Cermin Kinerja Pemerintah melalui Anggaran

Cermin Kinerja Pemerintah melalui Anggaran
  1. LIKA-LIKU PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

AWAL mula penganggaran berbasis kinerja dipelopori oleh Margareth Thatcher dengan konsep New Public Management pada tahun 1980-an. New public management merupakan sebuah paradigma dalam mengkonseptualisasikan manajemen sektor publik. Pada tahun 1990-an, penerapan konsep New Public Management diinisiasi oleh Pemerintahan Clinton di Amerika Serikat melalui regulasi Government Performance and Results Act (GPRA). Selanjutnya, penerapan NPM di Pemerintahan Amerika Serikat diikuti oleh reformasi sektor publik di Inggris, Australia dan Selandia Baru. Reformasi sektor publik menjadi tonggak sejarah perubahan atas tatanan kelembagaan dan birokrasi. Salah satu hal yang menjadi perhatian khusus ialah seluruh pemangku kepentingan dituntut menyelenggarakan good governance dan clean government pada organisasi sektor publik. Kemudian, reformasi sektor publik di Indonesia dilaksanakan melalui penerbitan Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Hal ini memacu pemerintah untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban yang jelas dan efektif, yang disebut dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Hasil akhir dari SAKIP ini mendeskripsikan kinerja yang dicapai oleh pemerintah atas penyelenggaraan program pembangunan nasional melalui instrumen APBN/APBD, yang dikenal dengan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP). SAKIP ini berfungsi sebagai alat ukur pembangunan wilayah atau kinerja yang diselenggarakan oleh setiap instansi pemerintah dan juga sebagai tolok ukur dalam hal pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara.

  1. MANA YANG LEBIH PENTING LAKIP ATAU LAPORAN KEUANGAN?

Fakta dan fenomena praktis di lapangan berbanding terbalik dengan konseptualisasi reformasi sektor publik yang sesungguhnya. Hal ini terjadi lantaran banyak instansi pemerintah yang masih berfokus pada laporan keuangan dan menomorduakan laporan kinerja organisasi. Kondisi ini ditunjukkan pada sisi laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang masih terdapat banyak permasalahan (Kemenpan, 2010, 2012, 2016),  di antaranya: (1) SAKIP tahun 2010 menunjukkan bahwa 9 pemerintah provinsi dan 5 pemerintah kabupaten/kota bernilai B. Sementara itu, 16,27 persen pemda dari 29 provinsi yaitu 57 kabupaten/kota bernilai CC. Hal ini menunjukkan bahwa 57 kabupaten/kota masih di bawah 20% dari capaian target yang direncanakan. (2) Tahun 2012, SAKIP ditunjukkan dengan hanya terdapat 2 pemerintah kabupaten saja yang bernilai B, yaitu Kab. Sukabumi dan Kab. Sleman. Sedangkan 104 kabupaten/kota dari 438 kabupaten/kota perlu dievaluasi karena mendapatkan nilai CC atas capaian SAKIP. (3) Tahun 2016, terdapat 12% pemerintah daerah yang mendapat predikat A, BB, dan B atas capaian SAKIP. Namun, capain ini tidak memberikan andil yang kuat, bahwa kinerja seluruh pemerintah daerah di Indonesia sudah bagus karena sebanyak 83% pemda mendapat nilai CC, C, dan D atas capaian SAKIP. Faktor-faktor tersebut salah satunya dipengaruhi oleh banyak instansi pemerintah daerah yang melaksanakan SAKIP hanya sebagai kewajiban atau kepatuhan semu, untuk membuat laporan sesuai perintah dari regulasi/peraturan bukan untuk pertanggungjawaban akuntabilitas publik kepada masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan riset penelitian Akbar et al. (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi  kinerja anggaran di Indonesia, di antaranya isomorfisma koersif menjadi pemicu kepatuhan dalam hal pembuatan laporan kinerja, pemerintah daerah belum menggunakan indikator kinerja secara efektif, dan perlunya interaksi antar-pemangku kepentingan dalam pengembangan sistem pengukuran kinerja di pemerintah Indonesia. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut menyebabkan pemerintah daerah menampilkan ketaatan palsu pada penyelenggaraan good governance dan clean government yang mengacu pada Inpres No. 7/1999.

