Ilmu Hakikat pun Datang dari Pengajian Kecil Kelas Kampung

Ilmu Hakikat pun Datang dari Pengajian Kecil Kelas Kampung

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Ilmu hakikat tidak mesti tersampaikan dari orang-orang menyandang nama besar pada forum yang juga tidak kalah besarnya. Realitanya, dari forum pengajian kecil kelas kampung, ilmu-ilmu tingkat tinggi justru muncul, kadang-kadang tidak terduga datangnya.

Seperti itulah yang mewarnai setiap kali berlangsung pengajian rutin Malem Selasa di Masjid Al Fathonah Kampung Pugeran lingkungan SDN Suryodiningratan 2 Yogyakarta. Umumnya pengajian identik dengan mimbar, sound system serta jamaah dalam jumlah besar sebagai syiar, namun pengajian yang sudah berlangsung hampir sepuluh tahun di masjid tersebut terkesan amat sederhana.

Setiap kali digelar, jamaah cukup duduk pada selembar tikar di serambi masjid. Kalau pun tersedia hidangan, juga amat sederhana berupa gorengan dari warung angkringan plus teh panas. Santri yang datang bisa dihitung jari. Kadang-kadang empat orang atau enam, paling banyak delapan.

Muhammad Daim selaku pengasuh sejak merintis pengajian ini sekitar tahun 2014 tidak pernah punya pemikiran majelis ilmu tersebut jamaahnya bertambah banyak dari tahun ke tahun. Semua mengalir apa adanya. Baginya, termasuk santri-santri, yang terpenting adalah istiqomah.

Kajian rutin biasanya diawali iftitah berupa dialog atau tanya jawab seputar realita kehidupan sehari-hari yang dirasakan masyarakat terutama lapis paling bawah. Sebagai selingan, pensiunan Kepala SDN Suryodiningratan 2 Yogyakarta itu mengupas realita kekinian disertai gurauan dan canda tawa. Ujung-ujungnya terjadi saling gojlog sesama jamaah. Semua tertawa lepas.

Sekadar untuk menambah wawasan dan cakrawala, satu dua kali disinggung persoalan politik, ekonomi maupun pentingnya bekerja keras, kemudian dilihat bagaimana Al Quran dan Hadits mengaturnya sekaligus solusinya bagaimana. Lebih luas lagi bisa dirujuk dengan ijma dan qiyas maupun bagaimana menyelaminya berdasarkan kajian fikih.

Begitu dirasa cukup, barulah pengajian tafsir Al Quran dimulai. Sengaja dipilih Tafsir Al-Maraghi karena penerapannya dirasa pas dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Sejak pertama kali digelar diawali dari Surah Al Baqarah, hingga saat ini baru sampai juz lima (Al Maidah). Ini karena, setiap kali pengajian hanya dikupas satu dua ayat saja, maksimal tiga. Pernah satu. Pernah juga lima sekali bahas.

Pada Selasa (6/6/2022) malam, kiai kelas RT yang memiliki background heritage ini mengupas bagaimana orang-orang hakikat menyikapi seluk beluk kehidupan duniawi. Disebutkan, orang-orang yang sudah memasuki maqam hakikat maka tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting.

Kental hakikat

Dari kacamata budaya, Muhammad Daim yang meraih gelar Grandmaster of Heritage serta pernah melanglang ke negeri Kincir Angin Belanda itu menyebutkan, masyarakat Jawa sangat kental dengan hakikat.

Ini erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai Islam Kejawen yang pada dasarnya bersumber dari enam hal, lima di antaranya yaitu ilmu, akhlak, fikih madzhab Imam Syafi’i yang dikenal hati-hati, pemikiran tasawuf ulama besar Imam Al Ghazali maupun kebudayaan Jawa itu sendiri. Jika dirunut lebih ke belakang lagi, sumber utamanya adalah Al Quran dan Hadits Rasulullah Muhammad SAW.

Itu sebabnya, kata Daim, orang-orang Jawa pada umumnya tatkala mengkritisi sesuatu yang tidak beres maka akan senantiasa mengedepankan tamsil. Hasilnya lebih mengena serta tidak menyakiti hati. Bukankah di dalam kitab suci Al Quran terkandung banyak tamsil?

Contoh dari realita kehidupan sehari-hari, saat bersinggungan dengan orang ambisius anggap saja ibarat balon udara berisi gas ringan. Balon bisa terbang ketika gasnya masih aktif dan bolanya kokoh. Jika gas aktif itu habis otomatis balon udara tidak bisa terbang lagi kemudian jatuh dengan sendirinya.

Begitu pula saat menyikapi kondisi zaman akhir seperti saat ini, orang Jawa cukup merenungkannya dari bait-bait tembang. Sluping surya tunggak jarak mrajak, keprungu kluruking kate, gangsir ngenthir ngelengi bumi, kasaputing rahina ana ratu kidul, kembar nglenggahi dhampar, patihe macan luwe…

Prinsip, agama Islam adalah mudah dan tidak mempersulit. Ini sangat klop dengan falsafah orang Jawa yang jika dirunut sumbernya Hadits Nabi SAW, yaitu dinalar mathuk, dirasakke cemeplong, ditandangi kepenak.

Dari pembahasan hal-hal kecil yang kental nuansa budaya Jawa itulah, Muhammad Daim sebagai salah seorang penggagas dan pendiri masjid tersebut, memegang komitmen pengajian Malem Selasa insyaallah terus berlangsung sepekan sekali ba'da Isya. Selama ini memang tidak pernah libur kecuali saat Ramadan atau ada kewajiban lain yang memang tidak bisa ditinggalkan.

Bagi jamaah dan santri, pengajian kecil seperti ini ibarat mesin raksasa yang berputar dari onderdil terkecil. Bisa saja, kecelakaan pesawat berbadan besar terjadi gara-gara satu sekrup kecil lepas. Kenapa malu disebut kecil, kenapa berkecil hati? (*)