Kongres Aksara Jawa Berakhir Ini Hasilnya
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Perhelatan Kongres Aksara Jawa (KAJ) I Yogyakarta yang dimulai 22 Maret silam di Hotel Grand Mercure Yogyakarta resmi berakhir Jumat (26/3/2021). Kongres yang memperoleh respons positif berbagai kalangan ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang sifatnya strategis bagi pengembangan Hanacaraka era digital.
Banyak kesan disampaikan peserta kongres. Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Endang Nurhayati, misalnya, tidak menduga KAJ I Yogyakarta memperoleh sambutan luar biasa.
Begitu pula, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Marsono menyatakan serupa. Baginya, kongres ini memiliki makna sangat luar biasa. “Agar aksara Hanacaraka jaya, mari kita gunakan di seluruh lini,” ajak dia.
Sambil bercanda dalam bahasa Jawa, Prof Marsono bahkan mengusulkan pada peringatan hari aksara Jawa dibuat tumpeng Hanacaraka. Dia juga mengagumi kreasi kaligrafi Hanacaraka yang bisa dikembangkan pada produk iket, surjan, baju, batik bahkan keramik.
“Nek isa... ini budaya jangan dipertentangkan dulu ya..., ada kerudung Hanacaraka. (Bermakna) Islam di-Jawakke. Jawa di-Islam-kan,” usul dia.
Hanacaraka ternyata bisa menjadi variasi destinasi wisata Yogyakarta. Dinas Pariwisata bisa mengusulkan program wisatawan mengikuti workshop Hanacaraka. Dengan begitu, lama tinggal wisatawan lebih panjang. “Termasuk (sentra kerajinan keramik dan gerabah) Kasongan menambah motif Hanacaraka,” kata dia.
Prof Marsono menambahkan seperti di Thailand huruf Thai diutamakan daripada Latin, sewajarnya apabila kantor-kantor di DIY memasyarakatkan aksara Jawa.
“Jika sudah memasyarakat, produk nenek moyang itu menjadi identitas kita, tidak akan punah karena seluruh lini kehidupan memakai Hanacaraka,” ucapnya.
Perwakilan Dewan Kebudayaan DIY sepakat, agar aksara Jawa tetap lestari kata kuncinya hanya satu yaitu digunakan terus menerus, seperti halnya aksara Korea, Arab dan Jepang. Setidaknya aksara Jawa terus digunakan tiga provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY, tidak hanya oleh para guru bahasa Jawa tetapi semua kalangan pendidikan.
Sepakat dengan pernyataan Prof Maryono, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Sumadi, menyatakan tekatnya untuk melestarikan aksara Jawa.
Sumadi lantas bercerita pengalaman pribadinya tatkala memakai busana batik motif Hanacaraka datang ke rapat dinas. Dia justru dikeploki karena batik Hanacaraka terbilang langka.
Suatu ketika Sumadi juga ditanya apa motif batik yang dikenakannya itu.
“Mas, niki lukisane napa?”
“Niku bakmi ruwet.”
Kelakar Sumadi.
Semua peserta tertawa.
Pada acara penutupan, Ketua Panitia KAJ I Yogyakarta, Setya Amrih Prasaja, sempat sesenggrukan terharu saat membacakan sambutan di atas mimbar. Berhenti sejenak. Ambil nafas. Pidato lagi.
Menurut dia, semua peserta kongres sepakat aksara Jawa harus hadir di ranah digital sejajar dengan aksara Latin. KAJ I Yogyakarta selama ini ibarat hanya ilusi ternyata mampu terealisasi dan menjadi nyata. (*)