Sektor Keamanan di tengah Pusaran Efisiensi Anggaran
Oleh: Boy Anugerah
Kemenhan RI dan TNI yang mengelola anggaran pertahanan sejatinya sangat diuntungkan dengan naiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden. Faktor idiosinkratiknya sebagai prajurit militer dan mantan Menteri Pertahanan adalah modal dasar bagi Kemenhan RI dan TNI untuk mendapatkan “keistimewaan”. Hal ini tergambar jelas pada bagaimana Presiden Prabowo berencana membangun kodam- kodam baru agar kompatibel dengan pemerintahan daerah dan kepolisian secara teritorial. Jika kita merujuk pada proses reformasi sektor pertahanan yang berlangsung sejak 2002, wacana pembangunan kodam baru ini kental dengan spirit pertahanan kontinental berbasis teritorial, sedangkan Indonesia dari sisi geografis adalah negara maritim dan masih berkomitmen untuk menjadi poros maritim dunia. Sederhananya, ada kontradiksi kebijakan antara Presiden Prabowo dengan pendahulunya Presiden Jokowi. Selain itu, TNI pada era Presiden Prabowo juga mengalami penebalan-penebalan fungsi di luar fungsi pertahanan seperti pelibatan TNI sebagai Satgas Penertiban Kawasan Hutan, serta Satgas Judol, Narkoba, Penyelundupan dan Korupsi (Satgas Empat Kejahatan yang merugikan negara) yang notabene tidak termasuk pada tupoksi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara (Komput).
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengambil kebijakan ekonomi politik berani, dengan melakukan pemangkasan anggaran secara cukup signifikan. Kebijakan pemangkasan anggaran yang tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 tersebut, memangkas anggaran sebesar Rp. 306,69 triliun dengan menyasar sebagian besar kementerian dan lembaga negara. Meski begitu, institusi- institusi yang berstatus sebagai ekosistem keamanan nasional seperti TNI, Polri, dan BIN tidak terdampak dari kebijakan efisiensi anggaran tersebut.
Tidak ada pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto mengapa ketiga insitusi keamanan nasional tersebut “lolos” dari badai efisiensi anggaran. Namun, sejumlah politisi DPR RI yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP) menyampaikan bahwa anggaran ketiga institusi tersebut tidak dipotong demi menjaga stabilitas pemerintahan. Asumsinya, jika stabilitas pemerintahan terganggu, maka target-target penting pembangunan nasional sulit dicapai. Di sisi lain, anggaran Kemenhan RI sebesar Rp. 166,2 triliun tetap dijaga sesuai peruntukan karena terkait rencana pemerintah untuk membangun 22 markas komando daerah militer baru agar sesuai dengan jumlah provinsi dan kepolisian daerah.
Tantangan kelembagaan
Suka tidak suka, baik TNI, Polri, maupun BIN berada dalam sirkumstansi atau keadaan yang menguntungkan dibandingkan dengan kementerian dan lembaga negara lainnya. Bandingkan dengan Kementerian Pekerjaan Umum RI yang harus menanggung pemangkasan anggaran hingga 80 persen, sehingga berpotensi menghambat proses pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, termasuk pembangunan IKN yang belum tuntas. Dengan sirkumstansi yang menguntungkan ini, TNI, Polri, dan BIN memiliki peluang sekaligus ancaman dalam satu tarikan nafas sekaligus.
Dalam konteks peluang, TNI, Polri dan BIN dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengoptimalkan kinerjanya, bahkan bergerak melesat melebihi ekspektasi presiden dan rakyat. Dalam konteks ancaman, kinerja pemimpin pada ketiga lembaga tersebut tentu akan mendapat sorotan paling tajam, baik dari presiden, masyarakat sipil madani dan rakyat sebagai penerima manfaat. Jika kinerja organisasional ketiga lembaga tersebut biasa-biasa saja (doing business as usual), atau bahkan di bawah ekspektasi, maka perlu dilakukan review secara serius baik secara politis terhadap elit pimpinannya maupun secara anggaran untuk alokasi tahun berikutnya.
Kemenhan RI dan TNI yang mengelola anggaran pertahanan sejatinya sangat diuntungkan dengan naiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden. Faktor idiosinkratiknya sebagai prajurit militer dan mantan Menteri Pertahanan adalah modal dasar bagi Kemenhan RI dan TNI untuk mendapatkan “keistimewaan”. Hal ini tergambar jelas pada bagaimana Presiden Prabowo berencana membangun kodam- kodam baru agar kompatibel dengan pemerintahan daerah dan kepolisian secara teritorial. Jika kita merujuk pada proses reformasi sektor pertahanan yang berlangsung sejak 2002, wacana pembangunan kodam baru ini kental dengan spirit pertahanan kontinental berbasis teritorial, sedangkan Indonesia dari sisi geografis adalah negara maritim dan masih berkomitmen untuk menjadi poros maritim dunia. Sederhananya, ada kontradiksi kebijakan antara Presiden Prabowo dengan pendahulunya Presiden Jokowi. Selain itu, TNI pada era Presiden Prabowo juga mengalami penebalan-penebalan fungsi di luar fungsi pertahanan seperti pelibatan TNI sebagai Satgas Penertiban Kawasan Hutan, serta Satgas Judol, Narkoba, Penyelundupan dan Korupsi (Satgas Empat Kejahatan yang merugikan negara) yang notabene tidak termasuk pada tupoksi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara (Komput).
Polri juga setali tiga uang. Di tengah persoalan independensi yang membelit lembaga ini terkait gelaran Pemilu 2024, serta banyaknya kasus yang melibatkan oknum-oknum Polri sepanjang 2025 seperti dalam kasus pemerasan oleh AKBP Bintoro dan kasus di Sekolah Polisi Negara (SPN), institusi keamanan domestik ini selamat dari pemangkasan anggaran. Jika TNI dilibatkan pada fungsi-fungsi di luar pertahanan negara, maka Polri sepertinya tidak ketinggalan dengan dipanggulnya atribut baru oleh korps cokelat ini sebagai Satgas Pangan Nasional yang bertanggung jawab memastikan kelancaran angkutan dan jalur distribusi bahan pokok dari sentra produksi ke pasar-pasar, terutama pasar induk di berbagai daerah. Polri juga ditugasi untuk berpartisipasi sebagai Satgas Penertiban Kawasan Hutan berkolaborasi dengan TNI.
Bagaimana dengan BIN? Seperti kita ketahui bersama bahwa BIN bertugas sebagai lini pertama keamanan nasional yang menjalankan fungsi cegah dini dan deteksi dini terhadap apapun yang berpotensi mengancam kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI. Anggaran BIN sebesar Rp. 7 triliun yang notabene mengalami kenaikan dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya tidak diiringi dengan cetak biru yang jelas mengenai bagaimana BIN berkontribusi ke depan. Klaim kerahasiaan negara selalu dipakai sebagai tameng pelindung yang membuat kinerja lembaga negara ini tidak jelas, bahkan rentan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa selaku single user. Persoalan BIN selalu klasik seperti definisi ancaman yang dilakukan secara sendiri tanpa balancer dari pihak lain, serta belum optimalnya BIN menjalankan fungsi koordinasi terhadap komunitas intelijen yang tersebar di kementerian dan lembaga negara lainnya. Dibenturkan pada peran TNI dan Polri saat ini, keberadaan satgas-satgas yang diampu oleh TNI dan Polri sejatinya tidak perlu, jika BIN mampu menjalankan fungsi intelijennya dengan tangkas untuk mencegah kebocoran-kebocoran di sektor kehutanan, pertanian dan kejahatan- kejahatan kontemporer seperti judol, narkoba, dan sebagainya.
Keamanan komprehensif
Merujuk pada atribusi-atribusi yang dilekatkan pada TNI dan Polri, sejatinya Presiden Prabowo adalah penganut perspektif keamanan komprehensif (comprehensive security). Keamanan komprehensif tidak menyoal keamanan secara sempit dengan berpatok pada persoalan ancaman secara fisik melalui penggunaan senjata saja, atau serangan militer dari negara lain. Keamanan komprehensif, walau dituding melakukan sekuritisasi, juga menyasar hal-hal yang berkaitan langsung dengan hajat hidup dan kesejahteraan rakyat seperti keamanan pangan, pemeliharaan lingkungan hidup, serta iklim siber yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan nasional. Dalam bahasa Barry Buzan, seorang akademisi studi keamanan global, keamanan sekarang sudah bergerak pada hal-hal yang sifatnya non-tradisional, menjamah aspek-aspek lain yang selama ini dianggap tabu untuk dipersoalkan dari sisi keamanan. Pada perspektif ini kita dapat memahami mengapa Presiden Prabowo terkesan mengembalikan militer pada milieu orde baru. Penugasan-penugasan tambahan yang diberikan kepada TNI dan Polri, atau bahkan BIN bisa saja menjadi sesuatu yang salah pada masa lalu (Dwi Fungsi), namun benar pada kondisi saat ini, karena dinamika pemahaman dan kontekstualisasi ancaman yang telah bergerak dan bereposisi. Pada TNI ada mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang memungkinkan TNI berpartisipasi pada isu-isu non-pertahanan. Pada Polri ada peran selaku komponen pendukung Sishanneg. Pada BIN berlaku universal, yakni apapun yang menjadi ancaman terhadap kepentingan nasional dapat menjadi ranahnya.
Kontribusi
Dengan anggaran yang tidak dipangkas sama sekali di tengah pusaran efisiensi anggaran saat ini, ketiga lembaga negara yang mengisi ekosistem keamanan nasional ini sejatinya dapat bergerak secara double-tracks, yakni penguatan dan pengembangan kebutuhan organisasional lembaga dan pelaksanaan tupoksi, serta berkontribusi dalam pengamanan keuangan negara dengan melakukan penambalan- penambalan terhadap sektor-sektor pemasukan negara yang rentan kebocoran. Dalam konteks TNI misalnya, anggaran negara yang tidak tersentuh pemangkasan ini perlu dioptimalkan dalam pemeliharaan dan refungsionalisasi alutsista, akuisisi teknologi pertahanan modern sesuai kebutuhan, serta pembangunan infrastruktur teritorial. Sedangkan dari sisi penambalan kebocoran, TNI harus bekerja secara optimal dalam memberantas illegal logging, pemberantasan judi online, dan narkoba yang secara total merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Hal yang sama juga berlaku bagi Polri dan BIN. Fungsi deteksi dini dan cegah dini yang dimiliki oleh BIN pada dasarnya tidak hanya memitigasi ancaman yang sifatnya high politics saja, tapi dapat diarahkan untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara di berbagai sektor baik dari sisi keuangan, pengelolaan hutan, pertanian, perkebunan, maupun tambang. Jika ketiga ekosistem keamanan nasional ini solid dalam memitigasi kebocoran-kebocoran negara, bukan suatu hal yang mustahil kinerja ketiganya dapat mendukung stabilitas penerimaan negara, bahkan memberikan kontribusi lebih besar dari nominal anggaran negara yang dipangkas melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025. ***
Boy Anugerah
Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI/Alumnus Magister Ilmu Pemerintahan dan Kebijakan Publik SGPP Indonesia/Tenaga Ahli di DPR RI