Permasalahan tersebut muncul, salah satunya karena dilatarbelakangi oleh banyak instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang hanya berfokus pada upaya pencapaian kinerja keuangan dan upaya memperoleh opini audit “wajar tanpa pengecualian” (WTP). Alangkah lebih baiknya, ciri khas dari lembaga sektor publik yang identik dengan lembaga nirlaba seharusnya lebih memprioritaskan hasil (outcome) dan dampak (impact) dari suatu operasional kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi kepada pemangku kepentingan, yaitu masyarakat. WTP hanyalah merupakan syarat administratif finansial yang berhubungan dengan akuntabilitas, sehingga yang paling penting ialah program dan kegiatan yang berhubungan dengan kinerja suatu pemerintah daerah untuk memberikan hasil dan dampak bagi masyarakat. Sebenarnya perencanaan pemerintah perlu untuk dikaji ulang, meskipun perencanaan pemerintah sudah berorientasi pada hasil (outcome) tetapi percuma saja apabila rencana tersebut tidak dieksekusi dan masih sebagai gambaran di atas kertas. Dalam hal pencapaian kinerja, pemerintah tidak hanya berfokus pada pengukuran kinerja keuangan, tetapi juga pengukuran kinerja organisasi itu sendiri. Dengan demikian, performa tata kelola anggaran pemerintah ditunjukkan melalui sinergi atas kinerja keuangan melalui laporan keuangan pemerintah dan kinerja organisasi, melalui laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Dalam tata kelola anggaran pemerintah, fungsi dari LAKIP dan laporan keuangan ialah sebagai instrumen untuk mengevaluasi program-program yang akan dikerjakan pada tahun-tahun mendatang. Hal tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk menghubungkan perencanaan dengan penganggaran pemerintah. Kondisi tersebut difungsikan supaya pemerintah mengerti riwayat pengelolaan anggaran tahun-tahun sebelumnya, sehingga ke depan, kebijakan tersebut dapat difungsikan sebagai alat prediksi pemerintah untuk menyelenggarakan program yang lebih baik, untuk kesejahteraan masyarakat pada tahun-tahun mendatang.

  1. PROSES PENGANGGARAN DI PEMERINTAHAN

Dalam proses penganggaran, penggunaan APBN/APBD merupakan tools untuk mendorong perekonomian, daya saing dan pendanaan pemerintah. Sehingga dalam proses penganggaran, tujuan dari penggunaan APBN/APBD merupakan amanat dari Pembukaan UUD 1945 yaitu menjamin masyarakat yang adil dan makmur. Bagaimana mengalokasikan uang yang ada pada pemerintah untuk ditujukan pada program kesejahteraan? Dalam seni mengalokasikan anggaran pada pelayanan kesejahteraan harus sesuai dengan fungsi alokasi, fungsi stabilisasi, dan fungsi distribusi. Fungsi alokasi terkait bagaimana pemerintah mengalokasikan angaran belanja untuk membiayai berbagai program dan kegiatan investasi produktif. Fungsi distribusi terkait pengalokasian anggaran belanja pemerintah untuk pemberdayaan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, salah satunya melalui pajak. Pemerintah menarik pajak bagi masyarakat yang mampu untuk didistribusikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Fungsi stabilisasi terkait pengalokasian anggaran untuk menstabilkan perekonomian secara makro maupun mikro. Apabila perekonomian mengalami krisis, pemerintah perlu menyuntikkan dana, sehingga kebijakan anggaran pemerintah mengalami defisit. Apabila perekonomian mengalami “booming”, pemerintah menarik uang beredar di masyarakat, sehingga kebijakan anggaran pemerintah mengalami surplus. Dengan demikian, laporan keuangan dan LAKIP dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi alokasi anggaran pemerintah.

