DIY dan Jateng Berpotensi Saingi Singapura dalam Medical Tourism

DIY dan Jateng Berpotensi Saingi Singapura dalam Medical Tourism

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Singapura masih menjadi rujukan favorit bagi negara-negara di Asia untuk melakukan penanganan kesehatan dan negara tujuan berobat, selain Thailand dan Malaysia. Selama lebih dari satu dekade, sektor perawatan kesehatan di Singapura kian berkembang sehingga mendapatkan posisi terdepan dalam pelayanan medis untuk pasien luar negeri. Tidak hanya di kawasan Asia, melainkan juga di seluruh dunia.

World Health Organization (WHO) menempatkan Singapura di posisi ke-6 di dunia untuk katagori sistem pelayanan kesehatan terbaik selama beberapa tahun berturut-turut. Singapura berhasil melampaui negara-negara lainnya, seperti Austria, Jerman, dan Israel. Hal ini menjadikan Singapura memiliki ekosistem Wisata Kesehatan (Medical Tourism-red) yang patut ditiru.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah sesungguhnya memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai wisata kesehatan. Selain objek wisata yang banyak, DIY memiliki rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.

Dalam seminar bertajuk Mengembangkan Potensi Medical Tourism di Kawasan Jateng & DIY, di Sahid Raya Hotel, Kamis (12/3/2020), Kepala Dinas Pariwisata DIY, Singgih Raharjo, menyampaikan telah dilakukan pemetaan di wilayah Joglosemar yang bertujuan untuk mengidentifikasi sumber daya tarik wisata kesehatan.

Hal ini berdasarkan database katalog wisata kesehatan yang telah disusun oleh Kementerian Kesehatan RI. Lokasi uji trail wisata kesehatan di DIY adalah Merapi Farma Herbal, Kopi Klothok, Rumah Makan Jejamuran, Nurkadhatyan Spa Ambarukmo, Martha Tilaar, Taman Sari Royal Heritage Spa, dan Klinik Kopi.

Singgih menegaskan, DIY memiliki potensi besar untuk berkembangnya wisata kesehatan. Dari sisi rumah sakit, DIY memiliki empat yang bisa dikembangkan untuk mendukung konsep ini. Antara lain RSUP Sardjito dengan spesialis jantung, JIH memiliki fasilitas bayi tabung, RS Mata DR Yap yang secara khusus menangani mata dan tidak ada duanya.

Selain itu Pemerintah DIY akan menjadikan kawasan RSUD Wates menjadi kawasan medical tourism, guna mempermudah akses akan dibangun penghubung berupa fly over dari jalan nasional ke Rumah Sakit Wates.

“Ini semua jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, layak berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia. JIH punya fasilitas bayi tabung, misalnya diminta berhubungan dengan industri wisata, misal program bayi tabung tiga bulan, mereka bisa tinggal di sini,” katanya.

Begitupun dengan ramuan tradisional, rempah-rempah dan jamu yang belakangan ini sedang naik daun. DIY juga memiliki potensi yang besar, baik dari sisi bahan baku maupun keberadaan warung yang secara khusus menyediakan jamu. Sejumlah warung jamu era terdahulu masih bisa bertahan hingga saat ini dapat ditemukan di Jogja.

“Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan sejak ratusan tahun lalu masih mempertahankan aneka ramuan tradisional dan jamu yang memiliki resep pusaka favorit para Raja. Hal tersebut dapat menjadi keunggulan tersendiri karena dapat menjadi ciri khas dan branding bagi medical tourism,” paparnya.

Ia mengatakan, banyaknya potensi minuman jamu yang ada di DIY ini harus dimaksimalkan dan di-branding. Menurutnya kunci dari sebuah produk terletak pada narasinya. Warisan tradisi yang kaya, jika disertakan dengan narasi yang bagus, pasti hasilnya akan lebih ekslusif.

Selain jamu, Yogyakarta juga memiliki produk lain yang juga sering digunakan oleh keluarga Keraton Yogyakarta yaitu lulur. Racikan lulur ini bisa digunakan oleh industri spa yang tentunya juga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

"Ramuan perawatan tubuh warisan Keraton sangat lengkap, bahkan sejak dari anak-anak hingga orang tua. Potensi yang luar biasa ini sebaiknya bisa dikemas dengan baik," lanjutnya.

Sementara Direktur Pemasaran Pariwisata Badan Otorita Borobudur (BOB), Agus Rochiyardi, menjelaskan medical tourism merupakan kegiatan wisata yang dirangsang oleh keberadaan objek atau fasilitas yang diperlukan untuk mengembalikan kesehatan di daerah tujuan wisata.

Wisata jenis ini dibagi dalam beberapa klaster antara lain wisata medis, kebugaran dan jamu, wisata olahraga dan wisata ilmiah kesehatan. Ia mencontohkan keberhasilan wisata kesehatan di Malaysia karena dukungan dari berbagai pihak baik lembaga pemerintah maupun swasta.

“Dampak dari wisata kesehatan ini antara lain, dari sisi ekonomi bisa menciptakan multiplier effect untuk menumbuhkan minat investasi. Dari sisi bisnis akan memunculkan bisnis baru terkait produk kebugaran dan jamu. Selain itu masyarakat akan mendapatkan keuntungan dengan bertambahnya lapangan kerja,” paparnya. (eru)