Tak Sekedar Hitam Putih, Penerapan New Normal di DIY Harus Efektif
KORANBERNAS.ID, JOGJA -- Pemda DIY merencanakan akan menerapkan kebijakan New Normal pada Juli 2020 mendatang. Standar Operational Procedure (SOP) pun disiapkan dari berbagai sektor untuk menghadapi tatanan kehidupan baru tersebut.
Namun dalam proses menuju New Normal, Pemda DIY harus mampu mempertegas aturan. Jangan sampai aturan atau SOP yang dibuat sekedar 'hitam putih' atau himbauan tanpa adanya keseriusan dan sanksi tegas.
"Harus bersabarlah, masih ada waktu tiga mingguan. Sambil menunggu New Normal, semua perangkat aturan harus disiapkan, termasuk infrastruktur," ujar Rektor Universitas Alma Ata Yogyakarta, Prof Hamam Hadi di kampus setempat, Jumat (5/6/2020).
Menurut profesor yang mendalami ilmu epidemiologi ini, selama tiga minggu kedepan berbagai persiapan harus benar-benar dilakukan meski saat ini kasus COVID-19 di DIY mulai melandai. Jangan sampai Pemda DIY terburu-buru tanpa mengkaji kasus COVID-19.
Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY, kasus positif virus ini hingga Jumat sebanyak 238 orang. Selama tiga hari terakhir sejak 2 Juni 2020 tidak ada tambahan kasus atau zero case. Hanya ada satu tambahan kasus positif COVID-19 DIY pada Jumat ini yang merupakan wanita 29 tahun asal Kota Jogja.
Angka penularan atau Reproduction Number(Rt) COVID-19 di DIY pun selama beberapa minggu terakhir pun dibawah 1.0. Angka ini menjadi salah satu kriteria penerapan New Normal yang ditetapkan pemerintah pusat.
Meski pemerintah menerapkan kebijakan tersebut, Pemda juga harus memenuhi kriteria yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebelum menerapkan New Normal.
Satu daerah, termasuk DIY harus mampu mengendalikan transmisi COVID-19. Selain itu menyediakan sistem kesehatan yang memadai dalam mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina serta meminimalkan risiko penularan terhadap orang dalam kondisi rentan.
"R ini tidak bisa jadi satu-satunya kriteria dalam penerapan New Normal, harus ada indikator lainnya," tandasnya.
Selain aturan dan infrakstrur, lanjut guru besar Fakultas Kedokteran UGM ini, kebijakan rapid test yang masif pun harus dilakuka agar New Normal berjalan efektif. Rapid test sebenarnya bisa dilakukan lebih banyak karena saat ini Indonesia sudah memiliki lebih dari 150 laboratorium, termasuk menggunakan alat tes cepat molekuler (TCM) yang lazimnya digunakan untuk tes tuberkolosis.
Namun hingga kini rapid test baru dilakukan pada 1.297 orang per 1 juta penduduk. Angka ini masih cukup rendah untuk mengetahui kasus COVID-19 di tiap daerah.
"Indonesia paling tidak harusnya yang diperiksa ada dua juta tes PCR dari jumlah penduduk kita. Apalagi dana kesehatan kita kan Rp 75 Triliun, sedangkan untuk PCR hanya dibutuhkan tidak sampai Rp 5 Triliun," ungkapnya.
Hamam menambahkan, dari 34 propinsi di Indonesia belum ada propinsi yang memenuhi persyaratan Badan Kesehatan Dunia untuk merelaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya alih-alih menerapkan New Normal secara tergesa-gesa, lebijh baik melakukan upaya bersama antara pemerintah baik pusat maupun daerah dan seluruh elemen masyarakat untuk menekan laju COVID-19.
Selain itu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Badan Kesehatan Dunia lebih dulu sebelum melakukan berbagai bentuk kebijakan relaksasi. Dengan demikian kasus COVID-19 menjadi lebih rendah lagi mencapai level rendah, aman dan terkendali.
Pengendalian COVID-19 pun perlu difokuskan ke propinsi-propinsi atau kota/ kabupaten dengan jumlah kasus yang besar. Juga melakukan rapid test PCR masif di daerah-daerah tersebut.
Yang tidak kalah penting memperpendek masa antara infeksi dan deteksi individu positif COVID-19 melalui contact tracing diikuti test PCR yang lebih masif dan lebih cepat. Memperpendek waktu antara deteksi/ konfirmasi individu positif dan isolasi pun wajib dilakukan.
"Kita bisa belajar dari Surabaya Raya, laju COVID-19 menurun drastis setelah dilakukan contact tracing dan PCR test secara luas masif dan cepat," imbuhnya. (yve)