Jejak Djuanda dalam Kedaulatan Laut, Diangkat ke Layar Lebar
Film berdurasi 107 menit ini menyoroti perjuangan non-militer Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang justru krusial bagi pembangunan fondasi Indonesia
KORANBERNAS.ID, BANTUL--Di balik kemegahan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tersimpan kisah perjuangan seorang tokoh yang jarang terekspos.
Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LSB PP Muhammadiyah) bersama MIXPRO menghadirkan film “Djuanda: Pemersatu Laut Indonesia” yang mengungkap sisi tak terceritakan dari sosok dibalik Deklarasi Djuanda 1957.
“Sangat sedikit yang menulis tentang beliau, sehingga proses pengumpulan data menjadi tantangan tersendiri,” ungkap Bimo Suryojati, penulis naskah film tersebut, saat ditemui di sela peluncuran film di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (22/2/2025).
Film berdurasi 107 menit ini menyoroti perjuangan non-militer Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang justru krusial bagi pembangunan fondasi Indonesia.
“Beliau adalah pahlawan yang tidak berada di medan perang, tetapi berjuang di medan lain yang sebetulnya saat ini sangat kita butuhkan,” jelas Bimo.
Di tengah minimnya dokumentasi sejarah, film ini mengungkap peran vital Djuanda dalam membangun infrastruktur negara, mulai dari sistem transportasi hingga perbankan.
Kontribusinya ini menjadi kunci dalam mengamankan aset-aset strategis dari potensi kembalinya ke tangan kolonial pasca kemerdekaan.
“Beliau melakukan hal-hal seperti memperbaiki transportasi, perbankan, dan sebagainya. Ini penting karena jika kita langsung memproklamasikan kemerdekaan, perusahaan-perusahaan ini masih bisa kembali ke tangan Belanda,” jelas Bimo.
Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Irwan Akib, M.Pd menekankan signifikansi Deklarasi Djuanda bagi keutuhan NKRI.
“Tanpa deklarasi ini, pulau-pulau di Indonesia bisa terpecah belah dan batas wilayah kita tidak akan jelas. Akibatnya, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara liar,” tegasnya.
Film ini menghadirkan sisi personal Djuanda, mulai dari masa kecilnya dalam keluarga terdidik hingga perannya dalam kabinet Presiden Soekarno. Berbeda dengan film-film sejarah pada umumnya, “Djuanda” memilih menghindari dramatisasi konflik politik dan lebih berfokus pada upaya-upaya pembangunan yang dilakukannya.
Sementara itu, Ismet Wibowo, cucu pertama Djuanda, mengapresiasi pendekatan ini.
“Film ini tidak hanya mengenang perjuangan kakek saya, tetapi juga menginspirasi generasi muda dalam mengejar cita-cita mereka di berbagai bidang,” ujarnya.
Film “Djuanda” menjadi bukti bahwa perjuangan membangun bangsa tidak selalu identik dengan pertempuran fisik.
Melalui pendekatan moderat dan fokus pada pembangunan infrastruktur, Djuanda membuktikan bahwa diplomasi dan perencanaan strategis sama pentingnya dengan perjuangan bersenjata dalam membangun fondasi negara.
LSB PP Muhammadiyah berharap film ini dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memahami kompleksitas pembangunan bangsa, sekaligus menginspirasi mereka untuk berkontribusi dengan cara mereka masing-masing dalam memajukan Indonesia. (*)