Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah
Ilham Yuli Isdiyanto. (Istimewa).

OBJEK kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan dan atau tindakan pemerintah. Namun, menjadi pertanyaan bagaimana dengan upaya administratif pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah? Di sisi lain, upaya administratif yang diatur secara khusus (vide UU No. 2/2007 serta perubahan dan Perpres No. 16/2018 serta perubahan) ternyata menyisakan pertanyaan berkaitan dengan kewenangan PTUN.

Problem kewenangan adalah bagaimana jika penyedia jasa yang kalah dalam proses tender konstruksi namun mengajukan proses “banding” sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah bukan “sanggah banding” sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12/2021? (Perubahan Perpres No. 16/2018).

Disparitas Regulasi

Upaya administrasi dalam jasa konstruksi memang berbeda dengan sistem administrasi umum lainnya. Perbedaan ini kemudian berimplikasi pada pemenuhan hak warga negara terkait, yakni hak dalam memperjuangkan hak hukumnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

Muncul disparitas dalam regulasi ini berkaitan dalam hal bentuk upaya administrasi, pada administrasi umum dikenal upaya administrasi yakni “keberatan” dan “banding” (vide Pasal 75 ayat (2) UU No. 30/2014) namun pada pengadaan barang dan atau jasa di bidang konstruksi dikenal upaya administrasi berupa “sanggah” dan “sanggah banding” (vide Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 12/2021).

Secara sederhana, nomenklatur “sanggah” dapat dipersamakan dengan “keberatan” dan “sanggah banding” dapat dipersamakan dengan “banding” berdasarkan UU No. 30/2014. Namun, ada disparitas regulasi dalam konteks ini, di mana menurut ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 ditetapkan nilai jaminan 1% (satu persen) dari nilai Hasil Perkiraan Sendiri (HPS) atau nilai Pagu Anggaran yang dilelangkan sebagai jaminan yang harus disetor saat melakukan sanggah banding, padahal jika mengacu pada Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014 seharusnya tidak ada bentuk jaminan atau biaya yang dibebankan dalam proses upaya administratif.

Pembebanan melalui biaya administratif jelas bertentangan dengan Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014, namun ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 mengacu pada Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017 tentang Konstruksi yang mengatur adanya jaminan sanggah banding. Tetapi, jika diamati secara lebih teliti norma yang ada pada UU No. 2/2017 tidak mengatur nilai jaminan yang harus dibayarkan dan juga jaminan ini pada dasarnya berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (mitigasi wanprestasi), bukan upaya administratif (vide Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017).

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Upaya Hukum PTUN

Pasca muncul UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah, terjadi perluasan makna terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak hanya sebatas pada keputusan yang konkrit, individual, dan final (vide Pasal 1 angka 9 UU No. 51/2009) namun juga termasuk tindakan faktual, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat (vide Pasal 87 UU No. 30/2014).

Mengacu pada ketentuan ini, maka keputusan hasil lelang (tender) termasuk sebagai KTUN dan menjadi objek PTUN. Sehingga, jika dalam proses sanggah banding ditolak, maka penyedia jasa sebagai peserta tender berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum berhak mengajukan upaya hukum melalui PTUN.

Namun, bagaimana dengan peserta lelang yang mengajukan skema upaya administrasi banding bukan berdasarkan Perpres No. 12/2021 namun berdasarkan UU No. 30/2014? Maka menjawab hal ini ada beberapa hal yang perlu untuk dijadikan sebagai dasar.

Kesatu, walaupun banding berdasarkan UU No. 30/2014 tidak dikenal dalam sistem pengadaan barang dan atau jasa terutama jasa konstruksi, namun di sisi lain hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan asas ius curia novit di mana hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (vide Pasal 10 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kedua, tidak ada bentuk larangan terhadap upaya administrasi berdasarkan UU No. 30/2014 terkait pengadaan barang dan atau jasa, sehingga tidak ada konsekuensi logis jika mengajukan banding di luar Perpres No. 12/2021 maka akan gugur.

Ketiga, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior maka kedudukan Perpres No. 12/2021 berada di bawah UU No. 30/2014, sehingga penggunaan dasar UU No. 30/2014 sebagai dasar upaya administratif sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Melihat pada dalil-dalil ini, tidak ada masalah jika menggunakan dasar UU No. 30/2014, yakni upaya banding administrasi, pembeda utamanya dengan Perpres No. 12/2021 berkaitan jaminan sanggah banding yang wajib disetor oleh peserta lelang saat memperjuangkan haknya.

Arah Kebijakan Administrasi

Perlu digaris-bawahi, hukum administrasi lebih pada arah “kebijakan” sehingga dasarnya bukan terletak pada rechmatigheid (berdasarkan perundang-undangan) melainkan berdasarkan doelmategheid (dasar kemanfaatan).

Karena arah kebijakan administrasi yang lebih pada doelmategheid sebagai konsekuensi dari freiss emerson (kehendak bebas/diskresi), maka dasar yang digunakan bukanlah norma peraturan perundang-undangan melainkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kontekstualisasi “banding” atau “sanggah banding” adalah upaya untuk mengakomodir hak warga negara (peserta lelang) dalam mendapatkan keadilan, oleh karenanya tidak bisa jika keadilan dikalahkan karena arah kebijakan yang lebih didasarkan pada Perpres No. 12/2021 ketimbang UU No. 30/2014. Salam. **

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD).