Catatan Terhadap Lagu Ojo Dibandingke
SEJUJURNYA, saya tertarik pada lagu “Ojo Dibandingke”, baru setelah mendapatkan kiriman video. Kontennya, penyanyi kondang (Bruce Springteen) mendendangkan lagu tersebut di Voice Global, Norwegia. Diiringi petikan gitar nan bening, suaranya merdu. Dia fasih mengucapkan lirik-lirik bahasa Jawa. Tepuk tangan terdengar riuh. Apresiasi tinggi atas kehebatannya.
Lepas dari dugaan, apakah video itu asli ataukah editan, kiranya beberapa catatan perlu disampaikan sebagai sumbangsih bagi kehidupan bersama.
Pertama, sebenarnya tak ada yang istimewa isi lirik lagu itu. Bahkan terkesan sederhana dan cengeng. Sekadar menggambarkan kisah seseorang sedang bercinta. Dia jujur. Tampil apa danya. Tanpa pencitraan. Kebersahajaan itulah jati dirinya. Dia tidak rela, terasa sakit hati, ketika dibandingkan dengan orang lain. Mengapa? Karena pastilah dirinya kalah bersaing. Dia pun berharap agar kekasihnya mengerti. Tak ada orang lain di hatinya, kecuali kamu.
Kedua, jujur, tanpa pencitraan, tampil apa adanya, itu sikap terpuji. Walau demikian, tidaklah perlu seseorang merasa rendah diri, dan memastikan diri kalah bersaing. Apalagi hanya soal asmara. Ada pepatah, “dunia tak selebar daun kelor”. Maknanya, terbentang berbagai kemungkinan mendapatkan kekasih (calon jodoh) pada orang lain. Cinta ditolak, bertepuk sebelah tangan? Tak perlu patah hati. Justru segera cari ganti.
Ketiga, pemujaan terhadap seseorang itu wajar. Tetapi menjadi tak wajar alias kontroversial, ketika kebablasan menjadi pengkultusan. Engkaulah satu-satunya pilihan. Tidak ada orang lain selain engkau. Layak diingatkan, bahwa dalam persepektif moralitas-religius, pengkultusan individu itu dilarang. Rasulullah Muhammad saw, tidak suka apabila dikultuskan, dan dipuja-puja secara berlebihan. Beliau bersabda: “Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [HR. Ahmad].
Pengkultusan itu ibarat fanatisme buta. Seolah, orang yang dikultuskan itu sempurna, sepi dari kesalahan, selalu benar sikap, ucapan, dan perilakunya. Padahal dalam fitrahnya, manusia itu dhaif, lemah, dan rentan berbuat salah. Tidak mengapa berbuat salah, asalkan setelah sadar segera diikuti dengan pertobatan, dan perilaku saleh. Itulah, maka kritik sebagai lawan kultus, diperlukan oleh siapa pun.
Keempat, kiranya, tak perlu sakit hati, ketika seseorang dibandingkan dengan orang lain. Metode perbandingan, sebagai upaya memposisikan sesuatu hal sebagai cermin, sudah amat dikenal, dan diakui kecanggihannya. Dalam kitab suci, Tuhan, dalam banyak hal memperbandingkan kehidupan suatu kaum dengan kaum lainnya. Ada umat yang diberi nikmat, yakni para shiddiqin, orang-orang jujur. Ada pula, umat yang dilaknat, yakni para munafikun, pengkhianat, kafir, tersesat dari kebenaran.
Salah satu contoh legenda kedzaliman adalah raja Fir-aun. Dia menobatkan dirinya sebagai tuhan. Tidak ada tuhan lain selain dirinya. Dia merasa mampu memberi kehidupan dan mematikan siapa pun. Dia menolak ajakan Musa agar menyembah Allah, Tuhan seluruh alam. Bagaimanakah kesudahan Fir’aun dan kaumnya (Bani Israil)?
Laknatullah hadir dalam bentuk kemarau panjang. Negerinya kekurangan bahan makan dan buah-buahan. Laknat lainnya berupa topan, belalang, kutu, katak, dan air minum yang berubah menjadi darah. Rakyat pun banyak mati kelaparan. Itulah balasan terhadap kesombongan dan kedzaliman. Akhirnya, Fir’aun dan sebagian pengikutnya, ditenggelamkan di laut. Kini jasad Fir’aun masih ada, dan layak dijadikan sebagai pembelajaran umat-umat setelahnya.
Belajar dari kehidupan masa lalu sebagai contoh di atas, kita dapat mengambil hikmah, demi peningkatan kualitas kehidupan, untuk saat ini, dan masa depan. Dalam konteks pembelajaran demikian, terbersit urun rembug, agar segera digubah lagu berjudul “Silahkan Dibandingkan”. Lagu itu, dapat dijadikan media dakwah. Untuk membandingkan kualitas kehidupan antar-umat, antar-rezim, antar-penguasa, dan lain-lainnya.
Urun rembug sederhana di atas, bukan orisinal, bukan baru. Dulu, ada musisi metal bernama, Derry Sulaiman, hijrah menjadi pendakwah. Keinginan berdakwah lewat musik metal, diilhami konser band metal asal Amerika, Lamb of God. Terpikirkan oleh Derry, ratusan ribu penonton konser yang berputar-putar seperti orang tawaf, perlu diselamatkan kehidupannya, dunia-akhirat. Langkah konkrit yang dilakukan adalah membuat band bernama No More Betrayer. Lagu-lagu berkonten moralitas-religius, diaransir, dan ditampilkan pada setiap konsernya. Misal, lagu berjudul “Bendera Kuning”, berisi pesan agar kita selalu mengingat kehidupan, untuk mempersiapkan diri sebelum kematian.
Patut diapresiasi, selain Derry, terdapat sejumlah musisi-musisi lain yang telah lebih dulu menempuh langkah bijak serupa. Sebut saja, Ebiet G Ade, Bimbo, KoesPlus, Roma Irama, dan lain-lain. Amat mungkin, lagu berjudul Nusantara, Gebyar-gebyar, Halo-halo Bandung, Mars Pancasila, dan lain-lainnya, bisa mendunia bila diaransir ulang secara sungguh-sungguh. Peran, komitmen, dan dukungan pemerintah terhadap pengembangan budaya adiluhung itu, perlu ditingkatkan. Pada momentum kenegaraan, misalnya, digaungkan lagu-lagu bernuansa perjuangan, kebangsaan, dan kemerdekaan. Pastilah kehidupan berbangsa akan menjadi semakin maju dan berperadaban. Wallahu’alam. **
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH., M.Si.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM