Arie Giyarto, Jurnalis Senior yang Tetap Rendah Hati

Arie Giyarto, Jurnalis Senior yang Tetap Rendah Hati

Sugeng dalu mas Heru

Alhamdulillah saya sudah pulang Jogja. Saya berusaha nulis berita dengan catatan nara sumbernya tidak usah mencari atau jalan. Bisa lewat WA atau orang dekat dan kebetulan ada kaitannya.

Misalnya tulisan penyedia kasur sewaan ternyata kuliahnya sampai Inggris. Menarik menurut saya. Kebetulan anak-anak bawa teman nginap di rumah dan terpaksa sewa kasur.

Semangat nulis tetap masih ada. Cuma mobilitas belum mendukung. Apalagi malah kehilangan Pak Temon sehingga sangat cotho bagi saya. Semoga kaki saya segera normal lagi.

Salam sehat untuk semua

Maturnuwun

Chatting melalui WhatsApp tertanggal 13 November 2021 itu kembali kubaca saat kabar duka itu datang. Ya, teman sejawat kami, Ibu Hajah Arie Giyarto, telah berpulang di Rumah Sakit Bunda, Depok, Jawa Barat, Selasa, 27 Desember 2022, sekitar pukul 05:00, dalam usia 74 tahun.

Semua kenangan saat berinteraksi dengan Bu Arie spontan muncul di memori otakku. Keramahannya, tutur katanya yang santun dan terutama semangat juang serta kecintaannya yang luar biasa terhadap profesi jurnalis yang disandangnya. Itu jelas tergambar melalui chatting WhatsApp tersebut.

Pada usia senjanya, mobilitas Bu Arie memang mulai terbatas. Bukan hanya karena faktor usia. Diabet serta gangguan gerak sendi lututnya, memaksa Bu Arie lebih sering tinggal di rumah di kawasan Jalan Pakel Baru Yogyakarta. Setiap kali bila ingin bepergian, Bu Arie selalu meminta tolong Pak Temon, tetangganya, untuk menjadi “sopir pribadi”nya. Sayangnya, Bu Arie harus kehilangan Pak Temon. Maka semakin terbataslah mobilitas Bu Arie.

Namun, dalam keterbatasannya itu, semangat Bu Arie untuk menulis tak pernah padam. Hal-hal kecil yang ditemuinya sehari-hari di sekitar rumahnya, menjadi bahan tulisan yang menarik. Inilah bukti kepekaan seorang jurnalis senior.

Bahkan, saat pandemi Covid-19 masih berkecamuk, Bu Arie masih tetap produktif menulis. Ia bahkan berani mengambil risiko turun ke lapangan untuk melengkapi data, meski harus menahan rasa sakit di sendi lututnya. Semangat dan kegigihan Bu Arie menjadi warisan dan keteladanan yang sangat berharga bagi teman-teman sejawatnya di koranbernas.id.

Kelahiran koranbernas.id juga tak tak lepas dari peran serta Bu Arie. Saat terjadi “gonjang-ganjing” di tubuh Harian Bernas, Bu Arie menyediakan pendopo rumahnya untuk menampung keluh kesah teman-temannya di Harian Bernas. Akhirnya, lahirlah koranbernas.id pada 17 Juli 2017, di pendopo rumah Bu Arie setelah melalui perdebatan-perdebatan yang sesekali berlangsung panas.

Dalam segala keterbatasan kesehatannya, Bu Arie bahkan sempat membuat buku. Buku berjudul Catatan Kecil Seorang Jurnalis itu berisi kumpulan tulisan yang pernah dibuat Bu Ari sejak tahun 60-an hingga tahun 2021. Karena keterbatasan dokumentasi, buku setebal 265 halaman itu tidak bisa menampung semua tulisan Bu Ari yang pernah dimuat di sejumlah media massa. Karena keterbatasan dokumentasi pula, sebagian besar buku Catatan Kecil Seorang Jurnalis itu sebagian besar hanya memunculkan tulisan-tulisan Bu Arie yang pernah ditayangkan di koranbernas.id.

“Meski buku ini sangat sederhanaberupa ficer yang pernah dimuat di koranbernas.id, namun saya berharap bisa menjadi warisan terutama bagi anak-anak dan cucu. Bahwa ibu dan eyangnya pernah menorehkan pena, meramaikan jagad wartawan, betapapun sederhana. Juga merupakan catatan kecil bagi pers Indonesia bahwa pernah ada seorang wanita yang melintas dengan kemampuan terbatasnya...”

Begitulah sepenggal kalimat yang ditorehkan Bu Ari pada Kata Pengantar buku Catatan Kecil Seorang Jurnalis. Sebuah rangkaian kalimat yang menyentuh, sekaligus mencerminkan pribadinya yang rendah hati meski pengalaman jurnalistiknya sangat mumpuni.

Selamat jalan , Bu Arie. Tersenyumlah di alam keabadian karena kini tak akan lagi merasakan nyeri lutut. Semangat dan keteladananmu akan kami teruskan. (*)