Perempuan Pekerja Sektor Informal Minim Perlindungan

Menurut Prima Sari, bekerja di sektor informal seringkali membuat perempuan tidak memiliki perlindungan.

Perempuan Pekerja Sektor Informal Minim Perlindungan
Dra Prima Sari FLMI, pemerhati masalah sosial, ekonomi dan kesehatan. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kegiatan ekonomi yang dilakukan perempuan tidak terlepas dari faktor yang mempengaruhinya seperti kurangnya pendapatan suami, banyaknya tanggungan keluarga yang menjadikan perempuan ikut serta dalam kegiatan perekonomian demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Sayangnya, perempuan pekerja sektor informasi sampai saat ini masih minim perlindungan. Mereka bekerja tanpa proteksi sosial dan hukum, tidak mendapatkan dana pensiun, tidak mendapatkan cuti, tidak mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan upah yang relatif rendah.

Selain itu, juga ada perbedaan upah antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan pada bidang kerja yang sama maupun rentan beberapa kekerasan di dunia kerja.

"Ada sejumlah permasalahan yang dihadapi. Mereka kebanyakan ditempatkan pada bidang yang tidak memerlukan pendidikan atau keterampilan khusus, ini berpengaruh ke upah. Lalu, tenaga kerja perempuan rawan pelecehan seksual lingkungan kerja," kata Dra Prima Sari FLMI, pemerhati masalah sosial, ekonomi dan kesehatan.

ARTIKEL LAINNYA: Dari Rakorpimnas IGTKI, Guru TK Diharapkan Semakin Inovatif

Kepada wartawan, Sabtu (3/2/2024), dia menyampaikan Pemda DIY sudah mengeluarkan sejumlah regulasi untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja perempuan informal. Sebut saja di antaranya Peraturan Gubernur No 31 Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga, Perda No 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di DIY maupun Perda No 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

"Perempuan yang bekerja di sektor informal rentan kepada kekerasan apapun, yang lebih mengerikan dan sering terjadi adalah kekerasan seksual. Jika ada, maka akan kita lindungi dengan Perda No 3 Tahun 2012. Selain itu, sektor informal juga rentan perdagangan perempuan, baik di negara kita sendiri maupun di luar negeri," kata Prima Sari.

Memang, lanjut dia, sektor informal menjadi salah satu pilihan yang digunakan perempuan dalam memperoleh pendapatan. Selain tidak membutuhkan modal yang besar, sektor informal juga tidak mengharuskan pelakunya berpendidikan tinggi.

Diakui, semakin sempitnya lahan pertanian menjadikan masyarakat beralih ke sektor jasa maupun perdagangan yang identik dengan sektor informal. Terlebih lagi dengan mudahnya memasuki sektor informal dan semakin ketatnya persaingan di sektor formal.

ARTIKEL LAINNYA: Yogyakarta Mengalami Deflasi di Awal Tahun 2024

Apalagi, kata Prima, masuknya sektor informal itu sendiri tidak dibatasi baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan yang biasanya identik dengan pekerjaan rumah tangga dapat pula terjun ke sektor informal untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dipilihnya sektor informal oleh perempuan tidak terlepas dari ciri dan sifat sektor informal tersebut.

Pasar tenaga kerja yang kondusif dapat mendorong minat perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam bidang perekonomian. Namun perempuan cenderung bekerja di sektor informal daripada sektor formal, padahal pekerjaan di sektor informal memiliki risiko kerja yang tinggi, perlindungan yang minim, dan keuntungan yang tidak menentu.

Pada umumnya motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja perempuan adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Perempuan  cenderung bekerja lebih lama dengan pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

“Tetapi bagaimanapun syaratnya beban kerja mereka dan kecilnya imbalan yang diperoleh, kegiatan ini tetap mereka tekuni karena mutlak perlu di samping membantu suami menambah pendapatan juga sangat berarti bagi mempertahankan kelangsungan hidup mereka yang selalu berada di garis subsistensi. Hal ini merupakan indikator betapa sentralnya posisi perempuan dalam ekonomi rumah tangga. Kondisi ini merupakan dorongan penyadaran peran perempuan untuk berkiprah di sektor publik”, kata Prima Sari.

ARTIKEL LAINNYA: Ironi Remaja di Kota Pendidikan, Banyak yang Gagal Kuliah Karena Biaya

Dia menambahkan, perempuan bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang sedemikian sulit, sehingga harus dapat menutup segala kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.

Berbagai motivasi perempuan (ibu) untuk bekerja adalah bukan hanya karena suami tidak bekerja atau pendapatannya kurang, tetapi juga ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, mengaktualisasikan diri, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga.

Menurut Prima Sari, bekerja di sektor informal seringkali membuat perempuan tidak memiliki perlindungan terhadap undang-undang ketenagakerjaan, tunjangan sosial seperti pensiun, asuransi kesehatan, atau cuti sakit yang dibayar.

“Mereka secara rutin bekerja dengan upah rendah dan dalam kondisi tidak aman, termasuk risiko pelecehan seksual. Kurangnya perlindungan sosial mempunyai dampak jangka panjang terhadap perempuan. Misalnya, secara global, lebih sedikit perempuan yang menerima pensiun, dan akibatnya, lebih banyak perempuan lanjut usia yang hidup dalam kemiskinan,” terangnya.

ARTIKEL LAINNYA: Template Kertas Suara Kurang Menonjol, Dibaca Agak Susah

Merujuk data Badan Pusat Statitistik (BPS) tahun 2022, lanjut dia, di Daerah Istimewa Yogyakarta para pekerja sektor informal memiliki gaji atau upah bersih sebesar Rp 2,1 juta. Di provinsi ini sektor informal jasa merupakan bidang usaha yang memberikan upah bersih lebih tinggi dibandingkan dengan kedua sektor lainnya (yakni sektor informal pertanian dan industri).

“Hal ini menunjukkan bidang jasa di Provinsi DIY kompensasinya lebih menjanjikan. Situasi ini salah satunya tidak lepas dari image provinsi ini sebagai destinasi wisata. Sektor informal dapat berperan baik dalam pembentukan objek wisata maupun dalam mendukung aktivitas pariwisata yang sudah ada sebelumnya,” jelasnya.

Kondisi yang positif pada perekonomian di DIY, menurut Prima,  dapat lebih ditingkatkan dengan membentuk kolaborasi yang baik antara sektor formal dan informal sehingga bisnis-bisnis baru yang mendukung pemasukan dari bidang pariwisata dapat berkembang. (*)