Menakar Efektivitas Hak Angket DPR dalam Mengawasi Pemilu

Bukan instrumen tepat untuk menyelesaikan persoalan pemilu karena masuk ranah hukum.

Menakar Efektivitas Hak Angket DPR dalam Mengawasi Pemilu
Diskusi Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia? pada Jumat (23/2/2024) di Fisipol UGM. (istimewa) 

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Wacana hak angket DPR mencuat pasca Pemilu dan Pilpres 2024. Paslon 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan paslon 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) mengusulkan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan yang mereka sebut terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Usulan ini menuai kritik dari beberapa pihak, termasuk anggota DPR sendiri, yang menilai hak angket bukan instrumen tepat untuk menyelesaikan persoalan pemilu karena masuk ranah hukum.

Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa hak angket DPR bisa menjadi mekanisme efektif untuk memeriksa kecurangan, seperti netralitas pemerintah dalam memanipulasi pemilu.

"Hak angket bisa menjadi mekanisme evaluasi yang penting dalam pemilu. Meskipun tidak langsung berujung pada impeachment presiden, hak angket bisa memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi DPR dalam memimpin perubahan undang-undang pemilu," ujarnya dalam acara diskusi Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia? pada Jumat (23/2/2024) di Fisipol UGM.

Proses hak angket dimulai dengan usulan minimal 25 anggota DPR dari lebih dari satu fraksi, yang kemudian harus disetujui oleh setengah dari total anggota DPR.

"Dan nantinya baru bisa dilakukan hak angket itu kalau disetujui oleh setengah dari anggota DPR. Jumlah anggota DPR saat ini 575, artinya dia bisa dijalankan kalau didukung oleh 288," imbuhnya.

Dia melanjutkan, hitungannya sekarang koalisi partai yang mendukung paslon 01 dan 03 itu 314. Jadi secara matematika itu mungkin untuk dilakukan. Hak angket dapat membentuk panitia khusus yang memiliki kewenangan untuk memanggil berbagai pihak, termasuk menteri, KPU, dan Bawaslu, untuk memberikan keterangan.

Namun, Yance menegaskan bahwa hak angket bukanlah untuk menyelesaikan sengketa, melainkan sebagai alat untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku.

"Penyelesaian sengketa pemilu tetap menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Sementara itu, Dosen Fisipol UGM Arya Budi, mengomentari soal wacana hak angket kecurangan Pemilu. Menurutnya, secara prosedural hak angket bisa dilakukan, namun secara politik tergantung dari proses politik.

"Komposisinya sudah lebih dari 280 kursi yang melawan 02, secara di atas kertas itu mungkin, tapi kita perlu masuk ke analisis politik, apakah itu visible secara politik, karena hak angket kalau tidak bisa, masuk ke interpelasi hak bertanya. Itu semua proses politik," kata dia.

Peta koalisi Pemilu 2024 berbeda dengan koalisi pemerintah. Partai pendukung 02 cenderung lebih solid dibanding partai pengusung 01 dan 03. Hak angket DPR memiliki potensi untuk menjadi mekanisme evaluasi yang penting dalam pemilu, namun juga memiliki tantangan dalam hal prosedur dan politik.

Proyeksi dan ketakutan

Devi Dhian Cahyati, Dosen dari Fisipol UGM, memberikan proyeksi yang mendalam terkait potensi arah yang akan diambil demokrasi pasca pemilihan. Dia mengungkapkan pertimbangan menarik terkait kekhawatiran yang seringkali muncul dari para aktivis terkait kemungkinan penurunan demokrasi.

Salah satu aspek yang diangkat adalah kemungkinan penekanan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di masa mendatang. Namun, Devi juga menyatakan bahwa walaupun ada kekhawatiran ini, kemungkinan kembalinya era Orde Baru tidak selalu harus diartikan secara harfiah.

"Saya kira, wacana mengenai potensi Orde Baru kembali harus dilihat dengan lebih kompleks. Bisa jadi, hal ini terwujud melalui cara-cara yang berbeda," ujar Devi.

Diskusi pun melirik isu integritas dalam dunia politik, terutama terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Devi menegaskan bahwa menjaga etika berpolitik serta integritas dalam proses penyelenggaraan pemilu merupakan hal yang sangat penting.

"Tidak hanya persoalan dari pihak pasangan calon, namun juga dari penyelenggara pemilu yang harus berperan tegas. Misalnya, keterlibatan anggota partai dalam panitia pengawas di tingkat desa," ungkapnya.

Meskipun ada keraguan dan kekhawatiran terkait masa depan demokrasi Indonesia, Devi memberikan pandangan optimis. Menurutnya, meskipun terdapat ancaman, masih ada banyak kalangan yang berpendidikan dan dapat menjadi kekuatan penyeimbang dalam menjaga demokrasi.

"Dari hasil pemilu kemarin, kita juga melihat partisipasi orang-orang berpendidikan menengah ke atas, yang memilih berdasarkan pemahaman terbaik mereka. Ini menunjukkan bahwa ada harapan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik," tandasnya.(*)