Bansos Covid-19 Tak Kunjung Dibagi, Warga Hanya Pasrah

Bansos Covid-19 Tak Kunjung Dibagi, Warga Hanya Pasrah

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Bantuan sosial (Bansos) jatah hidup atau jadup untuk ribuan kepala keluarga (KK) di Provinsi DIY hingga hari ini belum dibagikan. Sedianya jadup senilai Rp 600 ribu itu diberikan kepada 76.261 KK warga terdampak wabah virus Corona atau Covid-19. Dalam perjalanannya jumlahnya menyusut tinggal 43.360 KK.

Untuk kesekian kalinya, DPRD DIY meminta Pemda DIY segera mengeksekusi. “Kami sudah mendorong segera dicairkan ke masyarakat, kalau nggak salah anggaran dari Pemda DIY Rp 52 miliar. Soal kendala teknis kami tidak tahu pasti tapi kami memang mendorong segera dilaksanakan,” ungkap Danang Wahyu Broto, Ketua Komisi B DPRD DIY.

Kepada wartawan, Senin (27/4/2020), di Lantai Dua DPRD DIY dia menyampaikan berkurangnya jumlah KK karena  terjadi overlap, setelah dikoreksi ada yang sudah menerima dari pemerintah pusat melalui Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta PKH (Program Keluarga Harapan).

Wakil Ketua Komisi B, Dwi Wahyu B, sepakat sebenarnya ini hanya masalah kemauan saja. Terjadinya keterlambatan lebih pada kendala birokrasi. Semua program dari masing-masing gugus tugas harus disetujui terlebih dulu oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY sebagai leader.

“Misalnya gugus tugas bidang kesehatan membuat anggaran, kalau nggak setuju ya nggak jalan. Padahal masing-masing bidang gugus tugas punya ketugasan sendiri,” ungkapnya.

Memang, kata dia, data penerima jadup harus valid untuk menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan. Soal ketersediaan dana sebenarnya tidak masalah. Dewan yakin Pemda punya duit bahkan bisa mencapai kisaran angka Rp 300-an miliar. “Kenapa sudah 40 hari masa tanggap darurat  Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY baru menghabiskan Rp 9 miliar,” ujarnya heran.

Selain itu, bisa juga karena masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) tidak satu tema mengusung penanganan Covid-19. Padahal sejumlah program sudah dipersiapkan, misalnya hasil komoditas laut dibuat abon untuk melengkapi isi jadup. Tatkala UMKM siap mengolahnya justru di perjalanan tidak tereksekusi. “Dari pusat sudah cair kenapa di daerah kok belum. Ini jadi pertanyaan kita bersama,” tambahnya.

Sebenarnya dari awal DPRD DIY sudah berperan melaksanakan pergeseran anggaran bahkan sampai dengan pembelanjaan pun dewan tidak terlibat kecuali hanya bisa menggunakan salah satu fungsinya, pengawasan. “Kita hanya panggil ayo... ayo...  tapi yang dipanggil nggak ayo... ya repot juga karena frekuensinya tidak sama,” ucap dia.

Warga pasrah

Itu sebabnya legislatif tidak bisa berbuat banyak ketika imbauan pemerintah agar tidak keluar rumah diabaikan masyarakat yang sudah dalam keadaan gelisah karena tidak mendapatkan penghasilan. Akhirnya warga ramai-ramai ke pasar, sebagian tanpa mengenakan masker.

Menurut dia, inilah cerminan warga sudah dalam kondisi pasrah dan luweh-luweh. “Mereka bersikap pasif. Sederhananya,  mati itu di tangan Tuhan. Karena kalau mereka tidak melakukan aktivitas ya nggak makan,” kata dia.

Sekretaris Komisi B, Atmaji, menyatakan saat ini pemerintah desa juga dalam kondisi bingung menyambut program penanganan wabah virus Corona yang digulirkan Pemda DIY.

“Desa belum diberi perintah dari kabupaten terkait pembagian jadup dari provinsi. Desa baru diberi perintah alokasi dana desa untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) thok dari dana desa, yang lain belum. Mereka kebingungan, yang dari provinsi bagaimana kok tidak ada perintah, kami masih menunggu,” ucapnya menirukan perangkat desa.

Menurut Atmaji, ini terjadi karena kesulitan birokrasi dan mungkin sikap kehati-hatian. Berdasarkan hasil rakor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY, PKH dan BPNT akan dikover bersama secara gotong royong antara desa, kabupaten/kota dan provinsi. “Sampai sekarang 32 ribu itu masih angka saja,  kemungkinan masih berubah lagi,” kata dia.

Menurut dia, kuncinya adalah koordinasi sebab tanpa koordinasi maka akan menimbulkan kerawanan. Adapun kerawanan itu bisa berupa kesalahan data sehingga banyak orang protes tidak terkontrol atau terlambat memberikan.

“Koordinasi masih lemah, kita dari dewan selalu mengunakan fungsi pengawasan. Kita dorong supaya segera dieksekusi. Tanggap darurat berakhir 29 Mei 2020. Bulan April mau habis. Mungkin akan diberikan Mei semua atau lewat,” kata dia.

UMKM menderita

Wabah Covid-19 juga membuat UMKM di provinsi ini menderita. Sebagian besar sudah merumahkan karyawan, sebagian lagi masih harus memikirkan bayar tagihan listrik.

“Yang masih bekerja kita berikan gaji, dengan susah payah kita cari pinjaman sementara program relaksasi perbankan ternyata belum bisa meminimalkan apa yang dirasakan oleh para pengusaha,” ujar Tustiyani, anggota Komisi B.

Dia mencontohkan Bank BPD DIY memberikan keringanan bunga 50 persen namun bagi pengusaha keringanan itu masih membuat susah. Ditambah lagi tempat-tempat wisata tutup. Kalau pun ada warga berkunjung ke tempat wisata juga dioypak-opyak.

Kondisi ini menjadi pemikiran bersama mudah-mudahan tanggap dararat selesai 29 Mei. “Kita prihatin kalau sampai terjadi PHK masif di DIY. Mangga kalau ada kendala kita dari DPRD DIY siap membantu,” tambahnya.

Sependapat, anggota Komisi B Yuni Satia Rahayu serta Nurcholis  Suharman menyatakan masyarakat saat ini masih berharap banyak dari bantuan pemerintah.

Memang para petani di DIY sedang panen raya. Demi menjaga ketahanan pangan, dewan meminta supaya ada kebijakan tidak tergesa-gesa menjual hasil panen.

Protap kesehatan

Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana, menyatakan Pemda DIY harus membuat protap dan aksi nyata pencegahan Covid-19 di tempat tempat beresiko tinggi.

Hal ini mengingat saat ini pasar-pasar mulai ramai, mall sudah buka dan berbagai tempat keramaian lain sudah aktif. Hal itu karena desakan ekonomi warga yang sudah berhari-hari tinggal di rumah.

“Masalahnya adalah protap kesehatan tidak diperhatikan. Banyak warga tidak pakai masker, tidak jaga jarak, tidak cuci tangan sehingga rawan terjadi penularan Covid-19,” ujarnya.

Menurut dia, pemerintah harus segera turun tangan membuat protap sekaligus melakukan tindakan di lapangan untuk penegakan prosedur kesehatan di tempat keramaian dan tempat berisiko tinggi.

“Saat ini seolah-olah dilakukan pembiaran, paling hanya diimbau melalui pengeras suara di beberapa pasar.  Kami minta diterjunkan aparat di berbagai tempat berisiko tersebut untuk melakukan peringatan dan tindakan persuasif agar warga taat protap kesehatan,” pintanya.

Sedangkan penutupan jalan masuk DIY merupakan langkah maju. Selain itu, dusun-dusun di mana ada warga yang positif atau PDP juga harus diperlakukan khusus, jangan dibiarkan saja berjalan tanpa arahan dan protap yang jelas.

Saat ini sebagian besar upaya pencegahan dilakukan oleh masyarakat. Pemda DIY maupun kabupate/kota sepertinya belum kelihatan hadir. APBD DIY yang sudah meluncur juga baru Rp 9 miliar, APBD kabupaten/kota jauh lebih kecil lagi. (sol)