Pilkada di Tengah Pandemi, Lanjut atau Tunda?

Pilkada di Tengah Pandemi, Lanjut atau Tunda?

OPSI penundaan pemilihan kepala daerah tahun 2020 (Pilkada 2020) yang rencananya akan digelar pada bulan Desember 2020 masih menyisakan persoalan. Pasca berlakunya Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) ternyata tidak sepenuhnya memberikan solusi bagi penyelenggara Pilkada. Kaitanya dengan tahapan Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan berhitung waktu terkait tahapan apa saja yang sudah dilaksanakan dan tahapan apa yang nantinya akan dilaksanakan, mengingat  jika Pilkada dilaksanakan pada bulan Desember 2020 otomatis tahapan selanjutnya setidaknya dimulai pada awal bulan Juni atau pada Pertengahan bulan Juni 2020. Tentu ini menjadi pilihan yang sulit mengingat kasus positif Covid-19 saat ini masih mengalami angka fluktuatif.

Meskipun demikian, dalam ketentuan pasal 201A ayat 3 Perppu Pilkada  memberikan kelonggaran, apabila pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan (pada bulan Desember 2020) maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir. Penetapan tahapan kembali tahapan pemungutan suara serentak ini dilakukan dengan keputusan KPU yang diterbitkan setelah persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana penetapan pemungutan suara serentak yang  dijadwalkan pada bulan Desember 2020 mendatang.

Berbagai pihak cukup menyayangkan opsi pilkada yang cenderung tergesa-gesa. Risiko penularan Covid-19 saat pilkada sangat tinggi, karena jumlah tahapan pilakada membuka ruang terjadinya kerumunan, sebagai contoh saat verifikasi administrasi bakal calon kepala daerah, verifikasi faktual bakal calon kepala daerah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan tahapan kampanye akan menimbulkan cluster penyebaran Covid-19 mengingat kampanye tidak mungkin dilakukan dengan jumlah orang yang sedikit.

Kerawanan Pilkada

Sejumlah persoalan berpotensi muncul mengingat pandemi Covid-19 yang tidak  kunjung berakhir, berakibat masyarakat tidak 100% antusias terhadap penyelennggaraan pilkada 2020 akibat pandemi Covid 19. Euforia pilkada bisa jadi berkurang, selain itu dari segi finansial masyarakat juga mengalami penurunan drastis akibat PHK besar-besaran. Akibatnya pola pikir masyarakat dalam menentukan calon kepala daerah juga ikut terpengaruh. Masyarakat akan cenderung lebih pragmatis dalam menerka pilihan politiknya. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan menjadi bahan kapitalisme peserta pilkada maupun bakal calon yang akan berlaga di pilkada. Bantuan masker, alkohol, cairan desinfektan, bagi-bagi sembako merupakan senjata ampuh yang dapat dikeluarkan sewaktu-waktu. Kondisi demikian akan berdampak pada tegaknya keadilan pilkada. Perppu pilkada pun juga tidak mengatur secara implisit terkait dengan proses penegakan dan penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh bakal calon kepala daerah. Akibatnya, calon yang memiliki modal besar tapi minus kualitas akan mudah menggaet hati masyarakat, sedangkan calon yang modalnya pas-pasan akan tetapi secara kualitas gagasan bagus akan tenggelam dengan sendirinya. Alhasil tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki kapasitas dan integritas yang rendah. Kondisi demikian secara tidak langsung mengantarkan pada model demokrasi delegasi (delegative democracy) bukan demokrasi perwakilan (representative democracy). Dalam pemaknaan representative democracy, para kepala daerah mendegar suara rakyat dan bekerja untuk memenuhi kepentingan rakyatnya. Sedangkan, dalam pemaknaan delegative democracy, rakyat diibaratkan sebagai suara anjing yang menggonggong, sementara para kepala daerah adalah kafilah yang terus berjalan.

Kemudian dari segi anggaran, UU Pilkada mengatur bahwa pilkada dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam prosesnya, tidak sedikit kendala yang dihadapi penyelenggara di daerah untuk sampai pada penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebagai basis pembiayaan pilkada. Mulai dari sulitnya mencapai kesepakatan alokasi anggaran yang diperlukan, politisasi anggaran oleh petahana, sampai ketidaksetaraan alokasi anggaran antara satu daerah dengan daerah lain akibat penyesuaian dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah, ditambah lagi banyak daerah yang kemudian mengalokasikan dana untuk pelaksanaan Pilkada tersebut dialihkan guna penaganan pandemi Covid 19.

Allternatif Solusi

Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 2/2020 selayaknya perlu diapresiasi, karena agenda pesta demokrasi memang penting untuk berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi langkah tersebut tidak semestinya dilakukan dengan tergesa-gesa, mengingat energi bangsa dan negara kita habis terkuras untuk melawan pandemi Covid-19. Penyelenggaraan pemungutan suara secara serentak agar dilanjutkan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status pandemi Covid-19. Jika opsi pelaksanaan pilkada dipaksakan dilaksanakan pada Desember 2020, dengan pertimbangan mencontoh negara Korea Selatan (Korsel), yang melakukan Pemilu di tengah pandemi Covid-19, jelas kondisi masyarakat kita tidak serta merta dapat dibandingkan.

Kemudian untuk menilai objektivitas dari Perppu 2/2020, Konstitusi membatasi subjektivitas Presiden dengan mengharuskan Perppu mendapat persetujuan DPR melalui persidangan berikutnya, dan apabila DPR tidak menyetujui maka Perppu itu harus dicabut [vide Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945]. Oleh karena itu DPR perlu melakukan sidang untuk memastikan keberlakuan Perppu tersebut mengingat dalam pasal 201A ayat 3masih membuka opsi lain untuk pelaksanaan pemungutan suara serentak. Langkah ini demi mendapatkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada serentak. Selain mendapatkan kepastian hukum, langkah demikian juga turut mencegah penyebaran pandemi Covid-19 melalui langkah konstitusional yang dilakukan oleh DPR. ***

Rheza Firmansyah, S.H., M.H.

Alumnus Magister Hukum FH UII