kampanye yang masif seperti itu, aksara Jawa akan lebih membumi. Masyarakat tidak asing lagi jika setiap hari dicekoki, dalam tanda kutip, aksara leluhur itu.
Di kampung itu, kaum muda memperoleh pelatihan-pelatihan pembelajaran aksara Jawa. Meskipun di sekolah dasar hingga menengah telah dipelajari, namun kebanyakan mereka sudah lupa.
Ini terjadi karena aksara Jawa tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari termasuk di sosial media. Justru anak-anak muda teracuni aksara dari luar seperti aksara Korea, China maupun Jepang.
“Kaum muda sangat tertarik untuk kembali belajar aksara Jawa. Ini sangat menarik,” kata pegiat aksara Jawa yang notabene seorang Betawi tulen ini.
Menurut Fikri, kampung aksara Jawa sejalan dengan pemikiran Guru Besar Bidang Fonologi Bahasa Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Marsono, yang menyatakan dalam situasi darurat aksara Jawa yang paling penting adalah generasi muda dibuat senang dengan aksara Jawa.
“Jangan membuat, misalnya, pembelajaran aksara Jawa itu susah dipahami,” kata Fikri.
Atas keprihatinan ini pula para pegiat aksara Jawa menyelenggarakan Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta yang dipusatkan di Hotel Grand Mercure Yogyakarta, 22-26 Maret 2021. Para tokoh dan guru bahasa Jawa ikut serta dalam kongres ini.
“Kami tidak henti-hentinya mengkampanyekan aksara Jawa ini ke berbagai aspek kehidupan. Kami, para pegiat aksara Jawa berusaha supaya kaum muda melirik dan mengamalkan aksara Jawa di dalam kehidupan sehari-hari,” ucap Fikri.
Akhmad Fikri (kanan) mengikuti Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta. (istimewa)
Modul digital
Menurut dia, pada era digital revitalisasi aksara Jawa harus dibuat secara masif sehingga kaum muda tertarik mempelajari aksara Jawa dengan modul digital.
Dengan metode seperti itu aksara kuno ini bisa dipelajari dengan cara kekinian. “Kekunoan dipelajari dengan cara kekinian, kaum milenial tertarik dengan digitalisasi aksara Jawa,” kata Fikri.
Gerakan ini diharapkan mampu menginspirasi dan memupuk kesadaran masyarakat dan pemerintah pusat maupun daerah untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan aksara sebagai budaya bangsa Indonesia.
Salah seorang pengurus Karang Taruna Kalurahan Srimulyo, Agung Bimo Wicaksono, menyatakan Fikri menjadi salah seorang yang memberi semangat kampanye penggunaan aksara Jawa.
Gerakan Aksara Jawa dimulai pada tahun 2020 di Dusun Bintaran Wetan dan Payak Cilik. Bermula dari inisiatif tokoh dusun setempat karena minimnya kesadaran masyarakat akan arti penting aksara Jawa. Atas dasar permasalahan tersebut terbentuklah kampung aksara.
“Yang pertama adalah plangisasi. Setiap pemilik rumah di kampung aksara membuat tulisan beraksara Jawa pada papan kayu bertuliskan kepala keluarga, kemudian ditempel depan pintu rumah,” kata Agung.
Kedua, pembuatan buletin khutbah Jumat dalam bentuk aksara Jawa yang terbit dua kali setiap hari Jumat awal dan akhir bulan. Naskah itu didistribusikan ke masjid-masjid dan instansi pemerintahan di Desa Srimulyo.
“Buletin Jumat kami jadikan sebagai program utama sebagai upaya dari pengenalan secara langsung dari eksistensi aksara itu sendiri,” ujarnya.
Untuk gerakan yang akan datang, pihaknya memberikan pelatihan aksara kepada generasi muda di setiap pedukuhan Desa Srimulyo, yaitu gerakan Muda Beraksara.
Tujuan dari gerakan ini membuat generasi muda sekarang agar memiliki rasa handarbeni (rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab) terhadap aksara.
“Aksara adalah bagian dari budaya kita, harus ada regenerasi dari para generasi penerus bangsa untuk menjaga dan melestarikannya,” tandasnya. (*)