Rumah Budaya Kahangnan Memamerkan Bagian Cerita Wayang Brayut yang Hilang

Rumah Budaya Kahangnan Memamerkan Bagian Cerita Wayang Brayut yang Hilang

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan menjadi pelengkap dari sekian banyak galeri dan rumah budaya yang ada di Yogyakarta. Berbeda dengan kebanyakan galeri atau rumah budaya yang selalu terpusat di kota, Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan terletak 15 km dari hiruk pikuk Yogyakarta, tepatnya di desa Pringgading, Guwosari, Pajangan, Bantul.

Rumah budaya yang berkonsentrasi dengan kesenian Jawa, khususnya wayang, ini telah berusia setahun. Dalam peringatan ulang tahunnya yang bertepatan dengan malam satu Sura yang jatuh pada 20 agustus 2020, Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan memamerkan belasan lukisan seniman yang bertemakan wayang.

"Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan memang berkonsentrasi dengan pelestarian wayang, tapi bukan nguri-uri wayang purwa pada umumnya. Lebih dari itu," papar Hangno, pemilik Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan, saat ditemui di lokasi, Rabu (19/8/2020) malam.

Pelestarian seni pewayangan, menurut Hangno, menjadi sangat penting, tak sekadar karena pembuatannya yang penuh filosofi. Mulai penatahan pola, sungging dalam pewarnaan, karakter para tokoh, hingga ke pertunjukkannya memiliki nilai tradisi adiluhung yang bisa diterapkan sampai kapan pun.

"Setiap karya seni yang berhubungan dengan wayang bisa dilakukan di sini. Misal, pameran seni rupa yang sekarang dilaksanakan, semua karya seniman bertemakan wayang dan turunannya. Jadi berbeda dengan tempat pelestarian wayang yang telah ada," jelasnya.

Sementara kurator pameran, Adrian Kresna, menambahkan Galeri dan Rumah Budaya Kahangnan diharapkan mampu menjawab tantangan pengenalan kesenian di kawasan pinggiran. Dengan begitu, makin banyak masyarakat, termasuk kaum urban, yang mengenal kesenian Jawa.

Misal, Sutarman menampilkan tokoh wayang yang sudah jarang tampil dalam pementasan-pementasan. Pasangan Wayang Brayut ini tampak sedang berjalan bersama anak-anaknya di pikulan dengan latar warna senja yang kuning keemasan.

"Wayang ini dihilangkan pada masa Orde Baru karena tidak sesuai dengan program keluarga berencana kala itu. Tak hanya wayang brayut, cerita buron [perburuan] raja-raja terhadap hewan-hewan di hutan juga telah hilang karena kurang tepat dengan pelestarian suaka margasatwa," tambah Adrian.

 

Ki Brayut dan Nyi Brayut dalam Wayang Baryut sejatinya adalah simbol kesuburan dalam cerita aslinya. Karakter Nyi Brayut dan Kyai Brayut menggambarkan karakter orang Jawa pada jaman dahulu. Nyi Brayut telah menjadi Dewi bagi semua anak-anak.

"Hingga beredar sebuah mitos di kalangan masyarakat Jawa bahwa jika seorang wanita berdoa di depan wayang Nyi Brayut, maka yang bersangkutan akan hamil. Begitu juga dengan sosok Ki Brayut yang banyak digunakan saat pesta pernikahan, berharap kemakmuran dan kesuburan bagi pasangan baru," imbuhnya.

Wayang Brayut sudah muncul jauh sebelum program KB dicanangkan. Namun pada era 1970-an, seiring dengan program Keluarga Berencana (KB), pasangan Ki Brayut dan Nyi Brayut yang dikisahkan memiliki anak hingga belasan ini bertentangan dengan program tersebut.

Akhirnya dengan mengubah alur cerita, Nyi Brayut dan keluarganya menjadi sarana kampanye pemerintah yang berkuasa pada waktu itu untuk mendukung kesuksesan program KB. Cerita tentang kesuburan dan tanggung jawab orang tua untuk menghidupi anaknya yang banyak pun berubah menjadi kebalikannya. Muncullah cerita kesusahan dan kerepotan para orang tua dalam mengurus dan menghidupi anaknya. (eru)