Asia Tenggara Tak Lepas dari Risiko Krisis Pangan
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sektor agrikultur Asia Tenggara diketahui sedang berkembang pesat. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti Asia Tenggara lepas dari ancaman krisis pangan. Indonesia pun dikhawatirkan belum mencapai ketahanan pangan.
"Kita belum lepas dari risiko krisis pangan. 20 persen populasi Asia Tenggara mengalami kerentanan pangan, dengan hasil panen di bawah rata-rata global," kata Arsjad Rasjid, Ketua ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) saat berbicara dalam Forum Global Future Fellows (GFF): Food Security, Selasa (23/5/2023), di Royal Ambarrukmo Yogyakarta.
Ketahanan pangan itu artinya apa? Menurut dia, semua orang punya akses atas makanan yang berkualitas dan berkelanjutan di tengah situasi atau bahkan bencana apapun.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini menjelaskan, penyebabnya adalah keterbatasan akses petani ke benih dan pupuk berkualitas, kurangnya infrastruktur dan teknologi yang kurang baik, terbatasnya akses ke pembiayaan dan pasar petani, serta kurangnya pengetahuan serta keahlian petani.
Selain itu, juga ada faktor eksternal berupa krisis iklim dan geopolitik. Arsjad menegaskan ketahanan pangan tetap menjadi prioritas negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia yang kini menduduki posisi sebagai pimpinan ASEAN.
“Pada ASEAN Summit kemarin, Indonesia dan negara ASEAN lainnya menekankan komitmen kita pada isu ini serta penguatan pangan sebagai prioritas utama bersama,” jelas Arsjad.
Global Future Fellows (GFF) adalah program fellowship jangka pendek inisiasi Pijar Foundation yang diikuti oleh pemimpin strategis dari sektor publik, swasta, dan masyarakat untuk mewujudkan masa depan bersama yang berkelanjutan.
Kali ini, mengusung tema Mencapai Keamanan Pangan di Tengah Ketegangan Global, 36 profesional dari sektor publik, privat dan komunitas masyarakat yang berasal dari 24 kabupaten/kota se-Indonesia berkumpul pada 21 - 25 Mei 2023 di Hotel Royal Ambarrukmo.
Semangat GFF dan pesan dari Arsjad Rasjid sejalan dengan yang disampaikan Direktur Kebijakan Publik Pijar Foundation, Cazadira F Tamzil. Inilah perlunya mendorong transformasi teknologi yang mendorong double effect pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani.
“Ada penurunan minat angkatan muda di sektor pertanian, antara lain karena stigma mengenai ketidaksejahteraan petani. Kerja sama antara regulator, bisnis, dan komunitas di bidang transformasi teknologi pangan adalah game changer. GFF: Food Security hadirkan sinergi antar sektor untuk selamatkan sistem ketahanan pangan kita bersama,” ujarnya. (*)