Kasus Korupsi Bank Jogja, Penasihat Hukum Terdakwa Ajukan Banding

Kasus Korupsi Bank Jogja, Penasihat Hukum Terdakwa Ajukan Banding

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Tim penasihat hukum (PH) terdakwa kasus korupsi Bank Jogja yakni Erny Kusumawati dan Lintang Patria Anantya, mengajukan banding. Langkah ini dilakukan, lantaran mereka dan juga kliennya menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) tidak menunjukkan rasa keadilan.

Pengajuan banding dilayangkan ke Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta. Seiring dengan langkah hukum banding ini, baik terdakwa ataupun tim penasihat hukum dari Kantor hukum Heru Sulistyo dan Rekan mengaku masih yakin akan ada keadilan dalam kasus ini. Vonis dari majelis hakim Pengadilan Tipikor, PN Yogyakarta keluar pada Senin (15/8/2022) silam.

  1. diketahui, majelis hakim PN Yogyakarta, telah memvonis 6 tahun penjara bagi Erny Kusumawati dan Lintang Patria Anantya. Vonis ini hanya 1 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntut 7 tahun penjara terhadap dua mantan karyawan Bank Jogja ini.

Hamza Akhlis Mukhidin S.Sn, SH, MH dalam keterangan terulisnya mengatakan, pihaknya secara resmi telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta. Langkah itu ditempuh karena menilai putusan vonis 6 tahun penjara untuk kedua terdakwa tidak sesuai dengan rasa keadilan.

“Saya prihatin sekali. Tuntutan jaksa 7 tahun kemudian vonis hakim 6 tahun penjara sangat menciderai keadilan bagi klien kami,” ungkap Penasihat Hukum terdakwa Lintang dan Erny, Hamza Akhlis Mukhidin.

Pernyataan Akhlis Mukhidin, sengaja disampaikan di kawasan Tugu Pal Putih, Jumat (19/8/2022). Ini sebagai simbol perjuangan mereka, untuk mengejar keadilan di Yogyakarta.

“Saat ini kami merasakan keadilan sudah mati. Tapi kami akan terus berjuang. Kami yakin masih ada keadilan di Yogyakarta ini,” lanjutnya.

Dijelaskan Akhlis, antara Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disampaikan kejaksaan dengan fakta persidangan dinilai jauh berbeda. Dengan adanya tuntutan hukuman penjara 7 tahun, kemudian putusan vonis menjadi 6 tahun menurut dia sangat menciderai keadilan.

Terkait kasus ini, Akhlis menegaskan, kliennya yakni Lintang Patria Anantya adalah marketing di PD Bank Jogja. Sebagai marketing, Lintang hanya bertugas sebagai kolektor atau pengumpul berkas dan data para debitur. Data tersebut kemudian diserahkan ke analis kredit di perusahaan Bank Jogja untuk memutuskan apakah pengajuan pinjaman dari calon debitur akan disetujuai ataukah tidak. .

“Jadi seorang marketing itu kan hanya kolektif data yang kemudian diserahkan ke analis kredit. Mana saja yang bisa cair itu kan bukan tugas marketing. Jadi klien kami tidak tahu menahu soal kredit itu disetujui atau tidak. Itu bukan wewenang klien kami,” tegas Akhlis.

Sama halnya dengan Lintang, vonis untuk satu klien lainnya yakni Erny Kusumawati juga dinilai jauh dari rasa keadilan. Sebagai Kasi Kredit di Bank Jogja Cabang Gedongkuning, Erny menurut Akhlis, memang memiliki kewenangan untuk memutuskan pengajuan pinjaman. Namun, batas kewenangan Erny hanya sampai pada nilai pengajuan sebesar Rp 25 juta per nasabah.

Ketentuan ini ada dalam peraturan perusahaan Bank Jogja.

“Jadi batasnya hanya Rp 25 juta. Sedangkan kasus ini, nilai pinjamannya jauh di atas itu. Per nasabah rata-rata mencapai Rp 150 juta lebih. Bahkan ada yang Rp 300 juta. Itu jelas bukan menjadi kewenangan klien kami,” tegas Akhlis.

Atas argumentasi dan fakta-fakta ini, Akhlis menilai vonis yang disampaikan majelis hakim telah menciderai rasa keadilan. Dia menduga, kliennya sengaja dikorbankan dalam kasus yang membelit perusahaan milik Pemerintah Kota Yogyakarta ini.

Ia mengatakan, bukan tidak mungkin apa yang menimpa kliennya adalah bagian dari skenario untuk menyelamatkan orang-orang yang harusnya bertanggungjawab terhadap kasus ini.

“Kalau kita bicara kolektif kolegial, itu harusnya pimpinan yang bertanggung jawab. Soalnya seorang marketing itu tidak bisa menyetujui sebuah pengajuan kredit. Bahkan kasi kredit pun kewenangannya sangat terbatas. Satu hal lagi, saya ingin menegaskan, bahwa kami akan terus berjuang untuk perkara ini. Publik akan ikut menilai, apakah klien kami pantas dipersalahkan padahal mereka tidak memiliki kewenangan. Kami juga berharap, semua pihak tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam kasus ini,” kata Akhlis lebih jauh. (*)