Ritual di Gunung Kemukus

Ritual di Gunung Kemukus

SECARA bernas, ritual dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan masyarakat dalam bentuk simbolis yang disakralkan, untuk suatu tujuan tertentu, dalam hubungannya dengan tradisi, budaya, ataupun agama. Pelaksanaan ritual itu, selalu didasarkan pada norma tertentu. Dalam ritual, umumnya terdapat relasi terhadap kekuatan ghaib. Namun, pada masyarakat modern, ada ritual yang sekadar kegiatan fisik-rasional, tanpa terhubung dengan kekuatan ghaib manapun. Itulah, maka ritual ada yang sekuler, gugon tuhon, tahayul, syirik, tetapi ada juga yang religius.

Suatu kebahagiaan tersendiri, saya dilibatkan dalam Promosi Doktor Ilmu Hukum, untuk topik yang unik, yakni tentang ritual-ritual di Gunung Kemukus. Bagi orang Jawa Tengah dan sekitarnya, tentu tidak asing dengan objek ini. Perihal hubungan seksual nonmarital, menjadikan objek kajian ini menarik dan bikin penasaran bagi siapa pun. Seperti apa fakta dan maknanya?.

Budaya hukum digunakan sebagai perspektif kajian. Untuk diketahui bahwa budaya hukum merupakan salah satu komponen sistem hukum. Tercakup di dalamnya: tata nilai dan pola perilaku, sebagai ekspresi dan pengikat sistem hukum secara keseluruhan. Secara esensial, masalah tata nilai merupakan inti dari budaya hukum. Di sinilah, kebenaran fakta dan/atau fenomena, diukur berdasarkan tata nilai, sikap, dan perilaku masyarakatnya, bukan berdasarkan bunyi teks pasal-pasal hukum positif.

Kawasan Gunung Kemukus, berada di ujung tenggara Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Di sana terdapat makam Pangeran Samudro dan Sendang Ontrowulan. M. Chairul Huda (2021) mengkaji ritual-ritual di Gunung Kemukus pada tiga aspek, yakni: aspek fisik, aspek budaya, dan aspek hukum. Aspek fisik, berupa realitas empirik yang dapat diobservasi, meliputi; kewilayahan Gunung Kemukus, keindahan alam, iklim, dan sumber daya alam.

Aspek budaya berupa keyakinan (belief, keimanan), pemahaman, dan tindakan para aktor-aktornya. Dalam aspek budaya, tercakup: konsep dan tindakan tentang ziarah, ritual, tradisi, ngalap berkah, tawaá¹£ul, wisata religi, dan sumberdaya budaya lainnya.

Aspek hukum berupa pelaku ritual peziarah dan masyarakat di Gunung Kemukus, utamanya terkait kepatuhan, efektivitas, dan bekerjanya norma sosial maupun hukum negara. Satu hal paling seksi dari aspek hukum adalah perilaku ritual hubungan seksual nonmarital. Sebagai implikasinya, hadirlah pelayan-pelayan seks nonmarital. Ritual ini, berdampak luas pada bidang ekonomi, sosial, kesehatan, hukum, peredaran minuman keras, over dosis obat kuat, dan lain sebagainya.

Menurut Huda, hingga kini, ketiga aspek tersebut (fisikal, budaya, hukum) sering dimaknai dan dikait-kaitkan dengan ajaran Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan. Pemaknaannya cenderung subjektif, beragam, dan kontekstual. Faktor penyebabnya karena sedari awal, pemahaman dan tujuan, pelaku ritual berbeda-beda, beragam, beraneka rupa.

Keyakinan masyarakat terhadap Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan, telah mengejawantah sebagai cultural hero, sekaligus magnet bagi peziarah. Dalam ranah filsafat, keyakinan demikian muncul karena ada pengetahuan burhani, intuitif, atau beyond rasional. Terindikasikan bahwa ritual-ritual peziarah di Gunung Kemukus berelasi dengan realitas abstrak, dan tidak terdeteksi oleh inderawi. Peziarah umumnya yakin bahwa ritual-ritual di Gunung Kemukus memiliki kemanfaatan (usefulness) bagi hidup dan kehidupannya, beserta segala efek baik yang ditimbulkannya.

Walau demikian, ada pula peziarah yang datang semata-mata sebagai wisatawan belaka. Sebagaimana dinyatakan Burkart dan Medlick (dalam Huda, 2021) bahwa destinasi pariwisata dapat dilihat potensinya dalam empat hal, yakni; aksesabilitas, amenitas, atraksi, dan lembaga pengelolanya. Makam Pangeran Samudro dan Sendang Ontrowulan, merupakan  front stage (panggung depan), panggung drama, representasi sosial, dan arena interaksi face to face. Di situlah semua peziarah dapat bertemu. Namun, di balik front stage, ada yang berlanjut ke aktivitas seksual nonmarital. Inilah yang dikategorikan sebagai back stage (Huda, 2021: 158-159). Back stage ini dalam dramaturgi Goffman merupakan aktivitas yang tidak ingin diketahui audiens (Fitri, 2015).

