Namanya Sate Kere Tapi Aromanya Menggoda

Namanya Sate Kere Tapi Aromanya Menggoda

KORANBERNAS.ID, JOGJA – Begitu melintas trotoar depan Pasar Beringharjo Yogyakarta, pengunjung diserga aroma nikmat yang menyengat, berasal dari manis bumbu dan daging yang dibakar.

Ketika hidung sedang mencari-cari asal bau yang menggoda, dengan ramah seorang tukang becak setengah baya menghampiri sambil berkata: "Menika, sate kere. (Ini sate kere),” katanya sambil membawa langkah koranbernas.id ke Jalan Pabringan selatan Pasar Beringharjo, Rabu (18/12/2019) siang.

Tempatnya njepit di antara penjual bunga, salak dan minuman. Di hampir penghujung selatan penggal Jalan Malioboro itu Ny Ponijah mengadu nasib.

"Sak menika mboten kados rumiyin. Mboten pareng mande wonten ler mergi. (Sekarang tidak seperti dulu. Tidak boleh jualan di utara jalan),” kata Ponijah.

Keluhan ibu tiga anak dari Parangkembang Desa Balecatur Kecamatan Gamping Sleman itu memang beralasan. Kalau tidak ada bau manis dari bakaran itu pasti orang tidak tahu.

Ponijah menyadari penertiban itu dilakukan Dinas Pasar untuk kerapian dan keindahan lingkungan pasar. Cuma sayangnya banyak yang terdampak termasuk dirinya yang setiap hari mengais rezeki di tempat itu.

Sate kere siap santap. (arie goyarto/koranbernas.id)

Nama sate kere

Meski namanya Sate Kere, dari bahasa Jawa yang artinya orang melarat, tetapi rasanya lezat, manis gurih.

Ponijah yang sejak muda selama 14 tahun membantu bulik-nya, Ny Dirjo (kini almarhumah) berjualan sate dan 11 tahun secara mandiri berjualan, tidak mengetahui munculnya nama itu.

Dia menyebutnya Sate Koyor karena terbuat dari koyoran dan satu bagian lagi dari daging sapi. "Yang banyak dicari sate koyoran," ungkapnya.

Meski kalau dibawa pulang gajih-nya ngendhal tetapi hanya selintas dipanggang di atas kompor gas pasti tinggal lheeeep.

Sate Kere membawa kesan nostalgik bagi pelajar maupun mahasiswa yang dulu pernah tinggal di Yogyakarta. Sate Kere termasuk menu favorit anak muda. Rasanya enak dan harganya terjangkau.

Kini sesuai perkembangan harga, Ponijah mematok  sate koyor Rp 30.000 dan daging Rp 40.000 per 10 tusuk. Dengan irisan koyor atau daging agak tebal.

Berapa besar marginnya, dia tidak mau menyebut karena turun naik. Tapi yang jelas Ponijah merasa bersyukur bisa menegakkan ekonomi keluarga. Cukup atau tidak itu relatif.

"Pokokipun rezeki saking Allah pun tampi kanthi raos syukur. (Pokoknya rezeki dari Allah diterima penuh rasa syukur),” kata nenek tiga cucu itu.

Di Beringharjo saat ini terdapat empat penjual Sate Kere. Tiga di antaranya masih bersaudara. Sedang satu lainnya merupakan "pemain baru".

Ponijah dan saudara-saudaranya tidak merasa galau dengan pemberian nama Sate Kere. Yang penting konsumen tetap suka dan dagangan laris. Sejak muda Ponijah sudah belajar membantu memberi bumbu dan proses produksi lainnya di rumah bulik Dibyo.

Dia paham bumbunya dan hingga kini tetap dipertahankan. Yaitu brambang, bawang, ketumbar, garam dan gula merah. Dia ingin mempertahankan cita rasa peninggalan para pendahulunya karena sesuai dengan taste masyarakat sekaligus menjadi cita rasa yang khas.

Rebutan

Saat ini karena koyoran banyak digunakan oseng-oseng mercon dan berbagai jenis masakan olahan lainnya, kadang-kadang pedagang yang mencari bahan baku koyoran sering rebutan.

Untungnya Ponijah sudah punya langganan penjual daging di Beringharjo sehingga selalu disisihkan jatahnya, meski kadang-kadang tidak sepenuh pesanannya.

Saat ini rata-rata Ponijah mengolah 4 kg sate koyor dan daging. Setiap kg bisa jadi 40 tusuk. "Kalau terpaksa tidak habis sisanya masuk kulkas dijual esok harinya. Sama sekali tidak berubah rasa,” kata dia.

Ponijah berharap setiap hari dagangan habis sehingga dia tak lagi membawa pulang dagangan. Repot karena dia harus berganti naik bus Trans Jogja serta ojek.

Sedang suaminya mengurusi pekerjaan di rumah dan antar jemput anak cucu. Yang jelas dari usaha ini Ponijah mampu menghidupi rumah tangganya.

Hanya saja pada musim penghujan seperti ini  ini Ponijah kerap cemas. Saat mendung mulai menggantung, risiko basah ada di depan mata. Payung besar yang dia persiapkan tak mampu melindungi sepenuhnya dari derasnya air hujan.

Pembeli pun banyak yang bergegas menghindar dari basah air sehingga keberadaannya terlewatkan dari perhatian mereka. Tapi inilah perjuangan seorang ibu yang tidak pernah berhenti. (sol)