Terakhir Digelar 1922, Kongres Aksara Jawa I Berlangsung di Yogyakarta 22-26 Maret 2021

Terakhir Digelar 1922, Kongres Aksara Jawa I Berlangsung di Yogyakarta 22-26 Maret 2021

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kongres Aksara Jawa (KAJ) terakhir kali digelar pada tahun 1922 di Sriwedari Solo. Hampir satu abad vakum, kongres serupa akan digelar lagi di Yogyakarta pada 22-26 Maret 2021.

Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Sumadi, pada konferensi pers di Pendapa Dinas Kebudayaan DIY, Jumat  (19/3/2021), menjelaskan kongres kali ini dilaksanakan karena aspek kesejarahan.

Selain itu, juga dilandasi keprihatinan generasi masa kini kurang memahami aksara Jawa. “Kami prihatin dengan minimnya penggunaaan aksara bahkan ada yang tidak kenal lagi,” ungkapnya didampingi Rully Andriadi, Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah, Bahasa, Sastra dan Permuseuman Disbud DIY serta Ketua Panitia Kongres, Setya Amrih Prasaja.

Disebutkan, Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta diselenggarakan sebagai bagian dari refleksi kesejarahan. Sejak 1922 hingga hari ini belum ada lagi kongres serupa yang fokus membahas aksara Jawa sampai level teknis.

KAJ I Yogyakarta juga dilatari keprihatinan minimnya penggunakan aksara Jawa di kalangan masyarakat, bahkan sebagian dari mereka tidak mengenal lagi aksara warisan leluhur tersebut.

“Atas dasar keprihatinan inilah, Dinas Kebudayaan DIY menginisiasi diadakannya KAJ I sebagai bentuk tanggung jawab kebudayaan,” kata Sumadi.

Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta yang dipusatkan di Hotel Grand Mercure Yogyakarta berlangsung luring dan daring. Acara akan diawali sambutan-sambutan secara daring dari Wakil UNESCO, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Timur serta Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dilanjutkan pembukaan secara simbolis.

Adapun peserta lebih dari 1.000 orang. Peserta luring sejumlah 110 orang terdiri wakil akademisi, praktisi, budayawan, birokrat, dan masyarakat umum. Peserta daring 800 peserta terbagi 200 peserta komisi I, 200 komisi II, 200 peserta komisi III dan 200 peserta komisi IV.

Persebaran domisili peserta berasal dari DIY, Jateng, Jatim, Jabar, Banten, DKI, Bali, Sumatra, Kalimantan serta Hongkong. Diaspora Jawa yang tersebar di seluruh dunia diharapkan bisa mengikuti jalannya kongres.

Rully Andriadi menambahkan, penggunaan aksara Jawa saat ini sebagian besar baru sebatas untuk dekoratif dan aspek kesejarahan. Sedangkan penggunaan sehari-hari masih jauh dari harapan. “Ini tantangan kita bersama. Satu-satunya cara adalah kita gunakan kembali aksara Jawa,” ucapnya.

Beruntung, DIY sudah mempelopori penggunaan aksara warisan nenek moyang ini dimulai dari kop surat instansi Pemda DIY, papan nama instansi serta nama jalan. Lahirnya perda tentang aksara Jawa diharapkan mampu menjadikan penggunaan aksara Jawa lebih meluas lagi.

Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta akan diawali Talk Show dengan narasumber KPH Notonegoro (Penggagas Kongres Aksara Jawa I), Prof Dr Yudho Giri Sucahyo selaku Ketua PANDI dan Badan Standadrisasi Nasional dengan tema Digitalisasi Aksara Jawa.

Sependapat, Setya Amrih Prasaja menyatakan terdapat dua poin penting dasar penyelenggaraan KAJ I yakni keprihatinan serta penghargaan atas upaya digitalisasi Aksara Jawa yang memungkinkan aksara ini dapat digunakan dalam platform digital manapun.

Harapannya, tumbuh kesadaran baru pentingnya penggunaan aksara Jawa dalam konteks komunikasi sosial di era digital.

Menurut dia, ada empat isu penting akan dibahas dalam forum KAJ I. Pertama, pembahasan tentang transliterasi aksara Jawa-Latin.

Kedua, pembahasan tata tulis aksara Jawa yang akan fokus paugeran (tata tulis) termasuk di dalamnya tinjauan terhadap paugeran-paugeran penulisan aksara Jawa yang pernah ada dan masih digunakan. Tujuannya agar bisa disinkronkan dengan kebutuhan penulisan aksara Jawa era digital.

Ketiga, digitalisasi aksara Jawa termasuk di dalamnya teknis penyiapan platform digital aksara Jawa, standardisasi type face aksara Jawa (fonta) serta standardisasi papan ketik aksara Jawa.

Keempat, pembahasan kebijakan tentang aksara Jawa  agar bisa diimplementasikan secara nyata antara lain menyentuh level kebijakan dan penggunaannya pada level ranah publik.

Baik Sumadi, Rully maupun Amrih sepakat KAJ I diharapkan mampu mengubah persepsi publik supaya tidak lagi menganggap aksara Jawa ibarat momok atau memedi yang menakutkan. Perlu dicarikan solusi supaya generasi milenial kesengsem dengan aksara warisan leluhur itu. (*)