Regulasi Pertembakauan, Elegi Perokok yang Tak Mampu Berkokok
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Dialog singkat antara seorang petani tembakau di wilayah Kalasan Sleman dengan tamunya, seorang staf di BPJS Ketenagakerjaan DIY.
“Gimana, Pak, bertani tembakau sekarang bagus kan Pak?. Harga rokok sekarang kan mahal banget. Pastilah untungnya lebih bagus kan ya?” tanya sang tamu, awal April 2023.
Tanpa menoleh, Sarijan nama petani itu menjawab.
“Untung gimana Pak? Harga rokok yang tinggi itu bukan ke petani. Itu masuknya ke negara karena kenaikan cukai. Kalau petani seperti saya, sama saja. Malah rasanya makin susah. Karena biaya operasional bertani tembakau dan bertani yang lain sekarang makin mahal,” jawabnya kecut.
Dialog singkat ini, menjadi gambaran nyata dari timpangnya ekosistem pertembakauan di Indonesia. Ibarat lagu sedih atau elegi yang membuat perokok serta petani seolah-olah menjadi ayam jantan namun tidak bisa berkokok.
Komisioner Ombudsman Yogyakarta, Agung Sedayu, mengatakan, pada setiap batang rokok, para petani, konsumen rokok atau perokok, pabrikan serta seluruh pihak yang terlibat dalam tata niaga rokok di Indonesia, menyumbang lebih dari 50 persen dari harga jual untuk negara. Sumbangan itu ditetapkan dan dipungut secara resmi melalui cukai.
Tak heran, maka dalam struktur APBN di Indonesia, pendapatan negara dari cukai rokok mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Angka ini dalam sejarah punya kecenderungan terus meningkat. Dan sumbangan untuk pendapatan negara dari cukai rokok, disebut jauh melampaui pendapatan negara dari sektor-sektor lain termasuk pertambangan, yang jelas-jelas berkontribusi luar biasa besar bagi kerusakan lingkungan.
Namun, seakan menepis peran strategis petani dan para perokok serta semua yang terlibat dalam tata niaga rokok dalam negeri, kebijakan pemerintah selama ini dirasa jauh dari rasa keadilan dan sangat diskriminatif.
Masifnya dorongan merevisi regulasi pertembakauan berujung pada dilindasnya hak-hak konsumen. Sejak awal, 69,1 juta konsumen produk tembakau tidak dilibatkan mulai dari proses hingga implementasi regulasi pengendalian tembakau yang semakin eksesif.
Agung Sedayu, memaparkan bahwa praktik diskriminasi terhadap konsumen produk tembakau terjadi di berbagai tempat. Diskriminasi konsumen produk tembakau terjadi di berbagai tempat. Mulai dari diskriminasi di tempat kerja, diskriminasi sosial, kesehatan, diskriminasi asuransi, diskriminasi pendidikan, dan diskriminasi di tempat umum.
Diskriminasi konsumen produk tembakau terlihat dari terbatasnya akses informasi terkait produk tembakau dan kebijakannya, pembatasan akses atas hak partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, hingga tidak mempertimbangkan pandangan dan aspirasi konsumen dalam proses pembuatan kebijakan.
“Begitu pula dengan praktik diskriminasi hak advokasi juga dialami konsumen produk tembakau. Contoh nyata seperti pembatasan kebebasan berbicara dan berekspresi tentang produk tembakau dan pemangkasan anggaran serta dujungan untuk lembaga advokasi konsumen produk tembakau. Praktik diskriminasi ini seluruhnya menghambat konsumen dalam memperoleh informasi dan dukungan terkait kesehatan dan kesejahteraan,”papar Agung Sedaya dalam gelaran Focus Group Discussion Wacana Revisi Regulasi: Praktik Diskriminasi Terhadap Perlindungan Hak Konsumen Produk Tembakau, Kamis (6/4/2023), di Greehost Boutique Hotel Yogyakarta.
Agung juga menekankan, bahwa masih ada contoh praktik diskriminasi lain yang dialami konsumen produk tembakau, yakni praktik diskriminasi hak edukasi. Di mana ada pemberian informasi yang tidak lengkap atau salah mengenai produk tembakau.
“Seharusnya pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai untuk edukasi konsumen tentang produk tembakau. Bukannya justru melarang atau membatasi yang berujung menghambat konsumen dalam membuat keputusan,” ujar Agung dalam FGD yang diikuti puluhan representasi lintas asosiasi dan organisasi di Yogyakarta ini.
Hak konsumen
Ary Fatanen, Ketua Pakta Konsumen selaku organisasi yang menginisiasi FGD ini menegaskan, bahwa konsumen hanya dianggap sebagai obyek. Padahal dengan kontribusi dan sumbangsihnya terhadap cukai rokok, hak-hak konstitusional konsumen tidak boleh diabaikan.
