Yogyakarta Berambisi Jadi Pioner Pendidikan Vokasi Berkelas Dunia
Kalau kita nonton drama Korea, tidak ada yang tidak keren.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berambisi menjadi pusat unggulan pendidikan vokasi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga mampu bersaing di kancah nasional dan internasional. Visi ini terungkap dalam acara puncak Festival Vokasi yang digelar di Hotel Tentrem Yogyakarta, Kamis (12/9/2024) malam.
Festival yang melibatkan sekolah Vokasi UGM, UNY dan Akademi Komunitas Negeri Yogyakarta ini menjadi momentum penting bagi transformasi pendidikan vokasi di DIY.
Acara ditandai penandatanganan MoU antara mitra industri dengan sekolah vokasi setempat, menandakan komitmen kuat untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui sambutan tertulis dibacakan Sekda DIY Beny Suharsono menegaskan pentingnya pengembangan pendidikan vokasi yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Siap kerja
"Kita harus fokus pada penguatan kemitraan antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia industri untuk menciptakan SDM yang kompeten dan siap kerja," ujar Beny.
Langkah strategis yang dicanangkan meliputi peningkatan program upskilling dan reskilling bagi tenaga pengajar, pembaruan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri, serta adopsi teknologi digital dan keterampilan lintas fungsional.
"Dalam jangka panjang, pendidikan vokasi harus menghasilkan tenaga kerja yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan global dan memiliki mindset kolaboratif," tambahnya.
Senada dengan visi pemerintah daerah, sutradara ternama Garin Nugroho menyoroti urgensi peningkatan kualitas tenaga kerja dari low skill menjadi high skill.
Drama Korea
"Kalau kita nonton drama Korea, tidak ada yang tidak keren. Nah, satu hal yang memang ciri dari masalah kita adalah bahwa pekerjaan itu masih low skill bukan high skill," ungkap Garin.
Garin juga mengangkat isu paradoks dalam sistem pendidikan dan dunia kerja di Yogyakarta. Ia menyoroti tingginya persentase pekerja muda dan migrasi masuk ke kota pelajar ini.
"Di Jogja sendiri bahkan 70 persen adalah remaja. Masalah yang lebih besar adalah migrasi dari luar ke dalam lebih tinggi dibanding migrasi orang Jogja ke luar," jelasnya.
Lebih lanjut, Garin mengkritisi rendahnya akses global terhadap karya-karya Indonesia terutama di industri hiburan. "Hanya 5 persen karya di Indonesia diakses secara global, dan ini adalah perbedaan yang besar. Padahal, ekosistem media baru, internet dan kolektivitas seharusnya mempermudah akses global," tegasnya.
Kepadatan populasi
Tantangan lain yang dihadapi adalah kepadatan populasi di Yogyakarta yang perlu dipetakan ulang. "Kepadatan ini tidak hanya secara fisik, tetapi juga kepadatan di dunia remaja dan migran. Ini menunjukkan pencapaian, tetapi juga menjadi tugas kita bersama untuk menata kembali," ujar Garin.
Festival Vokasi ini diharapkan menjadi langkah awal menuju perhelatan yang lebih besar. "Sebetulnya, secara pribadi, saya berharap tahun depan kita akan duduk bersama lagi membicarakan ini lebih lanjut. Festival vokasi di di Jogja sudah berjalan, Menuju festival vokasi seluruh Indonesia, atau bahkan ASEAN dan Asia," kata Garin.
Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan industri, Yogyakarta bertekad memposisikan diri sebagai pionir dalam revolusi pendidikan vokasi di Indonesia.
Langkah ini diharapkan tidak hanya akan meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal, tetapi juga memperkuat daya saing SDM Indonesia di kancah global. (*)