Meraih Penghargaan Adipura, Sleman Ternyata Masih Miliki PR Serius Terkait Sampah
KORANBERNAS.ID, SLEMAN--Di tengah kebanggaan mendapatkan penghargaan Adipura, Kabupaten Sleman ternyata masih punya PR serius terkait sampah. Langkah cepat Pemkab Sleman menyiapkan TPS di Tamanmartani sebagai pengganti peran TPS Piyungan yang mulai ditutup, ternyata belum mampu mengurai benang kusut soal persampahan.
Jika diperhatikan, di banyak tempat masih terlihat tumpukan sampah dalam berbagai volume. Di beberapa titik sepanjang Ring Road Utara misalnya, terlihat tumpukan-tumpukan sampah rumah tangga. Entah siapa yang memulai, tapi tumpukan sampah yang menganggu pandangan dan menyebar bau tak sedap, masih terlihat sampai saat ini.
Melongok lebih ke jauh ke area pemukiman warga, problem sampah juga tak kalah serius.
Di Dusun Tegalmojo, Kalurahan Sariharjo, Kapanewon Ngaglik Sleman misalnya. Puluhan warga dari sekitar 150 KK, sejak belasan tahun silam harus menahan diri dari rasa jengkel dan marah. Penyebabnya adalah tumpukan sampah menggunung di salah satu sudut kampung mereka.
“Sudah lama mas. Kami serba salah juga. Satu sisi itu menjadi sumber penghidupan salah satu warga kami. Tapi kami juga tidak bisa menutup mata dan telinga, banyak warga lain yang mengeluh soal bau dan lalat yang sangat mengganggu. Termasuk saya sendiri dan keluarga,” kata Ketua RT Sulis, saat ditemui di rumahnya baru-baru ini.
Sulis mengungkapkan, sampah yang dikelola oleh salah satu warganya yakni Santo, sudah berlangsung lama. Pengelolaan sampah itu memanfaatkan tanah kas desa. Sedangkan Santo sendiri, adalah warga asli Tegalmojo. Santo menempati rumah yang bersebelahan dengan lokasi penimbunan sampah.
Awalnya, Santo mengelola usaha sampah kering dan kemudian berkembang menjadi pengepul sampah kering. Ia memiliki banyak rekanan pencari barang bekas atau rongsok, yang kemudian menjual kepadanya.
Namun, seiring waktu, sampah yang dikelola Santo kemudian berkembang menjadi campuran sampah kering dan basah. Sampah basah ini, berasal dari rumah tangga, dan bahkan sampah dari pusat perbelanjaan dan hotel.
“Kalau info yang saya dengar, kebanyakan justru datang dari hotel, rumah makan dan pusat perbelanjaan dari Jogja. Bukan Sleman,” kata Sulis menerangkan.
Entah benar ataukah tidak, yang pasti setiap malam/pagi, ada truk yang datang dan menumpahkan sampah ke tempat penimbunan ini. Dan layaknya tempat pengelolaan sampah, Santo kemudian akan melakukan pemilahan untuk memisahkan sampah kering yang punya nilai ekonomi, dengan sampah basah yang perlu penanganan ekstra.
Menurut Sulis, selain menyisihkan sampah kering untuk dijual, Santo juga kerap mengurangi timbunan sampah dengan cara membakarnya, sehingga menimbulkan polusi udara yang berasal dari asap pembakaran.
“Kalau yang saya tahu ya itu. Dipilah dan dibakar. Sampah yang tidak bisa dikelola dibawa kemana saya malah tidak tahu,” lanjutnya.
Bau Tak Sedap
Memanfaatkan areal seluas sekitar 400 meter persegi, tempat penimbunan sampah yang dikelola Santo terlihat sangat kumuh. Saat mendatangi lokasi, dari salah satu sudut tempat pengelolaan sampah ini, terlihat asap masih mengepul.
Timbunan sampah yang menggunung di area pemukiman warga Dusun Tegalmojo. (warjono/koranbernas.id)
Sampah berbagai jenis terlihat menggunung terbungkus tas plastik warna hitam berbagai ukuran. Di dekat pintu masuk yang hanya ditutup dengan bekas banner PPT, juga terlihat puluhan kantong plastik putih berukuran besar, yang di dalamnya sepintas terlihat seperti limbah dari rumah makan dengan banyak belatung. Tak jauh dari timbunan kantong warna putih ini, tercecer puluhan kepala ayam yang dikerumuni lalat hijau.
