Pelestarian Sejarah Desa Banyuurip Purworejo Ditandai Peletakan Prasasti Tapak Pangeran Joyo Kusumo
Air keluar sangat jernih bagaikan kaca. Galuhwati girang tak terkirakan.
KORANBERNAS.ID, PURWOREJO -- Upaya pelestarian sejarah cikal bakal Desa Banyuurip Kabupaten Purworejo Jawa Tengah ditandai peletakan Prasasti Tapak Pangeran Joyo Kusumo di depan Sumur Beji.
Sejarah mencatat perjalanan Pangeran Joyo Kusumo beserta adiknya bernama Galuhwati atau Nyai Putri, tiba di sebuah tempat dan kehausan. Pangeran Joyo Kusumo menancapkan wedung (pedang kecil) di sekitar daerah Sumur Beji yang bernama Kiai Kuru Dalang, lalu keluar air.
Peletakan prasasti di Dukuh Kembaran Desa Banyuurip Purworejo itu dipimpin oleh Radityawan yang merupakan bendahara Paguyuban Macapat Suryowasiso di desa tersebut, Sabtu (15/2/2025) sore.
Raditya saat melantunkan tembang Macapat dari buku Serat Babat Banyuurip terbaca kalimat Cur Umijil Tirta Wening, yang berarti keluar memancar air yang jernih, itulah yang sekarang dikenal dengan Sumur Beji, kemudian menjadi nama Banyuurip atau air kehidupan.
Peletakan prasasti Desa Banyuurip Purworejo. (wahyu nur asmani ew/koranbernas.id)
"Prasasti ini merupakan sejarah kisah Pangeran Joyo Kusumo saat menancapkan wedung di sekitar daerah Sumur Beji yang bernama Kiai Kuru Dalang, lalu keluar air. Dari tanah tandus keluar air, yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, lalu diberi nama Banyuurip," katanya di sela acara.
Raditya sebagai keturunan asli warga Banyuurip tergerak hatinya memberi tetenger atau tanda (prasasti) leluri (tapak tilas) Pangeran Joyo Kusumo saat pertama kali datang di desanya.
"Saya memberi tetenger dari batu yang saya pahat sendiri. Saya sesuaikan dengan perjalanan menggunakan kaki, maka pada batu tersebut digambar telapak kaki kanan. Tulisan yang digunakan juga dengan huruf Kawi sesuai masa itu," ujarnya.
Adapun arti dari cucur umijil tirta wening tersebut berangka tahun Saka. Cur = 0, umijil = 0, tirta = 4, wening = 1 dan bermakna 1400, apabila dalam hitungan masehi selisih 78 tahun menjadi 1478 Masehi.
Radityawan, Wiyoto dan Pram Ahmad pengamat kebudayaan Purworejo. (wahyu nur asmani ew/koranbernas.id)
Raditya menyebutkan kebetulan bertepatan dengan Sandiya Kala yang merupakan runtuhnya majapahit Sirna Ilang Kertaning Bumi yang berangka tahun 1400 atau 1478 Masehi.
"Dengan kegiatan ini saya berharap mudah-mudahan generasi yang akan datang bisa tahu sejarah leluhur-leluhurnya, serta mengetahui cikal bakal-nya untuk saling menjaga kebudayaan sejarah sendiri," harapnya.
Dia menambahkan, prasasti terbuat dari batu andesit, diselesaikan dalam waktu satu malam, dengan pahat biasa yang berukir kalimat Cur Umijil Tirta Wening menggunakan huruf Kawi angka Candra Sengkala atau angka tahun.
Kegiatan leluri dihadiri berbagai pemangku wilayah meliputi Ketua Lurah, Kadus, RT, RW, tokoh masyarakat dan grup besar Macapat Suryowasiso dari Desa Banyuurip.
Bagaikan kaca
Ketua Paguyuban Macapat Suryowasiso Desa Banyuurip, Wiyoto, berkisah air keluar sangat jernih bagaikan kaca. Galuhwati girang tak terkirakan. Dia segera mandi dan minum air itu.
"Cur umedal tirta wening, (versi lain: Cur umijil tirta wening) merupakan sengkalan. Sengkalan adalah lambang angka tahun Saka," ungkapnya.
Disebutkan, Pangeran Joyo Kusumo berbicara pelan kepada adiknya. “Saya sebut sumur itu, namanya sumur Beji. Mari, Adik, kita kembali ke permukiman. Kalau ada orang-orang yang datang, jangan sampai mereka kecewa. Kalau saya tidak bertemu dengan orang-orang yang datang, mereka akan kecewa semua."
Sesampainya di permukiman, sudah banyak orang dari kiri kanan bertandang. Muda, tua, besar dan kecil. Mereka memberi hidangan dan makanan kecil.
Pangeran Joyo Kusumo berbicara pelan kepada semua orang. “Hai, sepakatilah. Desa ini saya sebut Banyuurip. Kalau air sangat langka, nanti sepanjang jurang, sejauh sepelemparan ada air. Itu, kalian semua jadilah saksi.” (*)