“Sejak dirilisnya Keppres No. 25 Tahun 2022 Desember tahun lalu, dengan viralnya rencana larangan total penjualan rokok batangan, semakin nyata prakrik diskriminasi dan pengabaian hak-hak ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dorongan revisi PP No.109 Tahun 2012 terdapat 7 tujuh materi yang mayoritasnya adalah pelarangan total iklan, promosi dan sponsorship yang lagi-lagi menindas hak informasi dan hak edukasi konsumen,” tegas Ary.
Mewakili suara konsumen, Ary menuturkan bahwa konsumen siap berperan aktif untuk sosialisasi dan dirangkul dalam upaya dan program pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak. Namun, regulator dan stakeholder tak pernah merangkul dan melibatkan konsumen.
“Sampai saat ini aspirasi konsumen produk tembakau tidak didengar. Padahal merokok adalah hak asasi manusia bagi perokok yang sudah dewasa. Jelas regulasi eksesif yang saat ini ada menjadi bukti bentuk perilaku yang melanggar keadilan dan tidak berlakunya sistem demokrasi karena perokok hanya dijadikan sebagai objek. Bersama lintas organisasi yang hadir saat ini, mari kita mengawal hak-hak partisipatif, edukasi, hak advokasi dan hak ekonomi konsumen,” ajaknya.
Senada dengan Ary, Detkri Badhiron selaku Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DIY Bidang Kebijakan Publik menuturkan bahwa asas perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan keadilan, keamanan serta kepastian hukum. “Prinsipnya perlindungan konsumen dalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen termasuk konsumen produk tembakau,” kata Detkri.
Sementara itu, terkait wacana revisi PP 109/2012 yang terus didorong, Detkri menekankan bahwa prinsipnya adalah pengendalian dan pengawasan. Bukan mengarah pada pelarangan total.
Menanggapi dorongan muatan materi pelarangan total iklan, promosi dan sponsorship, M Hafidullah selaku praktisi periklanan, menyayangkan hal tersebut. Baik di platform out of home maupun digital, industri iklan akan sangat terpukul. Baik dari sisi tenaga kerja hingga perputaran perekonomian.
“Memotret relasi antara produk tembakau dan industri periklanan, belanja iklan rokok cukup besar. Berkaca pada 2017-2018 adalah golden periode kontribusi belanja iklan industri hasil tembakau (IHT) sebesar Rp 6-7 triliun. Nah, ketika iklan rokok migrasi ke digital, juga mulai banyak pembatasan yang menjurus pada pelarangan total,” ungkap Hafidullah.
Hafidullah menyebutkan saat ini, pemasukan agensi atau perusahaan reklame, sumber pendapatannya salah satunya berasal dari rokok. “Yang kami khawatirkan dengan adanya pelarangan total iklan ini, bisa semakin mematikan perekonomian. Bayangkan saja, ketika satu agensi atau perusahaan reklame itu tutup, ada sekitar 300 tenaga kerja terdampak. Tentu saja regulasi yang berkaitan dengan pertembakauan ini perlu kita jaga dan kawal Bersama,” kata Hafidullah.
Memandang masifnya dorongan revisi regulasi pertembakauan, Sosiolog UGM, AB Widyanta, menilai penting bagi konsumen untuk mengawal penyusunan regulasi agar adil, berimbang dan memberi kesempatan serta pelibatan dan perlindungan kepada seluruh konsumen.
AB meminta dengan tegas agar jangan sampai ada konflik kebijakan atau tumpang tindih kebijakan yang ujungnya mengorbankan konsumen. “Komoditas tembakau ini harus kita jaga keberlangsungan. Jangan sampai nanti menyesal karena tidak berpikir secara holistik komprehensif. Ingat, pertembakauan ini menyangkut hajat hidup belasan bahkan mungkin puluhan juta warga,” katanya.
Dia juga berharap pemerintah, sebelum memutuskan melahirkan sebuah regulasi, kiranya terlebih dahulu melakukan riset-riset dasar/fondasional, holistik dan substansif terkait ekosistem pertembakauan. “Libatkan konsumen, ilmuwan dan ahli dari lintas transdisipliner yang wajib menimbang pada aspek kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa,” tambahnya.
Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, mengungkapkan upaya dari rezim di bidang kesehatan untuk memaksakan berbagai tata aturan yang makin menghambat di sektor tembakau, menunjukkan kesewenangan dan tindakan diskriminatif bagi sektor pertembakauan.
Terkait dengan desakan revisi atas PP No.109 Tahun 2012, Hananto mengingatkan bahwa arah dari kebijakan ini adalah bukan lagi mengatur, melainkan melarang iklan rokok di Indonesia. Hal ini, jelas akan membawa dampak sangat serius bagi para pelaku usaha, termasuk industri periklanan. (*)