Industri Batik Harus Beradaptasi di Tengah Pandemi

Industri Batik Harus Beradaptasi di Tengah Pandemi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh sektor tak terkecuali industri kreatif, salah satunya industri kerajinan dan batik.

Meski saat ini masih dalam kondisi yang jauh dari ideal untuk menjalankan aktivitas, bukan berarti kreativitas dan kegiatan produksi berhenti.

Industri kerajinan dan batik harus mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan dengan cara berpikir kreatif dan inovatif melalui pemanfaatan teknologi dan optimalisasi sumber daya.

“Adaptasi ini diperlukan agar produktivitas dapat terus bergerak serta berkontribusi positif bagi perekonomian nasional," ujar Doddy Rahadi,  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian pada seminar virtual Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, Selasa (6/10/2020).

Menurut Doddy, industri batik merupakan salah satu sektor yang cukup banyak membuka lapangan pekerjaan. Sektor yang didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) ini tersebar di 101 sentra di Indonesia.

Industri batik mendapat prioritas pengembangan karena berbasis budaya lokal. Selain itu juga dinilai mempunyai daya ungkit besar menciptakan nilai tambah yang berdampakn pada transaksi perdagangan, besaran investasi, industri lainnya serta kecepatan penetrasi pasar.

Apalagi produk batik cukup berperan dalam perolehan devisa negara walau kebanyakan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Jumlah ekspor batik hingga semester pertama 2019 mencapai 17,99 juta Dolar AS.

Pada periode Januari-Juli 2020 terdapat peningkatan mencapai 21,54 juta Dolar AS dengan pasar utama ekspor ke Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.

“Industri batik yang merupakan bagian dari industri tesktil, juga menjadi salah satu sektor yang harus berubah sesuai rencana implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0,” jelasnya.

Doddy menambahkan, Kementerian Perindustrian mencatat jumlah industri kerajinan di Indonesia lebih dari 700 ribu unit usaha dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 1,32 juta orang.

Pada 2019, nilai ekspor produk kerajinan nasional menembus hingga 892 juta Dolar AS atau meningkat 2,6 persen disbanding perolehan tahun 2018 sebesar 870 juta Dolar AS.

Yang termasuk industri ini antara lain industri serat alam non-tekstil, mainan anak, alat olahraga, perhiasan. Seperti halnya batik, industri kerajinan juga didominasi industri kecil dan menengah (IKM).

Beberapa produk kerajinan sangat dibutuhkan oleh pasar dalam negeri, maka industri kerajinan dalam negeri bersaing sangat ketat  dengan produk impor, seperti mainan anak.

Cepatnya perkembangan teknologi membawa perubahan luar biasa bagi dunia industri. Teknologi menyentuh berbagai bidang dan berhasil mengubah perilaku manusia menyikapi pembuatan produk seperti pada kerajinan dan batik.

Jika teknologi yang digunakan dapat bersinergi dengan budaya lokal, maka penerapan teknologi tersebut akan memberikan dampak yang sangat positif, kinerja industri akan meningkat dan budaya lokal tetap terjaga.

Kearifan memadukan kemajuan teknologi pada era Revolusi Industri 4.0 dengan keberlanjutan budaya bangsa inilah yang nantinya memberi nilai tambah produk kerajinan dan batik berbasis ketrampilan keempuan (craftmanship).

Dengan proses produksi yang inovatif, efektif dan efisien, menjadikan industri selalu melakukan kreasi tiada henti. Produktivitas industri akan meningkat dan akhirnya daya saing industri kerajinan dan batik meningkat pula.

“Semua ini mempunyai tujuan agar industri kerajinan dan batik yang berbasis budaya lokal akan tetap berjaya di negeri sendiri, tak lekang oleh perubahan zaman,” tandasnya. (*)