Revolusi Protein Lokal: UGM Padukan Kearifan Tradisional dengan Teknologi Canggih 

Revolusi Protein Lokal: UGM Padukan Kearifan Tradisional dengan Teknologi Canggih 
Fapet Menyapa yang diselenggarakan di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Di tengah hiruk pikuk perdebatan ketahanan pangan nasional, sebuah terobosan inovatif muncul dari jantung pendidikan Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah merancang masa depan protein hewani negeri ini melalui program pengembangan ayam lokal galur baru yang ambisius namun sarat makna.

“Ini bukan sekadar tentang ayam. Ini tentang bagaimana kita memandang masa depan pangan Indonesia,” ujar Profesor Dyah Maharani, Ketua Tim Pembentukan Ayam Galur baru dari Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak, Fakultas Peternakan UGM, saat ditemui dalam acara Fapet Menyapa pada Kamis (26/9/2024). 

Program yang diinisiasi UGM ini bukanlah upaya biasa. Dengan target menghasilkan ayam berbobot 0,8 kg dalam waktu kurang dari 70 hari, tidak mengeram, dan tahan penyakit, tim peneliti UGM sedang menantang status quo industri perunggasan nasional yang selama ini didominasi ayam broiler impor.

Namun, yang membuat program ini istimewa adalah pendekatan holistik yang digunakan. Dyah memaparkan pihaknya tidak hanya bicara genetika, tapi juga tentang pelestarian plasma nutfah lokal dan pemberdayaan peternak.

Tim UGM memilih untuk mengawinkan tiga bangsa ayam dari Kalimantan dan Jawa, memadukan kearifan lokal dengan sains modern. Metode “Independent Culling Level” yang digunakan dalam seleksi ayam menggabungkan presisi teknologi dengan intuisi para peternak berpengalaman.

Namun, di balik optimisme ini, tersembunyi tantangan besar. 

“Kita bicara tentang mengubah pola pikir yang sudah bertahun-tahun tertanam. Dari peternak hingga konsumen, semua pihak perlu beradaptasi dengan paradigma baru ini,” ujarnya.

Tantangan lain datang dari aspek keberlanjutan. Menjawab kekhawatiran ini, tim UGM menekankan bahwa program mereka dirancang dengan mempertimbangkan faktor teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan secara menyeluruh.

“Ini bukan tentang menggantikan ayam broiler, tapi tentang memberikan pilihan yang lebih baik bagi konsumen dan kesempatan yang lebih adil bagi peternak lokal,” tegas Profesor Dyah.

“Kami ingin melihat protein berkualitas tinggi tersedia untuk setiap keluarga Indonesia, diproduksi secara lokal dan berkelanjutan,” tutup Profesor Dyah.

Sementara itu, Galuh Adi Insani, seorang peneliti muda di bidang teknologi peternakan, sedang mempersiapkan presentasi tentang peran teknologi presisi dalam revolusi perunggasan Indonesia.

“Bayangkan, kita bisa memantau pertumbuhan setiap ayam secara real-time menggunakan kamera dan kecerdasan buatan. Ini bukan lagi angan-angan, tapi realitas yang bisa kita terapkan sekarang,” ujar Galuh dengan antusias.

Integrasi teknologi Internet of Things (IoT) yang diusulkan Galuh tidak hanya akan meningkatkan efisiensi produksi, tetapi juga berpotensi membuka peluang baru bagi petani kecil untuk bersaing di pasar global.

Seiring dengan berjalannya waktu, hasil dari inisiatif ini mulai terlihat. Beberapa peternak yang terlibat dalam uji coba melaporkan peningkatan pendapatan hingga 30% dibandingkan dengan metode konvensional.

Dengan memadukan kearifan lokal, inovasi genetika, dan teknologi canggih, UGM tidak hanya mengembangkan ayam galur baru, tetapi juga merancang ulang masa depan ketahanan pangan Indonesia. 

Revolusi protein lokal ini mungkin dimulai dari kandang ayam di Yogyakarta, namun dampaknya berpotensi mengubah lanskap pangan nasional untuk generasi mendatang. (*)