Beradaptasi dengan Pandemi, Kreasi Bakpia Kaleng jadi Solusi

Beradaptasi dengan Pandemi, Kreasi Bakpia Kaleng jadi Solusi

KORANBERNAS.ID,YOGYAKARTA--Selain gudeg, bakpia menjadi salah satu oleh-oleh dan camilan khas Yogyakarta yang banyak diserbu wisatawan. Sentra-sentra bakpia pun selalu ramai dengan pembeli dari berbagai daerah.

Namun pasca pandemi Covid-19, apalagi diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), UMKM dan produsen bakpia kini sepi pembeli. Pembatasan mobilitas masyarakat dan larangan wisata membuat omzet mereka pun terjun bebas hingga lebih dari 90 persen saat ini.

“Pernah dulu omzet saya sekitar 1juta rupiah sehari, bahkan sebulan bisa sampai 100 juta lebih, tapi selama pandemi ini pernah sehari cuma dapat 20 ribu,” ujar salah seorang produsen Bakpia Zahrae 215, Miftakhul Janah di tokonya, Rabu (11/8/2021).

Namun wanita 36 tahun tak mau patah semangat. Meski harus mengurangi sepuluh perajinnya menjadi empat orang saja, perajin bakpia yang sudah berjualan sejak 2017 itu mencoba beradaptasi dengan pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir ini. Dia pun mencari inovasi agar bakpia yang dibuatnya tak hanya higinis namun juga bisa tahan lama saat dibawa keluar kota.

Miftakhul pun punya ide mengolah bakpia dalam kaleng pada 2019 lalu saat turis asal Belanda ingin membawa oleh-oleh bakpia ke negaranya. Karenanya saat pandemi mulai masuk ke Indonesia, dia terus melakukan riset kecil-kecilan agar bakpianya bisa dikemas dalam kaleng yang tahan lama namun tetap nikmat rasanya.

Kerja kerasnya dalam ujicoba bakpia kaleng membuahkan hasil. Di saat pandemi semakin memburuk pada Juni 2020 lalu, bakpia kalengnya sudah siap dijual.

Bakpia kalengnya berisi enam bakpia setengah matang dengan ukuran cukup besar. Dijual dengan harga Rp 40.000-50.000 per kaleng, bakpia ini bisa dinikmati dengan digoreng tanpa minyak, direbus atau dipanggang terlebih dulu. Bakpia buatannya menggunakan bahan premium dengan isian kacang hijau, kumbu hitam, coklat dan vanila.

Idenya tersebut ternyata disambut konsumen. Pendapatannya yang sempat turun kembali merangkak naik. Bahkan Miftakhul bisa menjual 100 bakpia kaleng dalam sehari.

Berkat idenya tersebut, Miftakhul pun pernah meraih gelar UMKM Inspiratif dari Bank BRI. Dia juga mendapatkan Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability) atau Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan dari Kemenparekraf RI.

“Namun saat kasus Covid-19 semakin tinggi dan ada pembatasan wisatawan, saya berhenti berproduksi karena sama sekali tidak ada pesanan. Begitu pula untuk produksi bakpia yang reguler juga tidak banyak,” jelasnya.

Namun Miftakhul kembali mencoba percaya diri untuk memproduksi bakpia kaleng beberapa waktu terakhir. Secara mandiri, dia juga membuat produk bakpia biasa dengan harga Rp 10 ribu-20 ribu per kotak serta bakpia segitiga untuk menjangkau segmen anak muda.

Dia juga memproduksi bakpia untuk disalurkan ke pasar-pasar dan warung dengan harga Rp 3.000. Inovasi ini ternyata juga membuahkan hasil karena bakpianya ternyata laris manis.

Tak hanya berjualan secara offline, bakpia Zahrae juga dijual di marketplace.

“Kalau dulu sehari bisa untuk kacang hijau saja kami bisa produksi 25 kg per hari, saat ini hanya berani 6 kg per hari tapi alhamdullilah selalu habis,” paparnya.

Tanpa bermaksud putus asa, ibu ini berharap pandemi segera berakhir agar perekonomian segera pulih. UMKM yang menjadi salah satu sektor andalan DIY pun bisa kembali bangkit.

“Yang penting tidak putus asa, kami tetap berusaha apapun caranya agar bisa tetap memproduksi bakpia tidak hanya sebagai oleh-oleh namun camilan sehari-hari,” tandasnya.(*)