Bambang Trihatmodjo Tolak Bayar Utang Sea Games Rp 35 M

Bambang Trihatmodjo Tolak Bayar Utang Sea Games Rp 35 M

KORANBERNAS.ID, JAKARTA--Bambang Trihatmodjo bersikukuh menolak membayar utang dana talangan Sea Games 1997 yang mencapai Rp 35 miliar kepada negara. Selain itu, anak mantan Presiden Soeharto ini juga minta Menteri Keuangan Sri Mulyani menutup kasus dana talangan tersebut dan tidak perlu dilanjutkan lagi.

Kuasa Hukum Bambang Trihatmodjo, Hardjuno Wiwoho mengatakan, sejak awal uang yang diberikan untuk dana talangan sumbernya bukan dari APBN, tapi dari pihak swasta, yakni dana pungutan reboisasi dari Kementerian Kehutanan.

“Karena, bila kita melihat historis permasalahan ini pun, sumber dari dana talangan ini bukan dari APBN. Kita trace itu bukan dari kas Kemensetneg, tapi dari Kementerian Kehutanan, sumbernya dari dana reboisasi. Dana yang memang didapatkan dari pihak swasta,” ujar Hardjuno melalui rilisnya, Kamis (24/3/2022).

Untuk diketahui, dana talangan yang jadi masalah diberikan oleh pemerintah, yang kala itu lewat Kementerian Sekretariat Negara kepada konsorsium swasta mitra penyelenggara Sea Games 1997. Mitra penyelenggara ini, dipimpin oleh Bambang.

Dana sebesar Rp 35 miliar diambil pemerintah dari dana reboisasi yang ditampung di Kementerian Kehutanan. Namun secara keseluruhan, jumlah piutang negara yang ditagih Sri Mulyani kepada Bambang mencapai Rp 64 miliar.

Angka itu merupakan hitungan akumulasi pinjaman pokok sebesar Rp35 miliar, ditambah dengan bunga sebesar 15 persen dengan jangka waktu 1 tahun, atau selama periode 8 Oktober 1997 hingga 8 Oktober 1998.

Hardjuno menjelaskan Bambang merasa dana talangan sebesar RP 35 miliar tersebut sebenarnya bukan kewajiban kliennya. Melainkan kewajiban PT Tata Insani Mukti (TIM) sebagai badan hukum pelaksana Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP).

“Sebenarnya sampai dengan detik hari ini, kenapa klien kami bersikukuh, bukan tidak mau membayar tapi memang bukan kewajibannya terkait masalah dana talangan Rp 35 miliar,” katanya.

Kasus ini bermula dari penyelenggaraan SEA Games XIX pada tahun 1997 di Jakarta. Sebenarnya saat itu penyelenggara seharusnya Brunei Darussalam. Namun Indonesia mendadak menggantikan Brunei sebagai tuan rumah.

Kala itu, biaya yang diminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)/ KONI untuk penyelenggaraan kegiatan sebesar Rp 70 miliar. Namun dalam perjalanannya mengalami pembengkakan menjadi Rp 156,6 miliar.

Di sisi lain KONI juga meminta tambahan dana sebesar Rp 35 miliar untuk pembinaan atlet. Sementara konsorsium hanya menyanggupi mencairkan dana Rp 70 miliar saja.

Bengkaknya anggaran tersebut tak bisa ditutupi APBN kala itu. Sehingga, pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara menggunakan dana Reboisasi Kementerian Kehutanan.

Pelaksanaan Sea Games XIX bisa terlaksana setelah Kemensetneg mencairkan dana Rp 121,6 miliar untuk penyelenggaraan acara dan Rp 35 miliar untuk persiapan kontingen Indonesia.

Dana tersebut kemudian langsung dikirimkan ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), untuk Pemusatan Latihan Nasional (pelatnas) atlet Indonesia yang akan bertanding di Sea Games 1997.

“Bahwa tidak satu rupiah pun masuk ke kantong klien kami Bambang Trihatmodjo,” ungkapnya.

Justru jika ditilik kembali, Bambang Trihatmodjo selaku komisaris utama PT TIM selaku KMP Sea Games 1997 tidak memiliki saham sama sekali dalam perusahaan penyelenggara tersebut.

“Kita lihat subjek hukum di sini bukan konsorsium, tapi PT Tata insani mukti. Yang mana dalam PT Tata Insani Mukti, klien kami Bambang Trihatmodjo itu komisaris utama tanpa saham. Pemegang sahamnya itu ada dua perusahaan di PT Tata Insani Mukti, itu adalah perusahaan di dalam perusahaan. Pertama Perusahaan Bambang Soegomo dan Enggartiasto Lukita. Pemerintah boleh memiliki hak tagih dari Rp 35 miliar itu, tetapi jangan sampai salah alamat. Kan kasihan juga,” pungkas Hardjuno menandaskan. (*)