Dalam mengalokasikan anggaran, terdapat tantangan-tantangan yang perlu dihadapi pemerintah, yaitu adanya ketidakpastian kondisi ekonomi secara global, keterbatasan dana, belanja berkualitas, dan pembiayaan anggaran yang produktif dan inovatif. Dalam hal ketidakpastian ekonomi, pemerintah perlu menyepakati asumsi dasar ekonomi makro. Terkait kondisi keterbatasan dana, pemerintah perlu memperluas kebijakan fiskal melalui kenaikan pendapatan ataupun pengurangan belanja dalam hal efisiensi belanja untuk belanja berkualitas. Pembiayaan anggaran melalui utang untuk program yang produktif bukan konsumtif. Dalam hal inovatif, perlu ada kemitraan antara pemerintah dan lembaga swasta dalam pembangunan prioritas nasional, yaitu public private partnership. Ada proses teknokratik dalam hal penganggaran asumi dasar ekonomi melalui tukar rupiah, inflasi, pertumbuhan ekonomi untuk dapat menggambarkan pendapatan pada tahun mendatang. Visi dan misi presiden juga mempengaruhi proses teknokratik tersebut, dalam hal prioritas anggaran. Ujungnya, proses politis melalui teknokratik dengan menyerahkan beberapa kebijakan pemerintah untuk disahkan oleh DPR sebagai wakil konstituen. Pada tahap administratif melalui laporan keuangan, pemerintah harus mencatat lalu melaporkan pengeluaran secara akuntasi dan diaudit oleh BPK. Intinya dalam proses penganggaran perlu ada kesinambungan dalam hal pengelolaan keuangan negara yang diatur UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, melalui defisit anggaran maksimal 3% dari PDB dan rasio utang maksimal 60% dari PDB.

Dalam hal pengalokasian anggaran pada pendidikan, tetap dijaga 20% dari APBN dan diarahkan untuk meningkatkan akses, distribusi,dan kualitas pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 47 ayat (1), bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Pemerintah mengalokasikan belanja pendidikan sebesar 163 triliun rupiah pada tahun anggaran 2019 untuk Program Indonesia Pintar diperuntukkan bagi 20,1 juta siswa, Beasiswa Bidik Misi diperuntukkan bagi 471,8 ribu mahasiswa kurang mampu, Bantuan Operasional Sekolah diperuntukkan bagi 57 juta siswa, dan Pembangunan/Rehab Ruang Kelas diperuntukkan bagi 56,9 ribu sekolah (Kemenkeu RI, 2019).

Dalam hal pengalokasian anggaran kesehatan, anggaran kesehatan dialokasikan sebesar 5% dari APBN untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan, serta penguatan penanganan stunting. Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran belanja sebesar 89,8 triliun rupiah untuk penanganan penurunan prevalensi stunting menjadi 24,8%, penanganan malaria sebanyak 300 ribu penduduk, prevalensi tuberkulosis per 100 ribu penduduk, dan Kartu Indonesia Sehat diperuntukkan bagi 96,8 juta jiwa.

Dalam hal pengalokasian anggaran infrastruktur, pembangunan infrastruktur diakselerasi melalui terobosan pembiayaan kreatif. Belanja Pemerintah Pusat sebsar 173,8 Triliun pada APBN 2019 untuk pembangunan/rekontruksi/pelebaran jalan seluas 1.834,7 km, pembangunan bandara baru sejumlah 4 bandara, jaringan irigasi seluas 170,4 hektar, pembangunan jembatan sepanjang 37.177 m, pembangunan dan penyelesaian rel kereta api sepanjang 394,8 km, dan pembangunan bendungan sebanyak 48 unit.

Bidang perlindungan sosial, Pemerintah berkomitmen untuk memberikan perlindungan sosial dan meningkatkan kesejahteraan bagi 40% penduduk berpenghasilan rendah (PBR). Pemerintah mengalokasikan 387,3 tiriliun rupiah dalam APBN 2019 yang difungsikan untuk peningkatan peserta PBI JKN sebanyak 96,8juta jiwa, memperkuat program keluarga harapan untuk 10 juta KPM, sasaran bantua pangan nontunai utuk 15,6 juta KPM, memperkuat reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS), dan mendorong perkembangan usaha mikro bagi 1,4 juta debitur.

Di samping pengalokasian anggaran, reformasi APBN/APBD merupakan hal yang penting. Hal ini terkait reformasi kebijakan belanja negara yang mengalihkan belanja konsumtif ke belanja yang lebih produktif. Kunta (2019) selaku Direktur Penyusunan APBN Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan RI menyatakan bahwa pada tahun 2015 pemerintah telah merubah belanja konsumtif menjadi produktif dengan mengubah anggaran 341,8 triliun rupiah menjadi 160 triliun rupiah untuk subsidi harga masyarakat yang dialihfungsikan ke peningkatan infrastruktur yang mencapai 415 triliun rupiah pada APBN 2019. Pada saat yang sama, belanja pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial juga mengalami kenaikan.

