Kampanye Kreatif Selera Milenial

Oleh: Bambang Arianto

Bila kemudian para kandidat dan partai politik ingin menarik partisipasi yang lebih besar dari generasi milenial, tentu harus bisa mengemas kampanye sesuai selera milenial pula. Artinya, pemanfaatan saluran digitalisasi seperti media sosial menjadi hal mutlak, karena pengguna terbesar media sosial adalah generasi milenial, generasi Y, generasi Z hingga generasi alpha. Data We Are Social (2023) menyatakan, pengguna terbesar media sosial di Indonesia meliputi Whatsapp (92,1 persen), Instagram (86,5 persen), Facebook (83,8 persen), Tiktok (70,8 persen),Telegram (64,3 persen) dan Twitter (60,2 persen).

Kampanye Kreatif Selera Milenial
Bambang Arianto. (Istimewa).

HAJATAN kontestasi politik 2024 sudah di depan mata. Baliho, spanduk hingga papan nama yang menampilkan wajah asli para kandidat politik telah memenuhi hampir di sepanjang jalan utama perkotaan hingga perdesaan. Tidak jarang baliho para kandidat tersebut membuat publik yang melihatnya merasa jenuh dan membosankan. Pertanyaan yang timbul kemudian apakah hingar bingar kampanye tersebut telah sesuai dengan selera milenial? Mengingat generasi milenial merupakan pemilih terbesar di Indonesia saat ini.

Bila kemudian para kandidat dan partai politik ingin menarik partisipasi yang lebih besar dari generasi milenial, tentu harus bisa mengemas kampanye sesuai selera milenial pula. Artinya, pemanfaatan saluran digitalisasi seperti media sosial menjadi hal mutlak, karena pengguna terbesar media sosial adalah generasi milenial, generasi Y, generasi Z hingga generasi alpha. Data We Are Social (2023) menyatakan, pengguna terbesar media sosial di Indonesia meliputi Whatsapp (92,1 persen), Instagram (86,5 persen), Facebook (83,8 persen), Tiktok (70,8 persen),Telegram (64,3 persen) dan Twitter (60,2 persen).

Perlu diketahui bahwa media sosial juga merupakan saluran terpenting yang telah mempengaruhi semua sendi kehidupan para generasi muda di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, media sosial telah digunakan untuk berbagai saluran informasi kewargaan, partisipasi, interaksi, desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas publik (Arianto, 2023).

Dalam konteks politik, media sosial telah berperan penting dalam setiap kontestasi pemilu di berbagai negara termasuk di Indonesia. Telah banyak cerita sukses yang menjelaskan media sosial memiliki kontribusi nyata dalam setiap kampanye politik. Berkaca dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, kemenangan pasangan Jokowi Ahok lebih banyak karena berperannya media sosial. Fenomena tersebut kemudian berlanjut pada kontestasi politik 2014 dan 2019 yang menjadikan media sosial sebagai saluran terpenting dalam mempertegas kampanye politik tanah air.

Meski ada beberapa amatan yang menilai bahwa kampanye politik pada level daerah tidak begitu memerlukan peranan media sosial, ketimbang kampanye politik di tingkat nasional, tapi, seiring meningkatnya penggunaan media sosial bagi generasi muda, para kandidat dan partai politik harus bisa memanfaatkan media sosial sebagai saluran utama kampanye politik. 

Oleh sebab itu para kandidat politik harus dapat memanfaatkan media sosial dengan cara menyajikan berbagai konten kreatif. Penciptaan konten kreatif sesuai selera milenial bisa membuat para pemilih pemula mendapatkan edukasi yang cukup tentang politik dan kepemiluan. Kampanye kreatif yang sesuai selera milenial bisa menjadi sarana transfer pendidikan politik bagi generasi muda. Tidak hanya sebatas edukasi, tapi media sosial dapat menumbuhkan partisipasi politik yang lebih besar bagi generasi muda untuk mensukseskan kontestasi Pemilu 2024. Pasalnya media sosial bisa menciptakan partisipasi dan komunikasi dua arah (Duhe & Wright, 2013).

Dampak lain dari berbagai kebermanfaatan media sosial ini banyak digunakan oleh generasi milenial untuk tampil kreatif dengan menciptakan berbagai konten kreatif (Ashley & Tuten, 2015). Dengan kata lain, generasi milenial sudah tidak lagi tertarik dengan model konten yang monoton, membosankan dan itu-itu saja. Generasi milenial sangat membutuhkan konten kekinian yang bisa membuatnya tertarik untuk berkomentar, hingga melakukan sharing ulang. Artinya bila para kandidat dan partai politik ingin menarik atensi yang lebih besar dari generasi milenial, tentulah ia harus bisa menciptakan konten kreatif yang mengkuti tren kekinian.

Kampanye kreatif di media sosial bisa dikemas dengan konten infografis, video, game aplikasi dan musik yang memiliki nilai edukasi serta jenaka. Bahkan bisa pula konten kreatif menyerupai film pendek berseri. Melalui penciptaan konten kreatif yang tidak monoton dan tidak bermaterikan politik semata, dapat membuat para pemilih merasa bahwa politik penuh kegembiraan dan inovasi sesuai karakter asli para milenial.

Penciptaaan konten sesuai selera milenial berdampak pada penciptaan partisipasi dan pengawasan yang ketat dari berbagai kebijakan bagi generasi milenial. Itu sebabnya mengapa media sosial seringkali dikatakan sebagai penggerak utama dalam reproduksi beragam opini hingga kesadaran tentang kebijakan yang transformatif (Lim, 2013).

Tapi hal yang perlu diwaspadai dalam penciptaan kampanye kreatif di media sosial adalah para kandidat dan partai politik harus bisa menghadapi ancaman propaganda digital para buzzer dan influencer. Sejatinya tim buzzer dan influencer itu bertugas untuk menarik atensi para warganet melalui berbagai konten yang mencerahkan. Tapi faktanya justru tim buzzer dan influencer seringkali membuat gaduh linimasa media sosial dengan berbagai unggahan yang saling berseliweran. Entah itu mendukung, memberikan apresiasi, maupun saling mencela. Bahkan, mayoritas bermaterikan konten fitnah, pembunuhan karakter, hoaks dan kebohongan.

Strategi pencegahan tidak hanya pada penguatan literasi digital semata, tapi juga dengan mendesak para kandidat politik untuk ikut melakukan konfirmasi atas disinformasi yang tengah beredar. Tidak hanya itu, para jurnalis harus dapat berperan untuk bisa menjelaskan kepada publik atas suatu disinformasi dari berbagai sumber dan perspektif, sehingga publik bisa mengetahui informasi tersebut berbasis data faktual dan bukan akal-akalan. Dengan berbagai langkah taktis tersebut, diharapkan kampanye politik 2024 bisa terasa sebagai bagian dari kegembiraan politik dan bukan sebaliknya. (*)

Bambang Arianto

Peneliti Institute for Digital Democracy (IDD) Yogyakarta