Bau tak sedap langsung menusuk indra penciuman siapapun yang mendekat ke area berpagar seng keliling dan sebagian beratap seng ini. Celakanya, karena atap tidak mampu menutup semua area, maka air bekas hujan juga terlihat masih menggenang di sejumlah bagian. Dan dari genangan air keruh inilah bau busuk semakin menyengat.
Bau busuk menurut pengakuan salah seorang warga, kerap menyebar hingga ke lingkungan di sekitar tempat penimbunan sampah.
Bahkan saat tertentu, bau busuk tercium hingga radius lebih dari 20 meter. Padahal, tak jauh dari lokasi itu, berdiri sebuah masjid yang cukup makmur dengan jamaah. Juga ada pusat pelatihan bagi dai bernama Studio Dai, yang saban hari dikunjungi puluhan dai dai muda ataupun tamu.
“Sudah bertahun-tahun sejak saya di sini, harus sabar menikmati aroma tdak sedap. Dan belum ketemu cara terbaik untuk mengatasinya. Sebab nasihat ataupun peringatan yang disampaikan ke Pak Santo, hanya diiyakan saja. Tapi praktiknya tetap sama,” ujar seorang warga yang berpesan untuk merahasiakan identitasnya.
Hal ini dibenarkan Ketua RT Sulis. Pria yang ramah ini mengaku serba salah dengan kondisi yang terjadi. Sebagai yang dituakan, Sulis sangat memahami keluhan warga. Tapi ia juga mengaku tidak kuasa memaksa Santo untuk menghentikan aktivitas usahanya.
Apalagi, warga di RT tersebut, juga bergantung dari peran Santo untuk mengambil sampah rumah tangga mereka.
“Pernah ada yang komplain soal sampah. Pak Santo kemudian tidak mengambil sampah dari yang bersangkutan. Jadi repot juga, karena tidak mungkin warga saya kemudian berlangganan ke tukang sampah lain sari luar kampung,” bebernya.
Peran Pemerintah
Ibarat menegakkan benang basah, warga dan juga Sulis selaku Ketua RT mengaku sudah tidak tahu lagi cara terbaik mengatasi persoalan ini.
Berkali-kali mengajak Santo berbicara untuk mencari solusi, selalu bertemu jalan buntu. Ketika diajak berbicara Santo selalu mengangguk dan mengiyakan. Tapi arahan dan nasihat yang disampaikan, tak mempan dan tidak ada artinya untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi dampak berupa bau tak sedap dan kerumunan lalat.
Perjuangan warga, kata Sulis, sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dulu, warga pernah sepakat membawa masalah ini ke Kabupaten Slman. Dalam pertemuan yang difasilitasi DLH Kabupaten Sleman, sudah ada sejumlah kesepakatan demi kebaikan bersama
Tapi lagi-lagi, jauh panggang dari api. Kesepakatan berhenti di ruang perundingan.
“Infonya waktu itu, Pemkab Sleman tidak bisa menindak lebih jauh. Sebab tempat itu sudah mendapat kekancingan (izin) dari Keraton Yogyakarta. Kami jadi bingung, tidak tahu harus kemana menyampaikan aspirasi ini,” lanjut Sulis.
Santo selaku pengelola, belum berhasil ditemui untuk mengkonfirmasi keluhan warga.
Tangkapan layar ponsel berisi keluhan wali murid Sekolah Islam Al Azhar Yogyakarta. (istimewa)
Namun keluhan masih terus mengalir. Tidak hanya dari warga setempat, tapi juga hingga orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Islam Al Azhar Yogyakarta.
Komplain terus disampaikan ke pihak sekolah. Sebagian dari keluhan juga tersampaikan ke sejumlah media di Jogja.
“Semenjak pertama saya datang mengantar putri kami masuk asrama, bau tak sedap sudah tercium. Sudah saya sampaikan juga ke pihak pengelola boarding. Saya pikir sudah ada solusi, ternyata sampai sekarang masih sama. Tolonglah, puhak sekolah atau yang berwenang memberikan perhatian serius. Supaya anak-anak kami bisa menimba ilmu dengan nyaman” tulis ibunda Qarina dalam chat yang diterima koranbernas.id.
Ada lagi keluhan dari Ibunda Vika asal Banjarnegara. “Komplain sampah dan lalat. Jendela gak pernah dibuka, krn sekalinya dibuka lalat masuk asrama dan baunya semerbak bgt. Lalat hinggap dimana mana. Itu bs jadi dia bertelur yg menyebabkan virus bakteri. Lalat yang mati di kamar banyak banget. Bau sampah sampai lapangan dan sekolah”. (*)