Tim PSPPR UGM Membeberkan Hasil Penelitian Soal HeHa Ocean View

Tim PSPPR UGM Membeberkan Hasil Penelitian Soal HeHa Ocean View

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Tim Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR) Universitas Gadjah Mada (UGM) membeberkan hasil penelitian soal HeHa Ocean View, destinasi wisata baru di wilayah Kapanewon Panggang Kabupaten Gunungkidul.

Pada acara Diskusi Kritis Media Yogyakarta Seri 11 bertema Menakar Kesiapan Wilayah Menghadapi Percepatan Pertumbuhan Pariwisata di Pesisir Selatan DIY, Studi Kasus He Ha Ocean View, Rabu (29/12/2021) di Resto Ingkung Grobog, tim yang dipimpin langsung Prof Ir Bambang Hari Wibisono MUP MSc Ph D selaku Kepala PSPPR UGM, secara detail mengupas kondisi obyek wisata tersebut.

Tak hanya dari sisi geologi, tetapi juga menyangkut aspek regulasi sempadan pantai, bangunan harus berjarak 100 meter dari garis pantai saat air pasang tertinggi. Pemerintah wajib menata agar tidak membahayakan masyarakat.

“Ada peluang mengusulkan aturan yang berlaku terlalu umum ini,  butuh argumentasi, tidak asal gebyah uyah,” ungkap Prof Bambang didampingi Ir Leksono Probo Subanu MURP Ph D selaku ketua tim, Ir Sugeng Wiyono MS (Geologi), Ananda Prima Yurista SH MH (Hukum) serta Dr Devi Oktaviana Latif ST M Eng (Geoteknik).

Leksono Probo menambahkan, sebetulnya regulasi itu bisa diterima apabila pantainya landai. Persoalannya, lebih dari 50 persen pantai di Gunungkidul merupakan tebing. Gelombangnya tidak landai, pantai berada di bawah ketinggian tebing.

Merujuk regulasi itu, apabila apabila bangunan ditarik 100 meter dari garis pantai maka destinasi wisata tersebut sama sekali tidak lagi memiliki nilai jual.

“Yang dilihat apa? Ini yang bikin pusing pemda. Jika (pantai) tidak bisa dijual karena aturan sempadan, percuma. Padahal ada pengusaha yang bisa mengelola. Ini yang menjadi persoalan. Kami membantu mencari solusi, tampaknya ada semacam celah yang masih harus dicek lagi apa itu benar,” terangnya.

Celah yang dimaksudkan adalah aturan yang membolehkan pemda menentukan secara rinci batasan 100 meter itu sesuai kondisi setempat atau kondisi lokal.

Persoalan lainnya, lanjut Leksono, terkait dengan kekuatan tebing menahan beban bangunan. “Kita mencari jawabannya secara ilmiah. Itu pertanyaan besar. Kami mencoba mendisain studi yang fokus pada kekuatan tanah,” jelasnya.

Apabila terjadi gempa, tebing bisa berguguran. Memang, banyak terlihat tebing gugur di pantai selatan wilayah Gunungkidul. “Saya tanya warga kapan terjadi, mereka bilang sudah ada di situ sejak saya lahir. Dari laporan warga setempat masa kejadian guguran itu jarang terjadi,” tambahnya.

Tak hanya itu, tim PPSPR UGM juga mengebor batuan karst di seputar HeHa Ocena View, Puncak Segara dan sekitarnya sedalam 15 meter. Ini berguna untuk mengetahui apakah batuan karst di bawahnya terdapat rongga atau tidak.

Dari hasil pengeboran, sambung Devi Oktaviana Latif, tim membuat simulasi numeris untuk mengetahui stabilitas lereng serta berapa berat bangunan yang mampu ditahan. “Jika bangunan di HeHa Ocean View 10 ribu kg, hasil analisis kami berdasarkan data riil di lapangan, bangunan HeHa kami nyatakan aman,” kata Devi.

Sugeng Wiyono menambahkan, secara geologi tim juga meneliti karakteristik lahan di seputar obyek penelitian. Seperti diketahui wilayah Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan dicatat sebagai UNESCO Global Geopark. Ini merupakan anugerah yang patut disyukuri dan menarik untuk dilestarikan.

Sesar geser

Dari foto-foto udara diketahui daerah sekitar HeHa Ocean View, menurut Sugeng, terdapat tujuh sesar geser. Artinya, jika ada bangunan di atasnya saat terjadi gempa bisa berpengaruh. Selain itu, juga terdapat empat sesar turun. Selain sesar, juga banyak terdapat kekar yang berbahaya jika bangunan berdiri di atas retakan itu.

