Kisah Perjalanan Sahil Mengayuh Sepeda di Empat Benua demi Menyelamatkan Tanah
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA–Di tengah hiruk-pikuk isu iklim global dan krisis pangan yang kian mendesak, seorang pemuda 19 tahun dari India memilih untuk tidak hanya diam. Ia memilih bertindak, namun dengan cara yang tidak biasa. Bukan lewat demonstrasi atau unjuk rasa, tapi dengan kayuhan sepeda melintasi ribuan kilometer demi satu misi: menyelamatkan tanah.
Sahil Jha, nama pemuda itu, kini tengah menjadi perhatian dunia. Dalam usia yang masih sangat muda, ia telah mengukir jejak luar biasa melalui kampanye global bertajuk Save Soil.
Pada Jumat (13/6/2025), Sahil tiba di Yogyakarta, kota keempat dalam perjalanannya menempuh 20.000 kilometer lintas benua, dari Australia hingga Amerika Serikat.
Indonesia menjadi negara keempat yang ia singgahi, setelah menempuh rute dari Bundaberg, Australia, lalu ke Selandia Baru, dan melintasi berbagai kota di Indonesia mulai dari Bali, Surabaya, Yogyakarta, dan selanjutnya ke Semarang, Cirebon, Purwakarta, hingga Jakarta.
Sepeda Simbol Perubahan
“Saya mulai kampanye ini saat berusia 16 tahun, karena belum cukup umur untuk mengendarai motor,” ujar Sahil dalam sebuah diskusi publik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
“Tapi sekarang pun, meski sudah punya SIM, saya tetap memilih bersepeda. Karena saya percaya, dengan sepeda, saya bisa lebih dekat dengan masyarakat dan menyentuh lebih banyak hati,” imbuhnya.
Keputusan itu bukan sekadar romantisme. Sepeda menjadi simbol dari kesederhanaan, keberlanjutan, dan konsistensi. Kayuhan demi kayuhan yang ditempuh Sahil sejatinya mencerminkan urgensi isu yang ia perjuangkan: krisis degradasi tanah yang semakin mengancam ketahanan pangan dunia.
Tanah: Fondasi yang Dilupakan
Gerakan Save Soil sendiri berangkat dari kesadaran, bahwa tanah sebagai sumber kehidupan, mulai terlupakan perannya. Banyak kebijakan pembangunan lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tanpa memperhitungkan keberlanjutan ekosistem tanah.
“Tanah adalah elemen paling vital dalam sistem kehidupan kita. Ia adalah fondasi pertanian, penyaring air alami, dan penjaga suhu planet. Namun saat ini, tanah kita makin miskin unsur organik, kering, dan kehilangan kemampuannya untuk menopang kehidupan,” ungkap Sahil.
Berdasarkan data yang ia pelajari dan kutip, tanah yang sehat seharusnya memiliki minimal 3–6% kandungan organik. Namun, banyak lahan pertanian di dunia kini di bawah ambang batas tersebut. Jika tidak segera ditangani, dunia berisiko menghadapi krisis pangan global dalam beberapa dekade ke depan.
Singgah, Berdialog, Menginspirasi
Dalam kunjungannya ke Yogyakarta, Sahil tak sekadar melintasi jalan-jalan kota. Ia menyempatkan diri berdialog dengan mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan, hingga masyarakat umum. Antusiasme publik, menurutnya, luar biasa.
“Banyak mahasiswa yang berjanji akan menyuarakan isu ini lewat media sosial, bahkan mengirimkan surat kepada pemimpin mereka,” kata Sahil dengan semangat.
Ia juga mengapresiasi masyarakat Indonesia yang ia anggap memiliki kesadaran lingkungan tinggi.
“Indonesia adalah salah satu negara paling ramah yang saya kunjungi. Masyarakatnya punya ketertarikan mendalam terhadap isu lingkungan dan pertanian,” katanya.
Tak hanya itu, Sahil juga mengunjungi sekolah-sekolah, media lokal, dan lembaga pemerintahan, membawa pesan yang sama: kita harus bertindak sekarang, atau kehilangan masa depan.
Salah satu tokoh yang sangat memengaruhi langkah Sahil adalah Sadhguru, tokoh spiritual India yang pada usia 65 tahun menempuh perjalanan motor dari London ke India demi isu yang sama.
“Kalau beliau bisa melakukannya di usia 65, kenapa saya tidak bisa berbuat sesuatu di usia muda?,” ujarnya.
