Konsumen Tembakau Bersatu, Tolak Intervensi Asing dalam Regulasi Pertembakauan

Ary Fatanen, Ketua Umum Pakta Konsumen Nasional (PakNas) mengatakan, bahwa sebagai bagian hilir dari ekosistem pertembakauan nasional, ia menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berat sebelah dalam membuat regulasi.

Konsumen Tembakau Bersatu, Tolak Intervensi Asing dalam Regulasi Pertembakauan
Ilustrasi. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Langkah pemerintah yang terburu-buru dalam merampungkan regulasi pertembakauan tanpa melibatkan seluruh ekosistem terdampak, memberikan efek domino negatif. Salah satunya adalah implementasi regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) terkait Bagian Pengamanan Zat Adiktif dan R-Permenkes Tembakau yang menjurus pada diskriminasi.

Ary Fatanen, Ketua Umum Pakta Konsumen Nasional (PakNas) mengatakan, bahwa sebagai bagian hilir dari ekosistem pertembakauan nasional, ia menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berat sebelah dalam membuat regulasi. “Kondisi industri hasil tembakau (IHT) akhir-akhir ini semakin tidak baik. Dikepung regulasi sana-sini yang tidak berkeadilan. Kami juga terdampak. Kami harus menghadapi berbagai peraturan yang mendiskreditkan konsumen. Ke depan, pemerintah jangan kaget, kalau akhirnya negara tidak dapat memperoleh penerimaan yang maksimal karena arah kebijakan pengendalian tembakaunya yang tidak jelas,” ujar Ary Fatanen, Minggu  (15/2/2025).

PakNas juga menyayangkan Kemenkes sebagai inisiator kebijakan pengendalian tembakau masih terus berkiblat pada negara-negara yang justru tidak memiliki mata rantai yang lengkap dari hulu hingga hilir di ekosistem pertembakauannya, tidak seperti Indonesia. 

“Terlalu kental campur tangan asing dalam regulasi pertembakauan yang dirancang Kemenkes. Padahal, negara adidaya seperti Amerika Serikat saja menyatakan keluar dari WHO. AS mampu menunjukkan independensi dan upaya untuk mendudukkan kedaulatan rakyat sebagai yang utama. Indonesia juga negara besar, dengan ekosistem pertembakauan yang kompleks. Regulasi pertembakauannya seharusnya juga melihat realita di masyarakat, bukan bulat-bulat mau dicampuri asing,” paparnya.

Selain itu,menurut Ary, langkah kejar target merampungkan dan melaksanakan regulasi yang diinisiasi oleh Kemenkes ini, justru dapat berdampak pada tindakan aparat penegak hukum yang benar-benar tidak memahami konteks ekosistem pertembakauan. 

Ditambah lagi stigma negatif yang sudah dilekatkan pada konsumen produk tembakau, semakin membuka ruang penegakan hukum yang berat sebelah. “Substansi yang diatur berlebihan, tidak mempertimbangkan ada muatan lokal. Contoh nyata adalah upaya pemerintah derah yang dikejar target merampungan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang mayoritas hanya sebagai penggugur kewajiban dari pemerintah pusat. Padahal praktik implementasi, pengawasan hingga evaluasinya tidak jelas. Bahkan tak jarang mengorbankan elemen masyarakat lainnya,” tegasnya.

Senada, Ketua Komunitas Pecinta Tabacum Nusantara (KPTNI) Eggy Bp juga mempertanyakan alasan di balik tergesa-gesanya penetapan regulasi terkait pertembakauan. 

“Sedarurat itukah aturan-aturan terkait pertembakauan sehingga terburu-buru untuk diterapkan tanpa pelibatan masyarakat terdampak, termasuk konsumen. Kami melihat selama ini peraturan-peraturan terkait pertembakauan itu dirancang tanpa pelibatan dan solusi bagi masyarakat yang terdampak mulai dari petani, pekerja, pedagang, petani hingga konsumen seperti kami. Mohon pemerintah agar lebih intensif lagi dalam mempertimbangkan aturan yang dibuat oleh bangsa asing dengan melihat dampak jika dilaksanakan di Indonesia,” sebut Egy.

KPTNI menegaskan, bahwa pihaknya menerima dan mendukung program pemerintah. Namun sangat disayangkan selama ini dalam perencanaan hingga penerapan peraturan terkait pertembakauan, tidak melibatkan dan mengakomodir konsumen. 

“Salah satunya terkait Perda KTR yang sosialisasi dan edukasinya masih sangat kurang hingga sampai saat ini implementasi KTR masih belum bisa berjalan dengan baik. Termasuk kepada aparat hukum yang pada praktiknya di lapangan sering terjadi kekeliruan terkait hak konsumen atas tempat khusus merokok (TKM) yang aman dan nyaman,” tambahnya. (*)