Pemuka Lintas Iman Inisiasi Pertobatan Ekologi

Pemuka Lintas Iman Inisiasi Pertobatan Ekologi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Para pemuka agama lintas iman dan penghayat kepercayaan di DIY dan Jawa Tengah berkumpul untuk menginisiasi sebuah pengakuan dosa yang disebut pertobatan ekologi. Pertobatan berupa gerakan kesadaran ini dilakukan mengingat krisis iklim yang melanda dunia adalah tanggung jawab bersama, tak terkecuali pemuka agama.

"Bahwa persoalan krisis iklim adalah hal yang sangat mendesak karena kita terlambat mengatasi masalah ini,"  ujar Alissa Wahid, Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dalam sambutannya secara daring di depan Forum Pemuka Agama yang hadir di University Hotel, Sabtu (18/2/2023).

“Kita mendorong lembaga-lembaga di NU untuk bicara tentang hubbulbiah, cinta kepada alam sebagai bagian dari merawat jagad membangun peradaban,” lanjutnya.

Melalui forum ini, para pemuka agama dan aktivis humanitarian sepakat untuk membangun solidaritas kemanusiaan dan hidup selaras dengan alam. Nilai spritualitas dari setiap agama menekankan relasi baik yang perlu dirawat antara Tuhan, manusia dan alam semesta.

Terjadinya krisis iklim adalah tanggung jawab bersama umat manusia dalam proses merawat alam semesta yang berarti juga merawat spiritualitas.

“Sudah saatnya kita semua bersolidaritas untuk menjadikan semesta alam dibawah naungan ilahi sebagai platform bersama yang melintasi batas penggolongan, identitas dan agama. Krisis lingkungan bukan hanya maslaah ilmiah, politik dan ekonomi tetapi juga tantangan moral dan spiritual,” kata dia.

Pertemuan selama dua hari ini berupa simposium dan diskusi yang dilanjutkan pentas budaya. Pada hari kedua dilakukan kunjungan ke komunitas bantaran Sungai Gajah Wong untuk melihat dan menyaksikan praktik adaptasi atas ancaman bencana yang dilakukan oleh komunitas  sekaligus melangsungkan deklarasi bersama pemuka agama atas krisis iklim.

Di atas bantaran sungai ini pula para pemuka agama dan penghayat kepercayaan lintas iman mengucapkan deklarasi Sungai Gajah Wong sebagai sebuah Pertobatan Ekologi.

"Kami bersepakat untuk menyerukan agar kita semua melakukan pertobatan ekologis dan segera menjadi agen perubahan untuk melakukan langkah-langkah kongkret untuk melakukan pengelolaan dan perawatan alam semesta," papar Christiono Riyadi, perwakilan GKJ Kemadang Gunungkidul.

Perwakilan umat Kristen, Banu Subagyo,  menyebut bahwa krisis iklim yang berakibat pada bencana banyak melahirkan praktik-praktik intoleransi yang pada akhirnya mengabaikan kemanusiaan.

Pengalaman-pengalaman di lapangan, lanjut dia, sering terjadi intoleransi dan lebih khusus lagi adalah pada saat situasi bencana.

Pekerja kemanusiaan dalam situasi bencana mengatakan,  intoleran itu tidak hanya pada saat soal agama tetapi juga pada tindakan-tindakan diskriminatif, meminggirkan ataupun tidak menghargai martabat manusia dari mereka yang terpinggirkan.

"Oleh karena itu sebagai pekerja kemanusiaan yang mendasarkan diri pada kode etik kemanusiaan mengatakan bahwa mereka akan bekerja mendahulukan siapa yang paling menderita tidak memandang suku, agama maupun golongan-golongan yang lain," tegasnya.

Intoleransi menjadi bagian penting yang sering dipicu oleh bencana. “Oleh karena itu para pemuka agama dapat menjadi teladan, mendorong umat beragama dan kepercayaan untuk bersama-sama melakukan gerakan, tindakan nyata yang toleran yaitu menangani krisis iklim penyebab bencana," ujarnya. (*)