Namun, Sahil bukan sekadar meniru. Ia memperluas misi tersebut dengan pendekatan edukatif. Lewat media sosial, wawancara dengan media internasional, serta diskusi di universitas, ia terus menyebarluaskan informasi tentang pentingnya menjaga kesehatan tanah.
“Kampanye ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, tapi juga perjalanan pengetahuan dan kesadaran,” tuturnya.
Mengajak Refleksi, Bukan Menyalahkan
Sahil Jha dan akademisi berdiskusi dengan mahasiswa Universitas Gadjah Mada di Gelanggang Inovasi dan Kreatif (GIK) UGM. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)
Dalam setiap kesempatan, Sahil juga selalu mengingatkan bahwa advokasi lingkungan harus dimulai dengan empati. Ia tidak serta merta menyalahkan industri, termasuk sektor pertambangan yang sering dikritik sebagai perusak lingkungan.
“Kita semua punya tanggung jawab. Kita semua pakai ponsel, laptop, kendaraan. Semua itu hasil tambang. Jadi sebelum menunjuk, mari kita bertanya: apakah kita sudah menjadi konsumen yang sadar?,” ucapnya.
Pendekatannya yang tidak konfrontatif ini justru memperluas jangkauan pesannya. Ia mengajak semua pihak—pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, hingga individu biasa—untuk menjadi bagian dari solusi.
Dengan semangat yang menyala dan pesan yang kuat, Sahil Jha melanjutkan perjalanannya ke kota-kota berikutnya. Satu sepeda, satu misi, satu dunia yang ingin ia bangun kembali dari dasar—tanah yang sehat dan lestari.
“Ini bukan tentang saya, Ini tentang kita semua. Tentang generasi yang akan datang. Jika kita tidak bertindak sekarang, nanti bisa jadi sudah terlambat," tandasnya.
Kolaborasi Global: UGM dan Save Soil
Kedatangan Sahil ke Yogyakarta juga bertepatan dengan penguatan kerja sama antara gerakan Save Soil dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Chief Science and Technology Officer Save Soil, Praveena Sidhar, menyebut UGM sebagai mitra strategis dalam mendorong perubahan nyata.
“Universitas adalah pusat pengetahuan dan solusi. Kami percaya bahwa perubahan dimulai dari sini, dari kampus, dari para mahasiswa, dosen, dan peneliti," kata Praveena.
Praveena menekankan bahwa tanah yang sehat berperan besar dalam mengatasi krisis iklim.
“Tanah adalah spons alami yang menyerap air dan menjaga stabilitas suhu global. Jika tanah rusak, dampaknya terasa ke seluruh sistem kehidupan—pangan, air, iklim, bahkan pendapatan masyarakat desa,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar menjadi model keberhasilan dunia dalam pengelolaan tanah berkelanjutan.
“Apa yang berhasil di Indonesia bisa menginspirasi dunia,” tegasnya.
UGM Mendukung Gerakan Tanah Sehat
Dalam diskusi yang sama, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Benito Heru Purwanto, M.Agr., memberikan perspektif akademis mengenai urgensi menjaga kesuburan tanah. Menurutnya, degradasi tanah telah menjadi persoalan nyata di banyak wilayah Indonesia.
“Jika kita tidak melakukan pengelolaan yang berkelanjutan, tanah akan menjadi mati. Mati bukan dalam artian hilang secara fisik, tapi kehilangan fungsinya sebagai medium tumbuh, penyimpan air, dan pengatur iklim mikro,” ujar Prof. Benito.
Ia menyebutkan bahwa pengelolaan tanah selama ini terlalu menekankan pada produktivitas jangka pendek. Akibatnya, praktik-praktik seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan, penggundulan lahan, serta konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian menjadi ancaman serius.
“Indonesia punya potensi luar biasa. Tapi potensi itu akan sia-sia jika kita tidak kembali ke prinsip dasar: menyehatkan tanah dengan bahan organik, pengelolaan air yang baik, dan kearifan lokal dalam bertani,” imbuhnya.
Prof. Benito juga mengapresiasi gerakan Save Soil yang dilakukan Sahil karena mampu membumikan isu ilmiah ke masyarakat luas.
"Apa yang dilakukan Sahil adalah bentuk edukasi publik yang sangat dibutuhkan saat ini. Dia bicara ke hati masyarakat, dan itu kekuatan yang tidak bisa dicapai hanya dengan jurnal ilmiah,” tambahnya.
Dari Yogyakarta, pesan itu menggema. Mengajak semua orang, dari petani hingga pemimpin negara, untuk kembali ke akar persoalan—dan memulihkan bumi dari dasar: dari tanah yang kita pijak hari ini. (*)