Jangan Sakit

Jangan Sakit

SEHAT itu mahal! Begitu kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Jakarta awal bulan ini. Setiap orang memerlukan perjuangan untuk bisa sehat. Kalau orang berpendapat bahwa sehat itu murah, maka orang akan menjadi manja dan tidak berjuang untuk tetap sehat. Argumen bahwa sehat itu mahal, menjadi alasan pembenar bagi rencana pemerintah menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Yang membuat rakyat terkejut, kenaikan iuran kelas I naik 100 persen. Kelas II bahkan naik sebesar 115%. Sedangkan kelas III naik 65%.

 

Dalam tarif baru yang direncanakan berlaku efektif mulai 1 Januari 2020, iuran kelas III naik dari Rp. 25.500,- menjadi Rp. 42.000,-; iuran kelas II naik dari Rp. 51.000,- menjadi Rp. 110.000,-; dan iuran kelas III naik dari Rp. 80.000,- menjadi Rp. 160.000,-. Peraturan Presiden yang mengatur tentang hal itu, konon bakal terbit sebelum Joko Widodo dilantik kembali menjadi Presiden periode 2019-2024. Ihwal kenaikan iuran ini membuat banyak kalangan resah. DPR pun kemudian bersikap menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya yang kelas III. DPR menghendaki, iuran BPJS Kesehatan kelas III tetap Rp. 25.500,-. Bagaimana akhir keputusannya, tentu masih harus ditunggu dalam beberapa minggu ke depan.

 

Sepanjang pemberitaan yang bisa diikuti, sebab utama kenaikan iuran adalah bobolnya keuangan BPJS. Catatan Kementerian Keuangan menyebutkan, total pemasukan iuran BPJS Kesehatan tahun 2018 adalah Rp. 8,9 triliun. Sedang klaim yang harus dibayarkan kepada puskesmas, klinik, dokter praktek dan rumah sakit, sepanjang tahun 2018 adalah Rp. 27,9 triliun. Artinya, defisit sepanjang tahun 2018 sudah mencapai angka Rp. 19 triliun. Sementara, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengaku, tanpa kenaikan iuran, pada tahun 2024 mendatang jumlah defisit akan mencapai Rp. 77,9 triliun.

 

Pada sisi yang lain, tenaga kesehatan seperti dokter juga mengeluhkan rendahnya jasa pelayanan medik yang dia terima. Bahkan ada yang mengistilahkan, jasa (honor) dokter yang memeriksa seorang pasien hanya seharga segelas es teh. Dokter praktik, klinik dan rumah sakit yang menjadi mitra BPJS dalam rangka memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, juga mengeluhkan belum terbayarnya tagihan mereka ke BPJS Kesehatan.

***

SEJAK kelahirannya tahun 2014 lalu, BPJS seperti janin yang belum siap lahir. Para pengambil kebijakan waktu itu, agaknya tidak cukup mampu memprediksi kebutuhan layanan yang harus disediakan fasilitas kesehatan disandingkan dengan jumlah iuran yang harus dipungut dari masyarakat.

 

Pada awalnya, melalui Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 diputuskan bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I Rp. 59.500,- per bulan per orang. Bagi kelas II dipungut sebesar Rp. 42.500,- per bulan per orang, sedang bagi kelas III dipungut sebesar Rp. 25.500,- per bulan per orang. Khusus bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau orang miskin yang iurannya dibayar pemerintah, ditetapkan sebesar Rp. 19.500,-. Ketentuan itu berlaku mulai 1 Januari 2014.

 

Dua tahun kemudian, pada bulan Februari 2016, terbit Perpres No. 19 yang menaikkan pungutan iuran dari masyarakat. Bagi peserta kelas I jumlah iuran naik menjadi Rp. 80.000,-; kelas II menjadi Rp. 51.000,- dan kelas III menjadi Rp. 30.000,-. Perpres No. 19 ini hanya berumur satu bulan. Sebab, pada 31 Maret 2016, terbit Perpres No. 28 yang mengembalikan ketentuan pungutan khusus peserta BPJS Kesehatan kelas III menjadi Rp. 25.500,-. Untuk kelas II dan kelas I tetap sama.

 

Dan kini, hampir dapat dipastikan iuran BPJS Kesehatan akan naik menjadi Rp. 42.000,- bagi kelas III, Rp. 110.000,- bagi kelas II dan Rp. 160.000,- bagi kelas I. Dengan catatan, DPR menolak kenaikan khusus untuk kelas III.

 

Kalau iuran dapat dipastikan naik, tidak demikian halnya dengan pelayanan kesehatan yang banyak diasumsikan tidak akan meningkat. Peserta BPJS Kesehatan, apalagi yang kelas III adalah warga negara kelas bawah ketika berhadapan dengan petugas di fasilitas kesehatan seperti klinik dan rumah sakit. Kamar rawat inap sering dilaporkan penuh bagi pengguna BPJS Kesehatan kelas III; tetapi kamar masih tersedia sekalipun tetap kelas III bagi pasien yang membayar langsung.

 

Satu-satunya pelajaran yang bisa dipetik dari heboh soal BPJS Kesehatan, agaknya hanya satu. Jangan sakit! ***

 

(Artikel ini juga dimuat di Koran Bernas versi cetak edisi 23 September - 7 Oktober 2019).