Kapok dan Tuman dalam Perspektif Budaya Hukum

<i>Kapok</i> dan <i>Tuman</i> dalam Perspektif Budaya Hukum

BANYAK orang berharap, ketika seseorang tertangkap sebagai penjahat, kepadanya dikenakan hukuman berat, agar jera (kapok). Dia tidak mengulangi lagi kejahatannya. Babak kehidupan selanjutnya diisi dengan perilaku baik. Masyarakat pun tidak was-was lagi. Kehidupan bersama menjadi tenang, tenteram dan damai.

Kejernihan kalbu, kecerdasan akal, dan luasnya wawasan, menjadi modal bagi setiap orang menapak di jalan kehidupan. Sesungguhnya, modal spiritual yang dikaruniakan Allah swt kepada setiap orang sama. Allah maha adil, dan maha kasih-sayang. Dengan kata lain, pada setiap manusia, terbuka kesempatan sama untuk menjadi orang baik.

Walau demikian, di luar diri manusia, ada makhluk antagonis. Mereka itu adalah jin dan manusia bertabiat buruk (merusak). Makhluk-makhluk ini, wawasannya sempit. Menurut mereka, hidup itu hanya di dunia ini saja. Mereka berusaha menguasai dunia, demi kepuasan nafsunya. Cara apapun dipandang sah, atau boleh, demi kepentingannya itu. Tidak jarang, jalan sesat dipilihnya. Tidak jarang perilaku jahat dilakukannya. Mereka tak peduli terhadap kerusakan, penderitaan, kesengsaraan pihak lain. Orang-orang macam ini, adalah penjahat dalam arti sesungguhnya.

Penjahat, umumnya tak kenal kata jera (kapok). Baginya, berlaku pepatah “kapok lombok”. Betapa pun keluar kata-kata: “ampun, ampun, ampun  … pedasnya bukan main”, tetapi sambal wajib tersedia ketika makan. Bagi mereka, berbuat jahat seolah perilaku makan setiap hari. Bukannya kapok, melainkan tuman, semakin bernafsu.

Dikutip banyak media, Menko Polhukam menyebut terdapat seorang perwira tinggi, diduga melakukan "gerakan bawah tanah" buat mempengaruhi vonis terhadap terdakwa dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ferdy Sambo. Ada juga upaya melobi supaya Sambo dibebaskan. Mahfud menjamin aparat penegak hukum tidak akan terpengaruh. Ia menegaskan, siapa pun yang memiliki info terkait upaya "gerakan bawah tanah" itu untuk melapor kepadanya (19/1/2023).

Apa yang dinyatakan oleh Menko Polhukam, merupakan bukti bahwa perilaku jahat itu telah merasuk hingga pada seorang perwira tinggi. Dalam persidangan, Sambo dan penjahat lainnya, melakukan pembelaan. Pengacara, dan saksi, ahli dibayar untuk membebaskan, atau setidak-tidaknya meringankan hukumannya. Terindikasi, ada saksi berbohong. Terindikasi pula, seorang ahli bicaranya berbusa-busa, seolah ilmunya tingkat tinggi, padahal senyatanya, dia sibuk mencari popularitas dan tambahan cuan.

Menurut ahli antropologi (Prof.Koentjoroningrat: 1969), perilaku mereka yang terlibat dalam proses peradilan itu, merupakan potret perilaku bangsa Indonesia keseluruhan, yakni “perilaku suka menerabas”. Apa yang diterabas? Seluruh tatanan kehidupan, baik: agama, hukum, budaya, dan rambu-rambu lainnya. Mentalitas jahat demikian, terkait dengan nafsu ingin cepat sampai ke sasaran, dan nafsu mendapatkan bagian sebanyak-banyaknya dari kehidupan dunia ini.

Latar belakang muncul dan berkembangnya mentalitas dzalim itu, boleh jadi karena ajaran dan provokasi ekonomi kapitalistik. Kesejahteraan duniawi, perlu diprioritaskan melalui investasi. Demi kesejahteraan, seolah tidak ada jalan lain, kecuali diperoleh melalui pembangunan fisik (infrastruktur). Seolah bangsa ini pasti kolaps, bila investor asing lari dari negeri ini. Agar nyaman, mereka perlu dilindungi. Bila perlu bangsa sendiri dikalahkan. Oknum-oknum pejabat dan penegak hukum diperalat, demi pengamanan investasi.

Di tengah-tengah situasi negara yang tidak baik-baik saja (genting), dan pada saat penegakan hukum terindikasi sarat dengan sandiwara, maka bangsa ini perlu dipahamkan pentingya membenahi perilaku normatif, melalui strategi kebudayaan. Satjipto Rahardjo (2000) mengajarkan bahwa perilaku normatif, akan terwujud bila ada penanaman perilaku baik (saleh) sejak dini. Ketaatan pada hukum, perlu dibudayakan sejak masih kanak-kanak. Upaya demikian, sepadan dengan meniupkan roh ke jasad hukum. Hukum bukanlah sekadar jasad (kumpulan pasal-pasal dan ayat-ayat suatu undang-undang), melainkan tatanan kehidupan bersama yang berisi nilai-nilai moralitas. Di dalamnya, ada tuntunan dan pendoman hidup secara horizontal dengan sesama (manusia maupun alam), maupun ketika berinteraksi secara vertikal dengan Sang Khalik.

Budaya hukum suatu bangsa, ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuannya. Untuk Indonesia, mestinya, nilai-nilai Pancasila. Problema yang kita hadapi, Pancasila sebagai sistem nilai cenderung diabaikan. Anak-anak, berusaha hafal rumusan Pancasila, hanya demi hadiah. Nilai Pancasila tidak ditanamkan dalam pendidikan di rumah ataupun di sekolah. Perilaku anak, menjadi jauh dari sopan-santun. Ketaatan pada hukum, aturan, ataupun tatanan sosial, hanya sebatas bila ada kepentingan, atau bila diawasi. Perilaku substansi mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai dari televisi, atau pergaulan yang liberal.

Hukum sebagai produk budaya, perlu dipahamkan melalui strategi kebudayaan. Potensi cipta, rasa, dan karsa pada setiap manusia, perlu digali dan difungsikan secara maksimal untuk pemahaman dan ketaatan hukum. Bila strategi kebudayaan dapat di-mainstream-kan, maka keterlibatan publik, merupakan kunci keberhasilannya. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, mendorong berbagai unsur dalam masyarakat, untuk memajukan kesadaran dan ketaatan pada hukum.

Bila strategi kebudayaan diimplementasikan dan berhasil, pastilah, taat pada hukum merupakan suatu kebutuhan mutlak setiap insan. Pun pula ada kesadaran bahwa ingkar, menerabas, memanipulasi, atau memain-mainkan hukum, pasti berbuah kesengsaraan, kehinaan, dan kerusakan tatanan kehidupan. Ujungnya,  azab, sanksi (hukuman), merupakan balasan atas perilakunya sendiri.

Segala amal ibadah, baik ataupun buruk, pasti ada balasannya. Jera (kapok), dapat menjadi sarana kembali ke jalan kebenaran. Sebaliknya, tuman (semakin bernafsu berbuat jahat), perlu diantisipasi, dibenahi, dan diberikan terapi. Kalaupun pengadilan di negeri ini sangat legalistik, prosedural, bahkan sarat rekayasa, sehingga gagal mewujudkan keadilan substantif, tidaklah perlu hal demikian diratapi berlebihan. Wajib diyakini, di akhirat masih ada pengadilan sejati. Di sanalah, tak seorang pun dapat mengelak dari ketetapan yang berlaku atas dirinya. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH, M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM