KPP Demo Protes Penambang Pasir Ilegal yang Dibekingi Aparat

KPP Demo Protes Penambang Pasir Ilegal yang Dibekingi Aparat

KORANBERNAS.ID,BANTUL--Penambang pasir yang tergabung dalam Kelompok Penambang Progo (KPP) melakukan aksi demonstrasi dan pembacaan surat terbuka kepada Raja Keraton Yogyakartas sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Bunderan Srandakan Bantul, Selasa (31/5/2022). Massa berharap Sultan turun tangan mengatasi carut marutnya penambangan pasir di Sungai Progo.

Ketua Kelompok Penambang  Progo (KPP) DIY, Yunianto kepada koranbernas.id mengatakan KPP menuntut agar para penambang pasir ilegal baik yang tidak berbadan hukum (PT) ataupun perseorangan ditindak. Sebab mereka tidak mengantongi ijin dan berani beroperasi karena adanya bekingan dari aparat.

Dalam menambang pun, mereka menurunkan alat penyedot pasir dan juga eskavator. Setiap hari lebih dari 300 rit pasir yang diambil.

“Jumlah tersebut lebih banyak dari volume yang ditambang oleh kami yang telah memiliki ijin resmi,” kata Yunianto. 

Penggunaan alat penyedot dan eskavator menurut Yunianto berpotensi merusak lingkungan. Sebab jika mengacu kepada perundangan yang berlaku,  untuk pompa mekanik  yang boleh beroperasi di Sungai Progo maksimal 25 PK.

“Kami sesuai aturan (PP Nomor 23/2010 Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara,red) menggunakan pompa mekanik 25 PK. Kami taat aturan dan kami juga membayar pajak galian C kepada Pemda. Sementara yang illegal ini ,menggunakan alat yang tidak sesuai serta tidak membayar pajak,” kata warga Klangon Kalurahan Argosari Kapanewon Sedayu Bantul tersebut.

Beroperasinya penambang illegal ini tentu saja merugikan. Selain tidak taat aturan, dengan banyaknya volume pasir yang diambil membuat pasir di pasaran berlebih dan harganya  turun.

Belum lagi secara keamanan, penambangan illegal ini membahayakan keselamatan masyarakat. Sebab zona merah saja diterjang dan tetap digali. zona merah adalah wilayah 1 kilometer dari proyek Sumber Daya Air (SDA) atau  500 meter dari proyek milik negara.

“Kami minta penertiban kepada mereka dalam kurun dua minggu ini. Jika tidak ada tindak lanjut, kami akan menggerudug ke Polda DIY, agar Kapolda mengambil tindakan terhadap oknum aparat yang bermain disini dan melindungi penambangan ilegal,” tandasnya.

Yunianto  menambahkan jika anggota  KPP tercatat ada 98 orang. Dari jumlah tersebut 32 sudah mengantongi IPR. Sisanya masih menunggu dan belum ada kejelasan tindak lanjutnya hingga saat ini meski sudah satu tahun diajukan.

Terkendalanya pengajuan IPR oleh 66 anggota KPP dikarenakan munculnya UU Mineral dan Baru Bara (Minerba)  tahun  2020 sebagai pengganti UU Minerba 2004. Dalam UU Minerba yang baru, disebutkan untuk menerbitkan IPR maka provinsi harus sudah membuat doklumen Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) yang kemudian disahkan Dirjen Minerba.

“Untuk DIY sudah jadi, namun belum disahkan oleh Dirjen Minerba karena menunggu provinsi lain. Biasanya akan  disahkan bersama-sama,” katanya.

Selain soal UU Minerba, KPP juga bingung karena awalnya dalam PP disebutkan untuk pengajuan ijin langsung  ke pusat lewat aplikasi Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA)  yakni  perizinan yang diberikan kepada para pelaku usaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usahanya.

Namun ternyata muncul PP baru, bahwa ijin dikembalikan kewenangan ke provinsi lagi. Sehingga pihak KPP menghadap ke pemerintah DIY untuk meminta petunjuk,. Bagi yang  sudah telanjur input OSS agar ditarik dan dimasukan provinsi. Namun masa peralihan harus menunggu 3 bulan.

“Maka atas kondisi yang ada, KPP menyerukan dua hal.  Pertama agar WPR disahkan tanpa harus menunggu WPR provinsi lain sehingga IPR segera bisa diproses dan memberi rasa nyaman bagi penambang. Kedua kepada aparat agar melakukan penertiban penambang di zona merah. KPP meyakini penambang di zona merah,bukan anggota KPP.  Karena KPP hanya mengakomodir mereka yang taat aturan,”tandasnya.  (*)