Dengan adanya reformasi anggaran, maka defisit anggaran dan keseimbangan primer dapat diatur. Hal ini ditunjukkan melalui perkembangan defisit anggaran dari tahun ke tahun mengalami penurunan sebesar 1,78 % di bawah 2% pada postur APBN 2018. Kondisi tersebut didukung dengan keseimbangan primer yang mendekati 0. Keseimbangan primer ialah pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar bunga utang. Kunto (2019) selaku Direktur Penyusunan APBN Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan RI menyatakan bahwa defisit yang bisa dikendalikan mengindikasikan  growth utang mulai turun untuk pembiayaan utang, sehingga belanja pemerintah sebagian besar dibiayai melalui pendapatan pajak ataupun bukan pajak. Hal ini menujukkan bahwa pemerintah ingin mandiri secara fiskal dan terjadinya kesinambungan fiskal dalam pengalokasian anggaran untuk belanja.

Pencapaian pengalokasian anggaran dan reformasi anggaran yang dilaksanakan pemerintah menghasilkan perkembangan ekonomi yang terjaga sehat dan kesejahteran masyarakat secara umum terus membaik. Hal ini dibuktikan dengan penurunan pada indikator rasio gini, tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Indikator rasio gini pada tahun 2011 sebesar 0,41 menjadi 0,384 pada tahun 2018, tingkat kemiskinan mengalami penurunan dari tahun 2007 sebesar 16,58% menjadi 9,66% pada tahun 2018, dan tingkat pengangguran turun dari 9,11 pada tahun 2007 menjadi 5,34% pada tahun 2019.

  1. KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PEMERINTAH

Perkembangan alokasi anggaran APBN 2012 hingga 2019 terjadi peningkatan. Alokasi anggaran baik Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan pada APBN semakin meningkat setiap tahun. Dalam rentang 2012-2019, volume alokasi belanja negara telah meningkat sebesar 59 % dari Rp 1.548,3 tiriliun (2012) menjadi Rp 2.461,1 triliun (2019) (Kemenkeu RI, 2019). Tren realisasi anggaran belanja Kementrian/Lembaga tahun anggaran 2014-2018 menunjukkan bahwa pola penyerapan anggaran belanja K/L selama 5 tahun terakhir terkonsentrasi pada triwulan IV (bulan September, Oktober, November, dan Desember) dengan kisaran pada rentang 30%-40% dari pagu DIPA. Tren ini semakin membaik di tahun 2018; realisasi anggaran semakin proporsional dari penumpukan pencairan di bulan Desember semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan pada rata-rata serapan anggaran triwulan IV sebesar 88,29% dengan target serapan 90% yang direncanakan. Namun, tren yang baik tersebut masih perlu diperbaiki dalam hal serapan anggaran. Rata-rata serapan anggaran  pemeritah pusat TW I sebesar 10,11 %, TW II sebesar 29,5%, TW III sebesar 52,14%, dan TW IV sebesar 88,29%. Menurut Wiwin (2019) selaku Direktur Pelaksanaan Anggaran Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu RI, serapan anggaran yang baik ialah pada TW I sebesar 15%, TW II sebesar 30%, TW III sebesar 60%, dan TW IV sebesar 90%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada setiap triwulan serapan anggaran belumlah proporsional. Kondisi inilah yang perlu menjadi PR bagi pemerintah ke depan untuk menganggarkan APBN/APBD secara proporsional dari triwulan ke triwulan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2019 Pemerintah melalui Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI dengan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan RI berkolaborasi untuk mengukur kinerja belanja K/L menggunakan Indikator Kinerja Pelaksanaan Angaran (IKPA) dan aplikasi SMART. Kolaborasi antar-dua lembaga tersebut dalam mengukur kinerja belanja K/L disebut dengan kinerja pengelolaan anggaran pemerintah (Wiwin, 2019). Kinerja pengelolaan anggaran tersebut bertujuan untuk menjamin ketercapaian keluaran/output dalam hal kelancaran pelaksanaan anggaran, mendukung manajemen kas, dan meningkatkan kualitas laporan keuangan. Kelancaran pelaksanaan anggaran diukur melalui realisasi anggaran/penyerapan anggaran, kedisiplinan satuan kerja dalam menyampaikan data kontrak, penyelesaian tagihan, keakuratan besaran tagihan pada satker. Pengukuran dukungan manajemen kas melalui pengelolaan uang persediaan satuan kerja,  memperketat revisi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA),  perencanaan kas/rencana penarikan dana, deviasi DIPA, retur SP2D. Pada kategori peningkatan kualitas laporan keuangan (LKKL/LKPP) diukur melalui penyampaian LPJ Bendahara dan penyelesaian pagu minus belanja. Dalam melaksanakan kinerja pengelolaan anggaran yang menggunakan prinsip value for money, pemerintah mengimplementasikan kebijakan spending review. Orientasi prinsip value for money digunakan karena adaya keterbatasan sumber daya yang tersedia, terutama sumber daya keuangan. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran perlu menggunakan prinsip value for money yaitu dilaksanakan secara efisien, ekonomis, dan efektif (3E’s) dalam kerangka waktu yang tepat. Awal mula kebijakan spending review dilaksanakan pada tahun 2013 di Indonesia melalui Kementerian Keuangan sebagai instansi yang memimpin (Wiwin, 2019). Implementasi spending review difungsikan untuk mengukur efisiensi belanja dan melihat potensi inefisiensi belanja. Pelaksanaan efisiensi belanja dengan cara melakukan identifikasi terhadap program/kegiatan yang dilakukan satu kali saja dalam satu triwulan dan tidak berulang pada tahun anggaran berikutnya Pelaksanaan efisiensi belanja dengan  mengukur belanja pemerintah dari aspek ekonomis, efisien, dan efektivitas, dan mengidentifikasi potensi ruang fiskal. Outcome dari proses identifikasi program tersebut ialah temuan rekomendasi untuk perumusan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan penganggaran dalam rangka menginisiasi belanja yang berkualitas. Di samping itu, spending review digunakan sebagai bahan kajian dan masukan bagi penyusunan rencana kerja Kementerian/Lembaga. Dengan demikian, spending review mempunyai pengaruh pada hasil anggaran budget outcomes yang tercermin dalam pencapaian efisiensi belanja secara keseluruhan (aggregate efficiency) dan efisiensi alokasi belanja (allocative efficiency) yang dapat diukur dengan melakukan strategic review dan pencapaian efisiensi secara teknis (technical efficiency) dengan melakukan efficiency review untuk menuju pencapaian kesinambungan fiskal (Parhusip, 2016).

