Gaung Gong dan Mantra Pelaku Seni Jogja di Tengah Pandemi

Gaung Gong dan Mantra Pelaku Seni Jogja di Tengah Pandemi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Di tengah pandemik dan imbauan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial, komunitas gamelan yang menamakan diri Masyarakat Gong Yogyakarta melaksanakan laku seni yang tak biasa pada Minggu (5/4/2020). Dari empat penjuru mata angin dan Titik Nol sebagai pusat kota, lima kali gaung Gong serentak dipukul membelah kesunyian Yogyakarta.

Dalam keterangan tertulisnya, Ari Wvlv, inisiator Gaung Gong dari Komunitas Gayam16 menerangkan, laku seni Gaung Gong ini menjadi respons masyarakat gamelan atas situasi sosial terkini. Gaung Gong dibunyikan secara serentak sebanyak lima kali sebagai penanda awal kelahiran dan kehidupan jiwa yang kembali mengenali jati diri.

Tujuannya, membangkitkan kesadaran sejati. Selain itu, melambangkan sedulur papat limo pancer dalam filosofi Jawa. Artinya, empat saudara dan lima sebagai pusatnya. Filosofi ini menyiratkan Tuhan menciptakan saudara-saudara itu untuk membantu manusia.

Selain menabuh gong dalam dua kurun waktu yang berbeda, ada pula pembacaan mantra tolak bala di sela-sela Gaung Gong. Mantra ini menjadi doa di tengah situasi seperti sekarang. Pada Gaung Gong pagi hari dibacakan mantra Carakan Walik atau Aksara Jawa yang dibalik.

Tidak hanya dibalik ejaannya, melainkan juga dibalik urutannya. Biasanya dimulai dari hanacaraka, datawasala, padhajayanya, dan magabathanga. Saat Gaung Gong mantra ini berbunyi ngathabagama yang berarti tidak ada kematian, nyayajadhapa berarti tidak ada kesaktian, lawasatada yang berarti tidak ada peperangan, dan karacahana mengandung makna tidak ada utusan.

Gong kembali bergaung pada hari yang sama pukul 18.00 WIB. Kali ini Gong ditabuh sebanyak 10 kali dari tempat yang sama. Jam pergantian siang dan malam itu dipilih sebagai waktu potensial untuk penyelarasan energi dalam diri dengan semesta.

Mantra yang dibacakan pada petang hari berupa Kalacakra. Mantra ini berbunyi:

YAMARAJA-JARAMAYA (siapa yang menyerang-berbalik menjadi berbelas kasihan).

YAMARANI-NIRAMAYA (siapa yang datang dengan niat buruk-akan berbalik dan menjauhi).

YASILAPA-PALASIYA (siapa yang membuat kelaparan-berbalik memberi makan).

YAMIRODA–DAROMIYA (siapa yang memaksa-berbalik memberi kebebasan dan keleluasa).

"Secara budaya, masyarakat kita adalah masyarakat yang guyub, sosial, dan ramah. Kondisi yang mengharuskan ada jarak di antara mereka menimbulkan ketegangan atau syok yang luar biasa," kata Ari.

Ia melanjutkan, gamelan lazimnya dibunyikan bersama-sama tanpa patokan yang kaku, sehingga di setiap ketukan akhir gendhing tidak pernah ada keserentakan nada dalam gamelan. Dalam gamelan, semua berhenti sesuai dengan hasrat masing-masing. Hal ini yang membedakannya dengan musik barat yang patuh terhadap ketukan.

Gong sebagai bagian dari gamelan, berbunyi untuk mengawali dan sebagai tanda akhir. Gong tidak dimainkan sesering instrumen lainnya. Namun, orang yang menabuh gong sudah pasti mendengarkan alunan gending dari awal sampai akhir. Ini bisa dianalogikan seperti semesta yang memperhatikan manusia dan alam.

Gong juga menjadi simbol bunyi semesta yang membawa kesadaran dan menenangkan. Vibrasi gong juga menggetarkan tubuh manusia. Gong menjadi penanda kesadaran manusia bersatu dengan alam.

"Menyikapi situasi terkini kami berpikir untuk menjadikan gong sebagai pilihan dalam Gaung Gong, karena gong bisa dimainkan oleh satu orang saja," ucapnya.

Ari melanjutkan, ide Gaung Gong berasal dari obrolannya bersama dengan Santi Ariestyowanti perihal frekuensi bunyi-bunyian dapat memengaruhi manusia. Ide ini pun dibagikan kepada seniman dan budayawan di Yogyakarta, seperti Romo Banar, I Ketut Sandika, Ki Kisno, Bambang Paningron, Ki Catur Kuncoro, Pardiman Jayanegara, Azied Dewa, Anon Suneko, Paksi Raras, dan kawan lainnya. (eru)