Dijelaskan oleh Huda (2021: 287) bahwa dalam konteks budaya hukum internal, aparat petugas setempat, memandang peziarah Gunung Kemukus datang untuk ngalap berkah. Sebagai objek wisata, siapa pun diizinkan masuk kawasan itu, selagi bayar retribusi. Perkara di sana mereka melakukan ritual seksual nonmarital, ya terserah, itu urusan masing-masing. Kalau ada permasalahan hukum, baru aparat petugas bertindak. Untuk menghilangkan esek-esek (seksual nonmarital) di Gunung Kemukus, aparat petugas tidak bisa apa-apa, dikarenakan  masalahnya sudah mentradisi sejak mbah-mbah (nenek moyang) dulu.

Dinyatakan oleh aparat petugas, bahwa dulu Gubernur pernah menutupnya. Imbasnya pengunjung menurun. Pendapatan warga juga menurun. Kalau ritual-ritual tersebut ditindak tegas, lantas, apa solusinya agar masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapinya terselesaikan? Dengan berbagai argumen tersebut, walaupun dipahami bahwa seksual nonmarital tergolong sebagai pelanggaran hukum, pelanggaran susila, dan pelanggaran ajaran agama, namun tradisi esek-esek dibiarkan terus berlangsung.

Seorang peziarah memberi kesaksian: “… Di sini mah, aparat petugas ramah, sering menemani duduk-duduk. Gak pernah ada razia.  Hukumnya datang belakangan. Gak mempanlah. Ada spanduk berbunyi: “dilarang melakukan perbuatan asusila”, tetapi itu cuma tulisan doang …”

Para pelaku ritual di Gunung Kemukus, umumnya orang-orang yang sedang mengalami tekanan (masalah kehidupan), baik secara ekonomi ataupun psikologis. Semakin tinggi tekanan atau masalah-masalah yang dihadapi, maka ekspektasi terhadap keberhasilan berbagai ritual semakin tinggi. Para pelaku ritual senantiasa mencari pembenaran atas pelanggaran terhadap tata nilai maupun norma-norma kehidupan yang berlaku.

Jamaknya, peziarah menjustifikasi hubungan seksual nonmarital sebagai ritual instrumental (waá¹£ilah) menuju kesuksesan hidup (ghoyah/goal), yang diekspektasikan berupa pesugihan (kekayaan ekonomi). Dalam rangka penjustifikasian pelanggaran tata nilai dan norma-norma tersebut, dilakukanlah perhitungan-perhitungan berbagai kemungkinan keberhasilannya, maupun biaya-biaya yang perlu ditanggung. Efek penyerta (contaminating factors) dari permintaan pasar seksual nonmarital di Gunung Kemukus, selalu hadir dalam bentuk maraknya pekerja seksual nonmarital, lady contest, mucikari, dan aktor-aktor lain yang memiliki berbagai kepentingan.

Dampak-dampak negatif lain, maraknya ritual seksual nonmarital di Gunung Kemukus antara lain: (1) maraknya perceraian, pelecehan martabat perempuan, kelahiran anak tanpa hubungan pernikahan, aborsi; (2) transmisi penularan penyakit kelamin, penyakit HIV/AIDS, maraknya konsumsi minuman keras;  (3) sering terjadi tindakan kriminal berupa penipuan, pencurian, penganiayaan, dan kekerasan lainnya.

Dalam perspektif budaya hukum, fakta dan pemaknaan ritual seksual nonmarital beserta dampak-dampak negatifnya,  merupakan cermin bahwa permasalahannya sedemikian kompleks. Sulit dikategorikan sebagai kriminalitas murni, sebagai perilaku sesat, sebagai perzinaan. Hukum negara sulit ditegakkan pada kasus per kasus, ataupun masif. Di dalamnya berkelindan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, sejarah, dan sebagainya.

Dalam masalah yang kompleks demikian, maka untuk mengatasinya perlu dirumuskan kebijakan yang holistik dan komprehensif, agar kebijakan itu tepat sasaran dan solutif. Tata nilai religius, kemasyarakatan, dan kenegaraan, wajib dijadikan sandaran, demi terberantasnya perilaku syirik dan kriminal, serta demi keberlangsungannya sebagai distinasi pariwisata. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM