Penanganan Tindak Pidana Sektor Jasa Keuangan Tidak Mudah
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Penanganan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan, tidak mudah dilakukan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun aparat kepolisian kerap dihadapkan pada pilihan sulit antara melakukan tindakan tegas, dengan pertimbangan lebih luas dan memprioritaskan upaya menyelamatkan dana masyarakat.
Hal ini disampaikan Penyidik Utama DPJK OJK, Irjen Pol Suharyono, dalam konferensi pers terkait “Sinergi OJK, Kepolisian dan Kejaksaan, dalam Penanganan Tindak Pidana Sektor Jasa Keuangan dan Tentang Satgas Waspada Investasi”, di Yogyakarta, Rabu (7/7/2022).
Suharyono mengatakan, dalam banyak kasus tindak pidana pada sektor jasa keuangan, dana masyarakat seringkali menjadi pertaruhan. Dana hasil tindak kejahatan biasanya sudah dipergunakan pelaku untuk berbagai keperluan. Mulai dari investasi, hingga keperluan konsumtif.
“Maka, kami biasanya sangat berhati-hati. Pengin-nya, kita bertindak tegas dan keras. Tapi kalau kita bersikap begitu, khawatirnya peluang untuk mengembalikan dana masyarakat semakin tertutup. Jadi memang tidak mudah. Harus sangat berhati-hati dan teliti,” kata Suharyono.
Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK, Wiwit Puspasari, menambahkan Satuan Tugas Waspada Investasi selama ini menaruh konsen yang besar terhadap kerugian yang diakibatkan maraknya praktik investasi ilegal. Sejak tahun 2018 hingga sekarang, lebih dari Rp 16,7 triliun dana masyarakat yang diinvestasikan dan ternyata terjebak investasi ilegal.
Senada dengan Suharyono, Wiwit mengaku dana masyarakat yang telanjur masuk ke praktik investasi ilegal, biasanya sangat sulit kembali. Yang terpenting, bagaimana secara bersama-sama terus mendorong agar masyarakat pintar menginvestasikan dananya.
“Biasanya, pemilik modal kan ingin return yang bagus. Boleh-boleh saja. Tapi harus diingat, keuntungan yang tinggi selalu berdampingan dengan risiko yang juga tinggi. Jadi masyarakat harus pintar. Harus mengedepankan 2 L yakni logis dan legal. Logis berpikir dan harus memilih investasi yang legal,” katanya.
Bagaimana caranya? Menurut Wiwit sebenarnya tidak sulit. Setiap mendapatkan penawaran investasi, maka masyarakat harus terlebih dulu melihat legalitas dari pihak yang menawarkan investasi dimaksud.
Caranya adalah cek melalui website lembaga yang sesuai dengan jenis investasinya. Kalau investasinya terkait crypto, maka mengeceknya ke website Bappebti. Kemudian kalau investasinya fintech peer to peer landing, maka mengeceknya ke OJK. Sedangkan terkait dengan praktik koperasi, maka mengeceknya ke website Kemenkop UKM.
“Kalau di web tidak ada nama lembaga yang menawarkan investasi itu, sudah pasti ilegal. Jadi jangan diambil. Masyarakat jangan sampai tamak. Ingin cepat kaya dengan cara yang mudah,” tandas Wiwit.
Penyidik Madya Ditreskrimum Polda DIY, AKBP Tri Wiratmo, mengungkapkan prinsip kehati-hatian masyarakat menjadi kunci utama memerangi praktik kejahatan di sektor jasa keuangan. Wiratmo menegaskan, iming-iming yang menggiurkan seringkali membuat masyarakat tergiur dan lupa akan risiko.
“Tentu kawan-kawan media masih ingat. Tahun 2005-an dulu juga ramai koperasi Guyub Raharjo. Korbannya mencapai empat ribuan orang. Kita kejar terus, dana masyarakat yang bisa selamat hanya Rp 200 juta-an. Padahal nilai kerugian masyarakat miliaran. Kan sayang sekali. Itupun prosesnya lama dan tidak mudah,” ungkapnya.
Kepala OJK Yogyakarta Parjiman mengatakan, khusus untuk fintech, OJK masih pada keputusan menghentikan sementara izin baru. Hingga saat ini, ada 102 fintech yang mengantongi izin dari OJK. Daftar nama fintech yang punya izin ada pada website OJK.
Pihaknya terus mendorong sosialisasi mengenai keamanan investasi. Sosialisasi dilakukan secara masif, dengan harapan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait keamanan investasi juga semakin meningkat. (*)