  1. PENUTUP

Penganggaran berbasis kinerja di Indonesia belumlah optimal. Kondisi tersebut didukung dengan banyaknya persoalan kinerja di instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah  yang belum mensinergikan kinerja keuangan dan kinerja organisasi. Pemerintah daerah masih berfokus pada opini WTP daripada hasil ataupun dampak program yang dilaksanakan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Hal ini ditengarai motivasi pengukuran kinerja instansi pemerintah masih didominasi oleh keinginan manajerial daerah/pimpinan untuk mematuhi ketentuan pemerintah pusat (isomorfisma koersif) bukan untuk akuntabilitas publik. Perlu adanya perbaikan pada sisi praktisi melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas, dan kualitas sumber daya manusia dalam hal pelatihan dan keterbukaan pemerintah daerah. Pada lingkup kementerian/lembaga di tingkat pusat ataupun daerah, perlu ada perbaikan dalam hal penyerapan anggaran/realisasi anggaran dari tahun ke tahun. Hal ini untuk menunjang alokasi anggaran belanja yang proporsional. Kebijakan penganggaran pemerintah yang telah melaksanakan reformasi anggaran melalui kebijakan spending review dengan berorientasi pada prinsip value for money untuk meningkatkna kualitas belanja patut diapresiasi. Bentuk kebijakan tersebut dapat menginfesiensikan belanja untuk program yang berdayaguna bagi kesejahteraan masyarakat. Penulis berharap, ke depan pemerintah dalam melakukan perencanaan perlu berorientasi pada hasil bukan pada output saja sehingga dalam menyelenggarakan pemerintah yang good dan clean perlu mendefinisikan outcome yang jelas sebelum aktivitas/program dilaksanakan. APBN merupakan tools instrumen yang bertujuan mensejahterakan masyarakat supaya  adil dan makmur. Hal ini dibuktikan dengan penurunan indeks gini rasio, penurunan kemiskinan, dan penurunan pengangguran dari tahun ke tahun. Dengan demikian, pada proses penganggaran perlu mensinergikan kinerja keuangan melaui laporan keuangan dan kinerja organisasi melalui LAKIP, sebagai alat perencanaan dan penganggaran pada tahun-tahun mendatang dalam tata kelola anggaran pemerintah yang berkualitas. ***

 

Krist Setyo Yulianto

Mahasiswa Magister Akuntansi UGM