“Tidak ada abrasi yang sampai menggerus tebing. Pertanyaannya apakah sesar turun dan sesar geser ini masih aktif, perlu penelitian lagi,” ucapnya.

Dari aspek hukum, Ananda Prima menyatakan tidak sinkronnya aturan dari pemerintah pusat dan daerah membuat Pemkab Gunungkidul bimbang. “Maju mundur seperti poco-poco,” kata dia.

Mestinya, aturan bangunan berjarak 100 meter dari pantai tidak bisa berlaku umum di HeHa Ocean View. Pemkab Gunungkiudul perlu mencontoh langkah-langkah yang dilakukan pemkab di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB). Aturan di atasnya yaitu Perpres 51/2016 disesuaikan dengan kondisi lokal. “Lombok menetapkan garis sempadan pantai 30 meter,” jelasnya.

Pada sesi kedua diskusi, tiga narasumber yaitu Ketua Komisi B DPRD DIY Danang Wahyu Broto dan anggotanya Muh Ajudin Akbar serta Direktur Utama PT HeHa Lancar Kreasindo, Hendro Suwandi, mendorong Pemda DIY mapun Pemkab Gunungkidul agar tidak ragu-ragu mengelola destinasi wisata pantai.

Apalagi Gubernur DIY sudah menetapkan visi Menyongsong Abad Samudera Hindia. Jangan sampai penataan pariwisata di Gunungkidul justru kontraproduktif dengan visi Pemda DIY.

“Semua harus mendukung. Pariwisata adalah leading sector ekonomi DIY. Pemda DIY menganggarkan Rp 115 miliar untuk membangun dermaga Pantai Gesing,” kata Danang.

Dari kiri, Muh Ajudin Akbar, Danang Wahyu Broto dan Hendro Suwandi menjadi narasumber sesi kedua Diskusi Kritis Media Yogyakarta membahas HeHa Ocean View. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Overlap aturan

Danang mengakui memang ada gap birokrasi sehingga lazim terjadi overlap aturan hukum. “Bayangan kami yang namanya garis pantai, pantai dan tebing itu berbeda. Ini masih debatable. Ada mispersepsi. Bangunan berjarak sepuluh meter dari tebing pantai di Gunungkidul masih aman. Seharusnya di DIY hadir HeHa HeHa yang lain. Jangan sampai Gunungkidul terhinggal saat YIA sudah berfungsi optimal menerima 20 juta tamu,” kata Danang.

Dalam kesempatan itu Danang mengusulkan hasil kajian Tim PPSPR UGM yang sudah dipresentasikan di Pemkab Gunungkidul itu bisa ditarik ke DPRD DIY untuk dibahas dengan Pemda DIY.

Sedangkan Muh Ajrudin Akbar mengatakan tipe pantai di Gunungkidul sangat berbeda dengan Bantul dan Kulonprogo, maka semestinya aturan sempadan pantai tidak disamaratakan. “Lombok sudah memulai. Jangan sampai kita ketinggalan,” kata Ajudin.

Sedangkan Hendro Suwandi menyatakan destinasi wisata yang dibangun September 2019 itu punya misi memajukan wisata Gunungkidul.

Dia mengakui memang ada kendala terkait dengan aturan sempadan pantai sehingga justru menghambat kemajuan pariwisata di Gunungkidul.

“Peraturan garis sempadan ini gila, menghambat pengembangan ekonomi. Investasi itu butuh kepastian hukum. Pengusaha hanya ingin ada kepastian hukum. Jangan kemudian B bisa menjadi C,” ujarnya.

Sesuai saran mantan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, saat ini HeHa Ocean View total mempekerjakan hampir 200 orang warga setempat, atau 90 persen warga lokal di sekitar destinasi wisata. Perekonomian warga di sekitar obyek wisata itu sudah menggeliat.

Belum lagi komponen pendukung lainnya seperti jasa parkir maupun toko suvenir yang menjual produk warga, termasuk kuliner khas gathot dan thiwul. “Bayangkan satu HeHa saja dampaknya seperti itu, terjadi loncatan ekonomi di Gunungkidul,” ungkapnya.

Menurut dia, batas garis sempadan HeHa Ocean View berada pada mushala bagian belakang. Baginya, inilah pentingnya ada kepastian. “Nah bagaimana (obyek wisata) bisa menarik apabila tidak ada yang bisa dipandang. Bagaimana investasi kami, pantai dan tebing seharusnya berbeda,” kata dia.

Hendro mengaku bersedih melihat perkembangan obyek wisata pantai Gunungkidul tidak seperti di Bali dan Lombok. Dua daerah itu sudah mulai membangun destinasi wisata tebing pantai, sudah semestinya Gunungkidul melakukan lompatan yang sama supaya tidak tertinggal. (*)