Tiga Tahun Absen, Ribuan Warga Lampah Budaya Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta

Para abdi dalem bersama warga dan wisatawan berjalan kaki mengitari benteng Keraton Yogyakarta tanpa berbicara.

Tiga Tahun Absen, Ribuan Warga Lampah Budaya Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta
Antusiasme warga mengikuti prosesi mubeng beteng Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7/2023) malam. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Lampah budaya Mubeng Beteng kembali digelar. Ini merupakan Hajad Kawula Dalem yang diinisiasi paguyuban abdi dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat.

Ribuan warga Yogyakarta dan pendatang penuh antusiasme mengikuti tradisi peringatan Malam 1 Sura atau 1 Muharram 1445 Hijriyah ini, Rabu (19/7/2023) malam, terlebih prosesi ini telah absen selama tiga tahun karena Covid-19.

Mubeng Beteng menjadi bentuk refleksi atau penyucian diri agar menjadi manusia yang lebih baik di tahun baru yang akan datang.

Prosesi diawali dari Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti atau Kompleks Kamandungan Lor Keraton Yogyakarta tepat pukul 00:00.

Acara diawali pembacaan tembang-tembang Jawa dan doa bersama di Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti atau Kompleks Kamandungan Lor (Keben) Keraton Yogyakarta.

Kemudian para abdi dalem bersama warga dan wisatawan melakukan lampah atau jalan kaki mengitari benteng Keraton Yogyakarta tanpa berbicara.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, mengungkapkan prosesi Mubeng Beteng merupakan warisan budaya tak benda dari DIY. Tradisi mubeng beteng juga menjadi wujud pelestarian tradisi dan kebudayaan di Yogyakarta.

Namun saat pandemi tidak dilakukan prosesi Mubeng Beteng dan hanya pembacaan tembang, perenungan dan doa bersama. Sebab esensi dari tradisi tersebut adalah momen untuk refleksi atau penyucian diri agar menjadi manusia yang lebih baik di tahun baru yang akan datang.

"Jadi sebenarnya inti utama Mubeng Beteng bukan perjalanan memutarnya tapi lebih pada makna dan nilainya untuk melakukan perenungan kemudian kontemplasi dan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk satu tahun ke depan," jelasnya.

Kini, tradisi tersebut digelar lagi serta menjadi bagian dari aksi pelestarian budaya Jawa. “Jadi, waktu pandemi kemarin juga masih kita lakukan tapi konsepnya tidak mubeng beteng tapi kita melakukan perenungan dan macapatan," terangnya.

Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Purbodiningrat menambahkan, tradisi Mubeng Beteng terakhir dilakukan pada 2019. Tradisi tersebut dapat kembali digelar secara normal.

Selain menjadi momentum refleksi dan merenung untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tradisi ini juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan sehingga berdampak pada perekonomian masyarakat.

"Tentu saja ini juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata di DIY walaupun sejatinya lampah budaya mubeng benteng bertujuan pada tahun baru 1 Muharram menjadi ajang untuk merefleksikan diri dan instropeksi sehingga di tahun ini menjadi suatu pribadi yang lebih baik dan bijaksana," jelasnya. (*)